Narasi

Penginjilan dan Kebhinekaan: Membangun Perjumpaan Berbasis Kasih dalam Masyarakat Majemuk

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman hidup beragama yang amat kaya. Keberagaman ini merupakan kekuatan sekaligus tantangan dalam membangun masyarakat yang damai dan harmonis. Namun, di tengah kebhinekaan ini, ada juga kelompok-kelompok ekstremis agama yang mencoba mengarahkan proyek proselitisasi mereka (termasuk dakwah dan penginjilan) ke arah eksklusivisme yang mengandalkan konversi identitas beragama. Pandangan seperti ini menganggap misi-misi dakwah dalam tradisi Islam dan penginjilan dalam tradisi Kristen hanya sebatas usaha untuk memperbesar jumlah umat. Pandangan ini tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi memecah belah persatuan bangsa.

Menghadapi konteks tersebut, artikel ini akan berfokus pada penginjilan pada tradisi Kristen, sambil bertujuan untuk menawarkan pandangan alternatif terhadap penginjilan, yakni bahwa misi penginjilan dalam konteks Kristen seharusnya berfokus pada penyebaran nilai kasih, moralitas, dan perjumpaan antarumat yang melampaui identitas keagamaan. Pemuridan yang diajarkan Yesus dalam Matius 28 lebih menekankan ajaran kasih daripada kuantitas umat. Dalam konteks Indonesia, penginjilan yang berbasis kasih ini sejalan dengan semangat Pancasila dan dapat menjadi landasan dalam menjaga kebhinekaan serta kerukunan antarumat beragama.

Tantangan Penginjilan dalam Masyarakat Majemuk

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, dakwah dan penginjilan sering kali disalahpahami oleh kelompok-kelompok tertentu. Kelompok fundamentalis, baik dari kalangan Islam maupun Kristen, seringkali menyempitkan pemahaman dakwah atau penginjilan sebagai usaha untuk memperluas jumlah pengikut dengan mengabaikan kerukunan antarumat beragama. Penginjilan sering dianggap sebagai upaya konversi massal, yang pada akhirnya dipandang sebagai ancaman bagi kelompok agama lain.

Kelompok-kelompok ini memandang bahwa konversi identitas adalah inti dari penginjilan, padahal sebenarnya, ajaran Kristen tidak menempatkan konversi identitas ini sebagai tujuan utamanya. Ajaran Yesus tentang penginjilan yang didasarkan pada Matius 28:19-20 justru sedang menekankan pentingnya penyebaran nilai kasih sayang kepada sesama, bukan perpindahan identitas keagamaan, apalagi penambahan jumlah jemaat. Dalam konteks kebangsaan, pemahaman yang sempit terhadap penginjilan ini memicu ketegangan antaragama, yang berujung pada polarisasi sosial dan ancaman terhadap persatuan nasional.

Dalam hal ini, Pancasila, sebagai dasar negara, memainkan peran penting dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Pancasila menekankan prinsip-prinsip keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan, yang semuanya mendukung kehidupan yang damai di antara masyarakat yang berbeda agama. Oleh karena itu, penginjilan dalam konteks Indonesia seharusnya selaras dengan semangat Pancasila, di mana kebhinekaan dilihat sebagai kekayaan yang harus dijaga, bukan sebagai hambatan yang harus diatasi melalui konversi identitas keagamaan saja.

Penginjilan Berbasis Kasih dan Perjumpaan

Misi penginjilan dalam Kristen, sebagaimana ajaran Yesus, berfokus pada penyebaran kasih kepada semua orang tanpa memandang latar belakang agama. Pemuridan yang dimaksud oleh Yesus dalam Matius 28 bukanlah tentang menambah jumlah populasi orang Kristen, melainkan mengajarkan nilai-nilai moral dan kasih sayang yang bersifat universal tanpa memandang identitas keagamaan. Kasih, dalam konteks ini, adalah inti dari penginjilan yang bertujuan untuk membangun peradaban yang luhur dan harmonis, bukan untuk menciptakan dominasi agama tertentu.

Penginjilan berbasis kasih ini sangat penting dalam konteks kebhinekaan di Indonesia. Dalam masyarakat yang majemuk, penginjilan seharusnya tidak diarahkan untuk mengubah status identitas orang dari agama lain, tetapi lebih kepada membangun perdamaian yang melampaui identitas agama, yang bertujuan untuk memperkuat kohesi dan keadilan sosial. Perdamaian antaragama ini bukan hanya tentang memperdalam pemahaman saja, tetapi juga sebuah perjuangan bersama dalam mengatasi kesalahpahaman yang sering kali menjadi sumber konflik.

Dalam perspektif ini, pemuridan yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Yesus dapat dilihat sebagai landasan bagi pemahaman kita tentang penginjilan dan perjumpaan umat beragama di Indonesia. Perjumpaan yang dibangun atas dasar kasih dapat membantu memperkuat kerukunan di antara umat beragama, mengurangi ketegangan, dan menegaskan kembali pentingnya nilai-nilai moral yang mendukung kehidupan yang damai. Dengan demikian, penginjilan tidak lagi dipahami sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari upaya bersama untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Penginjilan yang didasari oleh kasih dan perjumpaan juga sejalan dengan semangat Pancasila, di mana semua agama dan kepercayaan memiliki tempat yang sama dalam kehidupan berbangsa. Kasih yang diajarkan oleh Yesus bukanlah eksklusif untuk kalangan tertentu, melainkan universal dan dapat diterapkan dalam semua konteks sosial. Oleh karena itu, penginjilan dalam konteks kebhinekaan tidak hanya relevan, tetapi juga penting untuk menjaga integritas dan persatuan nasional.

Penutup

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, penginjilan seharusnya dipahami bukan sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah umat Kristen, tetapi sebagai sarana untuk menyebarkan kasih dan moralitas yang bersifat universal. Ajaran Yesus dalam Matius 28 menekankan pentingnya pemuridan, yang berarti mengajarkan cinta kasih kepada semua orang tanpa memandang latar belakang agama. Hal ini sangat relevan dalam konteks kebhinekaan Indonesia, di mana harmoni antarumat beragama menjadi prioritas.

Penginjilan berbasis kasih sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, yang mendukung keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan ekstremisme agama, penginjilan yang berbasis kasih dan perjumpaan antar agama dapat menjadi solusi untuk menjaga persatuan dan kerukunan di Indonesia. Dengan menekankan pada kualitas penginjilan yang berfokus pada nilai-nilai etika dan moral, bukan kuantitas, kekristenan dapat memainkan peran penting dalam membangun peradaban yang damai dan harmonis.

This post was last modified on 8 Oktober 2024 5:21 PM

Rezza Prasetyo Setiawan

Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago