Narasi

Pendekatan Dakwah Multikulturalisme vs Konfrontatif dalam Kebhinekaan

Dakwah merupakan aktivitas penting dalam menyebarkan pesan keagamaan kepada seluruh elemen masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam dakwah juga memiliki dampak yang berbeda terhadap tatanan sosial, terutama di negara yang plural seperti Indonesia.

Negara Indonesia dikenal dengan kebhinekaan serta keragaman etnis, budaya, dan agama. Terdapat dua pendekatan yang sering dibahas dalam dakwah, yakni dakwah multikulturalisme dan dakwah konfrontatif. Kedua dakwah ini menawarkan pandangan yang berbeda dalam menghadapi keberagaman, serta memiliki keterkaitan erat dengan masalah radikalisme yang saat ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia.

Pertama, Dakwah Multikulturalisme

Dakwah multikulturalisme menekankan pentingnya menghargai keberagaman budaya dan agama yang ada di masyarakat. Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, pendekatan yang dimiliki oleh dakwah multicultural sangat cocok untuk negara Indonesia, dimana Indonesia terdiri dari lebih dari 300 kelompok etnis dan berbagai agama yang hidup berdampingan. Dalam lingkungan yang dimiliki oleh Indonesia, pendekatan dakwah yang inklusif dan menghargai perbedaan sangat penting untuk menjaga kerukunan sosial dan mencegah konflik.

Pendekatan dakwah multikulturalisme sangat sesuai dengan prinsip kebhinekaan di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu,” Indonesia mengakui dan menghormati keragaman dalam berbagai aspek kehidupan. Dakwah multikulturalisme berusaha untuk menjembatani perbedaan ini dengan pendekatan yang menghormati budaya dan agama lain, sejalan dengan ajaran Islam yang juga menghargai keragaman sebagai rahmat Tuhan (Al-Hujurat: 13).

Dakwah multikulturalisme menempatkan dialog antaragama sebagai cara untuk membangun pemahaman dan toleransi. Misalnya, dalam banyak daerah di Indonesia, umat Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama lainnya hidup berdampingan. Dakwah multikulturalisme tidak hanya menekankan pada penyebaran ajaran Islam kepada umat Muslim saja, tetapi juga mengajak umat agama lain untuk berdialog dan berkolaborasi demi kesejahteraan bersama.

Pendekatan multikulturalisme juga fokus pada pemberdayaan umat dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mendorong moderasi dalam beragama. Dakwah multikulturalisme tidak menekankan pada konversi iman, melainkan pada peningkatan kualitas hidup umat Islam dan hubungan yang harmonis dengan kelompok lain. Pendekatan ini sejalan dengan agenda pemerintah Indonesia untuk mempromosikan Islam moderat dan mencegah radikalisme. Dalam konteks radikalisme, pendekatan ini bertujuan untuk memperkuat daya tahan masyarakat terhadap ideologi ekstrem yang mengancam kerukunan antarumat beragama.

Kedua, Dakwah Konfrontatif

Berbeda dengan pendekatan multikulturalisme, dakwah konfrontatif sering kali diidentikkan dengan pendekatan yang agresif, menekankan pada perbedaan teologis, dan berfokus pada konversi iman. Pendekatan ini bisa menjadi pintu masuk bagi munculnya radikalisme agama, yang berpotensi memecah belah kebhinekaan di Indonesia.

Radikalisme sering kali muncul dari pemahaman agama yang eksklusif dan intoleran, yang tidak mengakui keberagaman. Dakwah konfrontatif yang lebih mengutamakan kritik terhadap agama lain dan fokus pada konversi bisa menjadi pemicu ketegangan antarumat beragama. Jika di terapkan di Indonesia, di mana masyarakatnya heterogen, dakwah agresif terhadap keyakinan lain dapat memicu sentimen anti-keragaman dan mendorong munculnya kelompok-kelompok radikal.

Salah satu ciri dari dakwah konfrontatif adalah kurangnya dialog dan kolaborasi lintas agama. Dakwah ini lebih banyak menonjolkan perbedaan teologis dan keyakinan, yang sering kali dikombinasikan dengan retorika yang keras. Ini dapat memperburuk konflik sosial dan agama di Indonesia, yang pada akhirnya berpotensi memecah belah kebhinekaan. Radikalisme agama di Indonesia sendiri sering muncul dari interpretasi agama yang sempit, yang mendorong sikap intoleran terhadap kelompok lain dan bahkan kekerasan.

Menurut penelitian, radikalisme agama di Indonesia sering kali berkaitan dengan kelompok-kelompok yang mengusung ideologi agama secara eksklusif dan menganggap agama lain atau kelompok lain sebagai musuh. Dakwah konfrontatif bisa menjadi salah satu media bagi penyebaran ideologi semacam ini, terutama ketika pesan-pesan yang disampaikan mengandung unsur intoleransi dan penghasutan terhadap kelompok lain.

Di Indonesia, di mana keberagaman sudah menjadi bagian dari identitas nasional, pendekatan dakwah konfrontatif berisiko merusak tatanan sosial yang telah dibangun. Jika dakwah yang konfrontatif ini tidak dikelola dengan baik, Indonesia bisa terjebak dalam konflik agama yang lebih dalam, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu di Ambon, Poso, dan beberapa daerah lain yang pernah mengalami konflik berlatar belakang agama.

Salah satu contoh nyata dari bahaya dakwah konfrontatif adalah munculnya kelompok-kelompok yang menolak keberagaman, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang pernah dibubarkan pemerintah karena dianggap bertentangan dengan prinsip kebhinekaan. Kelompok semacam ini menggunakan retorika dakwah yang konfrontatif untuk menyebarkan ideologi radikal yang tidak sesuai dengan semangat pluralisme Indonesia.

Dakwah Multikulturalisme untuk Mencegah Radikalisme

Dalam menghadapi tantangan radikalisme dan menjaga kebhinekaan, dakwah multikulturalisme menawarkan solusi yang lebih inklusif dan damai. Pendekatan ini tidak hanya membantu mencegah radikalisme, tetapi juga mendukung pembangunan masyarakat yang toleran, di mana perbedaan agama dan budaya dihargai. Pemerintah Indonesia sendiri melalui program Islam Wasathiyah (Islam moderat) berusaha mendorong pendekatan dakwah yang lebih damai dan inklusif sebagai upaya melawan radikalisme.

Dengan mempromosikan dakwah multikulturalisme, Indonesia dapat memperkuat moderasi beragama, yang sangat penting dalam menghadapi tantangan globalisasi dan pluralisme. Moderasi ini akan membantu menjaga stabilitas sosial dan mencegah ekstremisme yang dapat merusak harmoni dalam masyarakat.

Pendekatan dakwah yang inklusif dan multikultural sangat penting dalam menjaga kerukunan dan kebhinekaan di Indonesia. Dakwah multikulturalisme menekankan pada penghargaan terhadap perbedaan, dialog, dan pemberdayaan umat, yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Sebaliknya, dakwah konfrontatif yang bersifat eksklusif dan agresif berpotensi memicu radikalisme, yang bisa merusak tatanan sosial dan kebhinekaan. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan radikalisme di Indonesia, dakwah multikulturalisme menjadi pendekatan yang lebih relevan dan efektif untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian di tengah masyarakat yang beragam.

This post was last modified on 12 Oktober 2024 8:36 AM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Kerapuhan Khalid Basalamah dalam Menyikapi Islamisasi Tradisi Lokal

Salah-satu sosok penceramah yang sangat gencar menolak islamisasi tradisi lokal adalah Khalid Basalamah. Bahkan, beberapa…

20 jam ago

Anggapan Keliru Kearifan Lokal dan Tradisi Menodai Akidah

Akidah mana yang tercemari oleh pujian-pujian kepada nabi, bunyi rebana, wewangi kemenyan, atau bahkan ziarah…

1 hari ago

Kearifan Tuhan dalam Kearifan Lokal

Peran “khalifah” adalah mandatory dari Tuhan yang Maha Kuasa yang dilimpahkan kepada manusia sebagai penduduk…

1 hari ago

Islam dan Kearifan Lokal : Jejak Dakwah Nabi Muhammad Mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin

Dalam sejarah Islamisasi di jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW sangat bijak dalam memberdayakan tradisi lokal…

2 hari ago

Belajar Kearifan Lokal dalam Relasi Islam-Kristen di Desa Ilawe

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dikenal akan kekayaan budaya, tradisi, dan kearifan lokalnya…

2 hari ago

Gejala Inferioritas Beragama; Dari Puritanisme ke Romantisisme

Fenomena keberagamaan kita hari ini diwarnai oleh gejala inferiority complex. Sejenis sindrom rendah diri atau…

2 hari ago