Narasi

Mencari Relevansi Dakwah yang Berorientasi Harmoni

Dakwah sering dipahami sebagai upaya untuk mengajak seseorang berpindah keyakinan, sebuah pandangan yang cenderung sempit ketika dihadapkan pada kompleksitas sosial-budaya Indonesia yang kaya dengan keberagaman agama. Kelompok fundamentalis, dalam berbagai narasi politiknya, masih sering menempatkan konversi iman sebagai inti dari dakwah.

Namun, dalam masyarakat pluralistik seperti Indonesia, redefinisi dakwah yang lebih relevan adalah dakwah yang berfokus pada harmoni antar umat beragama daripada semata-mata berorientasi pada konversi. Dakwah sebenarnya memiliki makna yang lebih luas dan luhur, sebagaimana Rasulullah diutus bukan hanya untuk menyebarkan agama Islam, melainkan juga untuk memperbaiki akhlak.

Dakwah memiliki tujuan untuk membangun masyarakat yang beradab dan harmonis, yang hidup dalam toleransi tanpa harus memaksakan keyakinan kepada yang lain. Oleh karena itu, konversi iman bukanlah tujuan utama dakwah, melainkan dampak dari misi yang lebih besar membangun peradaban yang damai dan berkeadilan.

Narasi yang mengaitkan dakwah dengan “daulah” atau “khilafah” seringkali didorong oleh kepentingan politik tertentu. Kelompok ini menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, sehingga mempolitisasi dakwah. Negara yang berlandaskan Pancasila, gagasan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan yang menjunjung tinggi keragaman dan persatuan.

Gerakan yang mengusung ide negara Islam atau NKRI bersyariah sering kali muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan sosial-politik. Namun, paham seperti khilafah tidak relevan jika ditanamkan di Indonesia yang multikultural dan pluralistic.

Moderasi beragama menjadi kunci penting dalam membangun kerukunan di Indonesia. Moderasi, atau sikap wasathiyyah, mengedepankan jalan tengah yang menghargai keberagaman tanpa harus menjustifikasi benar atau salahnya kepercayaan orang lain. Sikap ini sangat penting untuk menjaga persatuan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Dalam menjalankan dakwah, perlu ada pendekatan yang memperhatikan kemaslahatan umat secara keseluruhan, yang meliputi tiga tingkatan: menjaga kerukunan (dharuriy), tenggang rasa (hajiy), dan penghargaan terhadap kebaikan yang ada pada orang lain (tahsiniy).

Lebih dari sekadar diskusi, dakwah dalam kebhinekaan harus berfungsi sebagai jembatan untuk membangun saling pengertian, menghormati perbedaan, dan menciptakan ruang bagi toleransi. Dengan demikian, dakwah harus dipahami sebagai upaya untuk menciptakan harmoni, bukan konversi.

Misi dakwah yang lebih besar adalah membangun peradaban yang beradab dan harmonis, di mana setiap individu dapat menjalankan keyakinannya tanpa merasa terancam oleh yang lain. Seperti yang dinyatakan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, dalam kesempatan audiensi dengan tokoh lintas agama pada 2023, menjaga harmoni dalam keberagaman merupakan tugas bersama yang melibatkan seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, tokoh agama, maupun masyarakat.

Orientasi dakwah tidak lagi menitikberatkan pada kuantitas konversi, melainkan pada kualitas hasil dakwah itu sendiri, yakni, terciptanya masyarakat yang hidup dalam harmoni dan saling menghormati. Kualitas dakwah diukur bukan dari seberapa banyak orang yang diubah keyakinannya, tetapi dari seberapa besar pengaruh dakwah dalam menciptakan masyarakat yang lebih beradab.

Di Indonesia, dimana Pancasila adalah landasan bernegara, dakwah yang mempromosikan harmoni lebih selaras dengan semangat kebangsaan. Pancasila, bukan hanya dokumen negara yang mengawang-awang, tetapi juga harus diwujudkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Oleh karena itu, dakwah yang mengutamakan dialog dan kerukunan jauh lebih baik dan cocok jika di terapkan dibandingkan narasi yang mengutamakan pembentukan negara berbasis agama.

Redefinisi dakwah dalam kebhinekaan adalah panggilan untuk berfokus pada harmoni antar umat beragama. Dakwah yang sejati adalah dakwah yang memperbaiki akhlak, membangun kerukunan, dan mewujudkan masyarakat yang hidup dalam kedamaian dan keadilan.

This post was last modified on 12 Oktober 2024 8:40 AM

Novi N Ainy

Recent Posts

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

10 jam ago

Negara bukan Hanya Milik Satu Agama; Menegakkan Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua

Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…

10 jam ago

Patriotisme Inklusif: Saat Iman yang Kuat Melahirkan Rasa Aman bagi Sesama

Diskursus publik kita belakangan ini diuji oleh sebuah polemik yang sebetulnya tidak perlu diperdebatkan. Rencana…

10 jam ago

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

1 hari ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

1 hari ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

1 hari ago