Keagamaan

Parenting Moderat Qs. An-Nahl:125 dalam Membentuk Karakter Generasi Muda yang Egalitarian

Berdasarkan hasil survei Pemuda dan Media oleh Pusat Media Damai (PMD) tahun 2024. Membuktikan bahwa generasi muda cenderung pasif (toleransi pasif) dalam menyikapi keberagaman. Mereka sebetulnya tidak anti-keberagaman, tetapi dalam kehidupan sosial mereka cenderung eksklusif dalam bergaul atau memiliki pertemanan. Mereka hanya nyaman bergaul/berteman dengan yang se-iman saja.

Fenomena di atas jika kita amati, tak lepas dari problem kurangnya parenting moderat pada generasi muda, utamanya di lingkungan sekolah. Sebab, kecenderungan toleransi pasif ini banyak dipengaruhi oleh pola pikir cenderung primordial dan tidak seimbang dalam menerima realitas sosial yang beragam. Maka di sinilah pentingnya parenting moderat. Guna membentuk karakter generasi muda yang egalitarian, sehingga dapat menjalani kehidupan sosial yang inklusif.

Dalam konteks paradigma di atas, Saya begitu tertarik dengan parenting moderat yang ada di dalam (Qs. An-Nahl:125). Bahwasanya: “Serulah (Manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebat-lah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk”.

Secara kontekstual, ayat di atas sejatinya tak sekadar berkaitan dengan dakwah keagamaan saja. Tetapi, jika dipahami secara komprehensif, ayat di atas sejatinya mengandung prinsip-prinsip dalam mendidik. Utamanya prinsip mendidik/parenting moderat. Ayat tersebut, mengacu pada metode, paradigma dan orientasi dalam mendidik yang dapat membentuk karakter generasi muda yang inklusif, serta pro-aktif (toleransi aktif-interaktif) dengan mereka yang beda iman.

Dalam konteks potongan ayat ”Serulah” dalam (Qs. An-Nahl:125). Jika kita teliti, bentuk kata perintah tersebut sejatinya mengacu pada proses/metodologi pengajaran. Sebagaimana dalam konteks dunia pendidikan, pengajaran yang baik atau paradigma pendidikan yang cenderung menjunjung nilai-nilai “Hikmah” sejatinya menjadi akar, bagaimana nilai-nilai moderat itu akan dibentuk.

Jika kita konteks-kan pada prinsip membangun karakter generasi muda yang (moderat) egalitarian dan pro-aktif terhadap keberagaman (toleransi aktif-interaktif). Maka, paradigma pengajaran dengan hikmah itu mengacu pada tanggung-jawab pendidik. Utamanya dalam mendidik yang cenderung merangkul, bukan memukul. Menghindari segala bentuk perilaku diskriminasi, intimidasi, kekerasan atau-pun intoleransi di lingkungan sekolah.

Saya memahami, bahwa lahirnya gejala toleransi pasif di lingkungan generasi muda (di sekolah) tak lepas dari kurangnya pendidikan nilai-nilai hikmah itu. Pendidikan dengan hikmah, adalah upaya membentuk (moral) generasi muda yang baik, bukan diajarkan sikap “merasa paling baik” dalam segala hal. Misalnya, mengajarkan tentang pentingnya rendah hati, menurunkan ego dan upaya kerja-sama kolaboratif, bukan kecenderungan pada keunggulan individual.

Di dalam (Qs. An-Nahl:125) ini cenderung meniscayakan pentingnya “pengajaran yang baik”. Apa yang Saya pahami sebagai bentuk “pengajaran” dengan prinsip “kebaikan” tentu mengacu pada satu orientasi. Di mana pendidikan itu harus bisa menciptakan karakter generasi muda yang baik. Artinya, standar yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan “kepintaran” individual tetapi mengerucut pada kesadaran sosial yang baik.

Pengajaran yang baik yang dimaksud ayat di atas, sejatinya mengacu pada satu kesadaran yang dapat melahirkan out-put kebaikan-kebaikan moral sosial pada generasi muda. Jadi, barometer dari pengajaran yang baik dalam (Qs. An-Nahl:125) justru bukan lagi menciptakan pola generasi muda yang berlomba saling merasa paling baik. Tetapi, pengajaran yang baik itu, berkaitan dengan bimbingan dan pembentukan moral generasi muda yang moderat, sehingga bisa membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi kehidupan sosial.

Sitti Faizah

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

10 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

10 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

10 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago