Faktual

Peluang Napiter Mengajukan Bebas Bersyarat, Beserta Misi Deradikalisasi yang Harus Mereka Lakukan!

Beberapa hari yang lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Eddy Hartono menyatakan secara tegas. Bahwa, narapidana terorisme (napiter) dapat mengajukan pembebasan bersyarat (PB). Sikap kepala BNPT ini tak lain sebagai respons terhadap pernyataan (Menkumham) Yusril Ihza Mahendra terkait kajian pemberian pengampunan (amnesti) lewat pembebasan bersyarat terhadap para napiter, termasuk napiter Jamaah Islamiyah (JI).

Langkah pemberian pembebasan bersyarat (PB) terhadap para napiter ini, bagi kepala BNPT tentunya harus memenuhi syarat yang ketat. Selain telah diatur dalam peraturan Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) terkait syarat pemberian pembebasan bersyarat (PB) kepada Napiter. Kepala BNPT juga menambahi: Bahwa pengajuan (PB) Napiter harus memenuhi syarat deradikalisasi dengan melalui beberapa tahapan. Yakni: identifikasi, penilaian, rehabilitasi, reedukasi dan revitalisasi sosial, hingga kewajiban ikrar setia pada NKRI.

Dalam konteks lain, Saya memahami bahwa peluang Napiter dapat mengajukan bebas bersyarat itu, sejatinya harus disertai oleh misi deradikalisasi yang harus mereka lakukan. Jadi, bukti mereka benar-benar memenuhi syarat untuk bebas dan benar-benar bertaubat, sejatinya juga dapat diuji oleh satu kondisi. Yakni ketika mereka bisa berperan dalam melakukan deradikalisasi dan bisa berkontribusi untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya paham radikalisme-terorisme itu.

Paham radikalisme-terorisme ini adalah dosa sosial yang seharusnya menjadi tanggung-jawab moral para eks-Napiter setelah dirinya bebas. Jadi, peran para eks-Napiter itu sangatlah penting. Untuk membokar kedok-kedok, modus dan pola radikalisasi. Bahkan, mereka (para eks-Napiter) harus bersinergi dengan pemerintah dalam memberantas habis kelompok serta jaringan terorisme akar rumput di negeri ini.

Tentu, saya tidak sepakat apabila kebijakan terkait pemberian pembebasan bersyarat (PB) atas Napiter hanya mengacu pada hak-hak kemanusiaan secara personal seorang Napiter saja. Sebab, paham radikalisme-terorisme ini merampas hak-hak kemanusiaan seluruh umat. Artinya apa? Peluang pembebasan bersyarat (PB) harus membawa potensi besar, bagaimana mereka (eks-Napiter) bisa menyelamatkan mereka yang masih terjebak di jalan yang sesat pembawa mudharat itu.

Saya memahami, bahwa peran eks-Napiter dalam melakukan deradikalisasi di ruang sosial adalah sebentuk dari tanggung-jawab moral ketika kembali ke masyarakat. Menebus segala dosa-dosanya untuk menyadarkan para teroris lain yang “belum taubat” dan masyarakat umum yang masih terjebak ke dalam  paham-paham radikalisme-terorisme agar segera bertaubat.

Bahkan, kebijakan pemerintah lewat Menkumham terkait wacana pemulangan sosok Hambali alias Encep Nurjaman ke Indonesia tentu juga harus menjadi pertimbangan yang serius. Akankah pemulangan sosok Hambali membawa output berharga bagi bangsa ini dalam memerangi paham radikalisme-terorisme? Atau justru ini akan menjadi petaka? Artinya apa? Kebijakan apapun terkait jaminan hak-hak Napiter itu, seperti kebijakan terkait pemberian pembebasan bersyarat (PB) haruslah mempertimbangkan bagaimana mereka harus berperan di masyarakat dalam membawa pengaruh deradikalisasi.

Tak hanya di situ, kebijakan terkait pemberian bebas bersyarat yang diwacanakan terhadap dua napiter yang merupakan pimpinan tertinggi jaringan teroris JI, yakni Abu Rusydan dan Para Wijiyanto juga tak bisa hanya berdasar pada hak-hak kemanusiaan secara personal semata. Sebab, keduanya ini adalah sosok yang berpengaruh dan memiliki jabatan tinggi di dalam organisasi teroris Jamaah Islamiyah (JI) itu. Artinya apa? Jangan sampai, pembebasan mereka justru membawa potensi radikalisasi berkelanjutan meskipun organisasi JI ini telah menyatakan bubar.

Apa yang Saya sebut sebagai potensi deradikalisasi di balik upaya pemberian pembebasan bersyarat (PB) atas Napiter. Ini adalah upaya satu jalan penting bagaimana kehadiran para mantan eks-Napiter bisa membawa pengaruh. Tentu, membawa pengaruh yang positif dalam memerangi paham radikalisme-terorisme itu.

Pertaubatan para Napiter tidak boleh hanya untuk dirinya. Tetapi harus menjadi pertaubatan berkelanjutan untuk orang lain. Inilah yang Saya sebut sebagai tanggung-jawab moral eks-napiter dalam berperan melakukan deradikalisasi. Artinya, pemberian pembebasan terhadap para mantan teroris ini tidak hanya mengacu pada hak kemanusiaan individual, tetapi mengacu pada hak kemanusiaan secara universal untuk melepaskan dosa-dosa sosial di balik propaganda sekaligus tindakan radikalisme-terorisme yang dilakukan oleh mereka sejak dulu.

Dalam beberapa tulisan lain, Saya selalu menegaskan. Bahwa apa yang disebut sebagai “akar ideologis” yang mendekam dalam diri seseorang itu tidak akan pernah hilang, pasti membekas dan tak bisa diidentifikasi hanya berdasarkan pengakuan-pengakuan kosong. Kita bisa saja meyakini bahwa para narapidana terorisme yang sudah bebas berarti telah mengalami pertaubatan. Namun satu hal yang harus kita sadari, bagaimana seandainya mereka-mereka ini justru kembali menyebarkan ideologi radikal secara sembunyi-sembunyi? Dengan bersembunyi di balik perubahan dari segi pemikiran, sikap dan ungkapan yang menyatakan kembali ke pangkuan NKRI.

Jadi, memanfaatkan peran para mantan narapidana terorisme untuk mempertanggungjawabkan secara moral dalam membangun deradikalisasi dalam kehidupan masyarakat itu wajib. Bahkan ini harus menjadi syarat yang fundamental dalam kebijakan pemberian pembebasan bersyarat selain beberapa syarat yang telah ditetapkan dalam kebijakan yang dibuat pemerintah.

Saya tegaskan, bahwa para napiter yang bebas harus dijadikan jalan pertaubatan-pertaubatan yang berkelanjutan. Jadi, tak sekadar bebas dan kembali kepada pangkuan NKRI, lalu lepas tangan seperti tak menanggung dosa sosial. Jadi, di balik peluang pemberian pembebasan bersyarat bagi Napiter, sejatinya harus ada potensi deradikalisasi yang berkelanjutan di baliknya. Yaitu menjadikan eks-Napiter berperan aktif dalam menyadarkan seluruh masyarakat, bahwa paham radikalisme-terorisme itu adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang harus ditinggalkan.

Saiful Bahri

Recent Posts

Anak dalam Jejaring Teror, Bagaimana Menghentikan?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…

2 hari ago

Peran Penting Orang Tua dalam Melindungi Anak dari Ancaman Intoleransi Sejak Dini

Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…

2 hari ago

Ma-Hyang, Toleransi, dan Kesalehan dalam Kebudayaan Jawa

urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…

2 hari ago

Petaka Takfiri-Bedah Narasi Pengkafiran Kelompok Radikal Teroris : Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 5 Juni 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

2 hari ago

Menimbang Pendidikan Anak: Benarkah Kurikulum Tahfizh Tersimpan Virus Intoleransi?

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…

3 hari ago

Sekolah Rakyat; Upaya Memutus Radikalisme Melalui Pendidikan

Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…

3 hari ago