Narasi

Pemilu Baru Usai; Lalu Apa?

Pemilu sudah usai. Perjalanan bangsa ini terus berlanjut. Tetapi ada beberapa catatan yang harus diperhatikan agar keberlanjutan bangsa berjalan harmonis. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengeluarkan Laporan Pemetaan Hoaks yang berisi adanya 2.330 hoaks selama tahun 2023 dengan hoaks politik sebanyak 1.292. Dari angka tersebut, 645 di antaranya adalah hoaks terkait Pemilu 2024. Jumlah hoaks itu dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hoaks sejenis pada musim Pemilu 2019 sebanyak 644.

Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, mengutip Kompas.id, memprediksi hoaks akan mencapai puncaknya setelah pemungutan suara 14 Februari 2024 ketika tahapan memasuki rekapitulasi suara hingga gugatan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Serangan-serangan berita bohong tersebut berpotensi menyasar peserta pemilu, penyelenggara pemilu, media, serta lembaga-lembaga.

Akhirnya, propaganda hoaks ini akan menjadi lahan perpecahan baru pasca pemilu dan berpotensi melanjutkan preseden buruk Pemilu 2019 silam. Kerusuhan di Sarinah pasca Pemilu 2019, misalnya, menjadi preseden buruk pemilu di Indonesia setelah sebelumnya masyarakat terpolarisasi secara ekstrem akibat narasi pecah belah di media sosial. Hoaks dan ujaran kebencian tak pelak menjadi racun yang menghabisi persatuan negeri.

Situasi inilah yang mendasari laporan Digital Report dan We Are Sosial pada 2021 bahwa keadaban masyarakat Indonesia ternyata masih sangat rendah dalam aktivitasnya di dunia maya dan aplikasi media sosial. Digital Civility Index yang baru saja dirilis Microsoft pada 16.000 responden di 32 negara antara April-Mei 2020 menunjukkan Indonesia ada di peringkat 29 dengan skor 76 (semakin tinggi skor semakin rendah indeks digital civility).

Ada dua risiko yang terjadi, yakni risiko instrusif  yang terkait munculnya kontak yang tidak diinginkan, hoaks, spam, fraud, hate speech, dan diskriminasi. Kemudian risiko behavioral (perilaku), seperti perlakuan kasar, memancing kemarahan, misogyny, rekrutmen terorisme, kekerasan online, mikroagresi, dan perundungan siber. Meski laporan tersebut dirilis 2020, kedua risiko ini masih berpotensi memiliki skor tinggi di Indonesia pasca Pemilu 2024.

Akibatnya, daya saing digital nasional pun masih berada di urutan ke 56 dari 62 negara di dunia menurut IMD World Digital Competitiveness Ranking pada tahun 2020. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi daya saing Indonesia serta memunculkan kerentanan penyebaran konten negatif, hoaks, ujaran kebencian, perundungan, ragam praktik penipuan hingga radikalisme.

Statistik tersebut mengindikasikan hilangnya sesuatu, yaitu etika digital. Kecepatan yang dihadirkan internet membuat kita semakin mencintai sesuatu yang instan, malas untuk bergerak, dan merasa banyak tahu. Model kehidupan yang serba ekspres ini mengorbankan satu nilai yang sejatinya membuat manusia menjadi manusia, yaitu etika. Dalam konteks media baru, manusia kehilangan netiquette. Sebuah etika berinteraksi dengan sesama via ruang maya.

Skor keadaban digital Indonesia yang rendah itu sejatinya adalah anak kandung dari penggunaan media sosial yang serampangan sehingga melahirkan polarisasi dan kerusuhan di tahun pemilu 2019. Tentu saja angka ini akan menjadi perhatian internasional tentang bagaimana warga Indonesia yang tampak terlihat ramah itu, rupanya mempunyai sisi lain yang beringas di ruang digital utamanya ketika sudah diracuni oleh egoisme politik.

Menyusul catatan buruk itu, Pemilu 2024 dapat menjadi instrumen instropeksi bangsa bahwa Pemilu sering kali “secara tidak langsung”, entah bagaimana, menghilangkan esensi ‘manusia’ pada diri masyarakat Indonesia. Kekecewaan masyarakat atas kekalahan jagoan politiknya, misalnya, dapat merubah keramahan menjadi kemarahan, simpul senyum menjadi muka masam, dan beradab menjadi biadab.

Kabar baiknya, Indonesia menyimpan potensi masyarakat digital yang damai dalam diri Millenial dan Gen Z. We Are Social menyebut, mayoritas pengguna internet tahun 2023 adalah kedua generasi tersebut. Asumsinya, sebagai generasi yang hidup dalam detak jantung digitalisasi, keduanya familiar dengan narasi-narasi digital culture yang baik dan mengimplementasikan netiquette yang berkeadaban. Khususnya Gen Z, banyak dari mereka merupakan pemilih pemula dalam Pemilu 2024. Biasanya, ‘pertama kali melakukan sesuatu’ dapat memunculkan rasa antusiasme yang dibarengi dengan harapan ia dapat berkontribusi demi kebaikan bangsa dan negara.

Ditambah fakta bahwa generasi muda saat ini sudah tidak lagi tertarik dengan narasi-narasi bermuatan kekerasan dan konflik terbuka di ruang publik, Pemilu 2024 sebetulnya bisa potensial menjadi ruang untuk mengintensifkan netiquette. Serendah-rendahnya level implementasi netiquette adalah dengan tidak memproduksi, menyebarkan, atau membagikan ulang narasi bermuatan perpecahan berbasis identitas politik di media-media online.

Adapun kontribusi konkret netiquette adalah dengan memproduksi narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi politik serta menekankan persatuan bangsa. Dalam bahasa Kominfo, aktualisasi netiquette adalah dengan mempopulerkan digital culture. Kebudayaan digitalmerupakan bentuk aktivitas masyarakat di ruang digital dengan tetap memiliki wawasan kebangsaan, nilai-nilai Pancasila, dan kebhinekaan.

Upaya menangani hoaks dan potensi perpecahan pasca pemilu tidak cukup dengan melakukan fact checking, namun juga melalui “vaksinasi informasi”. Caranya dengan menyajikan konten yang mengedukasi publik sehingga memiliki kekebalan imun kuat saat terpapar hoaks. Kebudayaan digital bersama dengan aktualisasi netiquette yang baik akan memberikan sistem imun bagi warganet dari misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Kebudayaan ini yang akan menyelamatkan bangsa dari perpecahan dan menjaga harmoni dan persatuan bangsa setelah kontestasi Pemilu 2024.

Pemilu baru usai. Agenda penting selanjutnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Setelah polarisasi yang mungkin terjadi selama periode kampanye, kini saatnya bagi semua pihak untuk bersatu kembali sebagai satu bangsa, menghormati perbedaan, dan bekerja bersama untuk kepentingan bersama. Masyarakat, pemerintah, dan semua pemangku kepentingan harus bersatu padu untuk membangun masa depan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera demi maslahat bangsa yang lebih baik.

This post was last modified on 21 Februari 2024 9:47 PM

Gatot Sebastian

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

20 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

20 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

20 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago