Narasi

Pasca-Isis: Geostrategi Dakwah Vs Diaspora Radikalisme

Institusi bisa runtuh, tapi tidak dengan ideologi. Hal ini menunjukkan susahnya memunahkan ideologi. Banyak contohnya. Runtuhnya Dinasti Ottoman di Turki, tetapi Islam tetap tumbuh. Bubarnya Uni Soviet tetapi sosialisme tetap tidak punah. Dan, terakhir boleh jadi termasuk ISIS.

ISIS kini dikabarkan runtuh. Empat tahun yang lalu, kaum militan ISIS menyerbu banyak wilayah Suriah dan tetangganya Irak. ISIS memproklamirkan pembentukan ‘kekhalifahan’, dengan khalifah Abu Bakar al Baghdadi. Mereka memaksa menjadi penguasa pada hampir delapan juta orang. Sekarang, ISIS hanya menguasai sekitar 1% dari wilayah yang pernah mereka kuasai.

Runtuhnya ISIS menjadi kabar baik sekaligus mengkhawatirkan. Kabar baik lantaran iklim perdamaian di Suriah dan Irak muncul titik cerahnya. Di sisi lain muncul kekhawatiran, eks militant ISIS kembali dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Mereka jelas membawa paham radikal. Dengan demikian perjuangan mereka kini tidak lagi terkonsentrasi namun menyebar atau berdiaspora. Konsekuensi logis atas fenomena ini adalah upaya perlawanan berbasis dakwah perdamian yang melek geopolitik dan geostrategi.

Diaspora Pascakeruntuhan  

AS melaporkan masih ada 14.000 militan ISIS di Suriah dan 17.100 militan ISIS di Irak. Kawasan-kawasan ini sudah tidak lagi mereka kuasai sepenuhnya.

PBB juga memperkirakan bahwa masih ada pula kantung besar militan ISIS di berbagai negara lain. Seperti di Libya antara 3.000 hingga 4.000 orang dan Afghanistan sekitar 4.000 orang.

Baca juga : Langkah Preventif dan Taktis Menangkal Ideologi Kekerasan Pasca Runtuhnya ISIS

Kelompok ISIS juga memiliki militan dalam jumlah yang tidak sedikit di Asia Tenggara, termasuk sejumlah pendukung di Indonesia, Afrika Barat, Semenanjung Sinai Mesir, Yaman, Somalia, dan Sahel.

Militan ISIS di Irak dan Suriah mengubah taktik dengan kembali ke akar pemberontakan mereka. Yaitu dengan melakukan pemboman, pembunuhan dan penculikan, sembari mencoba untuk membangun kembali jaringan mereka. Ada pula individu-individu yang terinspirasi oleh ideologi kelompok itu, lalu melakukan berbagai serangan di Eropa dan di tempat lain.

Penelitian Soufan Center (2017), memperkirakan bahwa sekitar 5.600 petempur ISIS telah kembali ke kampung halaman mereka di 33 negara di seluruh dunia. Antara lain yang terbesar adalah sekitar 900 orang kembali ke Turki. Sekitar 1.200 orang telah kembali ke Uni Eropa, terdiri dari 425 orang ke Inggris, dan sekitar 300 pulang ke Jerman dan 300 lainnya kembali ke Perancis.

Ratusan petempur asing lainnya sudah ditangkap dan masih ditahan oleh SDF di kawasan Suriah timur laut yang dikuasai Kurdi. Amerika Serikat menyerukan negara-negara lainnya untuk membawa pulang warga negara mereka yang bergabung dengan ISIS, untuk diadili.

Geostrategi Dakwah Damai

Dunia harus bersatu dan bersinergi menyikapi penyebaran ideologi radikal pascakeruntuhan ISIS. Ideologi ISIS bisa jadi tumbuh sendiri menyebar ke penjuru dunia. Tetapi bisa jadi mereka juga berkolaborasi dengan jaringan radikal lain yang sudah eksis di suatu negara.

Perlawanan berbasis dakwah mesti dilakukan dengan pendekatan geostrategi. Basis sinergi kewilayahan mesti kuat. Militan ISIS yang telah menyabar mesti segera dipetakan rinci hingga titiknya. Mereka mesti diisolasi secara spasial agar tidak berkembang dan minim fasilitas.

Antar negara mesti bekerja sama. Konon salah satu target pengembangan terbesar adalah Asia Tenggara. Dengan pusat yaitu Filipina yang sejak lama telah memiliki modal konflik. Indonesia sebagai negara berwarga muslim terbesar mesti tampil di depan mengkoordinasi geostrategi penyikapannya.

Komitmen masing-masing negara dibutuhkan. Misalnya adalah mengadili warganya yang terlibat ISIS. Selanjutnya saling bertukar informasi dan data intelejen, khususnya terkait indikasi adanya keterlibatan warga negara lain.

Upaya lain, dakwah berbasis teologi damai mesti digencarkan. Indonesia juga harus tampil terdepan. Dai yang berkompeten dapat dikirim ke seluruh dunia yang membutuhkan. Koordinasi dan edukasi juga dapat difasilitasi. Dakwah perdamaian harus menjadi gerakan dan jaringan yang sistematis dan massif. Setiap wilayah yang terendus terkena virus radikalisme mesti dilawan dengan dakwah perdamaian tersebut.

This post was last modified on 4 April 2019 5:41 PM

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

View Comments

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

2 hari ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

2 hari ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

2 hari ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

3 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

3 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

3 hari ago