Narasi

Pasca-puasa dan Tantangan Hidup New Normal

Dalam beberapa bulan terakhir—dan yang akan datang—kita menjalani sebuah pengalaman hidup baru. Yaitu pengalaman religius melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dalam situasi wabah covid-19. Pengalaman yang seperti tahun ini jarang terjadi, atau bahkan kali pertama dialami oleh umat muslim Indonesia.

Pada akhirnya, ibadah puasa di masa pandemi covid-19 berakhir “dramatik”. Perayaan Idul Fitri diminta untuk mematuhi anjuran pemerintah dan lembaga otoritas keagamaan agar tidak melaksanakan shalat ied berjamaah di luar rumah (baik di lapangan maupun di masjid), sebagai tindakan preventif untuk mencegah penyebaran covid-19.

Lalu, apa makna dari semua itu? Bagaimana menjalani hidup di masa pandemik covid-19? Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan, dan berdamai dengan civid-19 agar tetap produktif. Alasannya, organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan meski kurva kasus positif covid-19 menurun, virus ini tidak akan hilang.

Presiden menampik jika hidup berdampingan dengan covid-19 sama dengan menyerah melawan penyakit itu. Perlawanan terhadap covid-19 tetap berlangsung dengan mengedepankan protokol kesehatan. Pemerintah akan mengatur agar kehidupan masyarakat berangsur-angsur dapat kembali normal.

Puasa dan new normal

Jadi ke depan, berdasarkan arahan dari pemerintah, kita akan menjalani masa new normal. Sebuah pola hidup yang membiasakan diri melakuakan protokol kesehatan demi mencegar covid-19, seperti menggunakan masker, disiplin cuci tangan, social distancing, dan lain-lain.

Baca Juga : New Normal Pasca Ramadan; Tetap Produktif, Aman dari Covid

Pola hidup di masa new normal ini sebenarnya tidaklah sulit bagi mereka yang sebelumnya memang telah terbiasa melakukan protokol ketat kesehatan. Begitu pula, bagi mereka yang sukses menjalankan ibadah puasa Ramadhan, yang kemudian dirayakan oleh hari kemenangan Idul Fitri, berarti secara langsung atau tidak, kita telah ditempa untuk berprilaku sabar, taat aturan, disiplin, dan memiliki etos kerja (semangat) yang tinggi.

Teringat apa yang pernah ditulis oleh Quraish Shihab (1992), bahwa dengan kita telah beridul fitri, dalam arti kembali suci, akan selalu berbuat indah, benar, dan baik. Mengapa? Karena kesucian merupakan bagian gabungan dari tiga unsur tersebut (indah, benar, dan baik).

Lewat kesucian jiwanya, seseorang akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar, dan indah, dan pada akhirnya, tulis Quraish Shihab, akan melahirkan seni; mencari yang baik menimbulkan etika; mencari yang benar menghasilkan ilmu.

Berdasar pada pandangan demikian, jika seseorang telah terbiasa dengan perilaku baik, maka akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalau pun terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif itu. Dan kalau pun tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf, bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan.

Syekh Siti Jenar, konon, menurut para pengkajinya, membagi puasa ke dalam dua tipe, yaitu puasa syariat dan puasa hakikat. Puasa syariat merupakan puasa yang dibatasi oleh waktu, seperti puasa di bulan suci Ramadhan. Sedang puasa hakikat, mengkondisikan diri (dengan menjaga perbuatan baik) seperti saat berpuasa secara formal di bulan Ramadhan, dan puasa jenis ini tidak mengenal waktu, artinya puasa sepanjang hidup.

Artinya, kalau kita bisa mengendalikan hawa nafsu dengan berperilaku baik, jangan hanya di bulan Ramadhan, tapi juga harus baik pula pada bulan-bulan lain sepanjang masa. Inilah tantangan hidup pasca-puasa, termasuk dalam konteks menghadapi covid-19. Pembiasaan diri dengan disiplin waktu, sabar, dan taat aturan saat menjalani puasa Ramadhan perlu menjadi inspirasi untuk diamalkan juga saat kita sedang tidak puasa secara lahir. Namun secara batin, kita sejatinya tetap dalam keadaan puasa yang oleh Syekh Siti Jenar disebut puasa hakikat. Semoga.

This post was last modified on 29 Mei 2020 1:25 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago