Keagamaan

Pentingnya Cerdas dalam Beragama

Dalam kisah kolosal Ibadah Kurban terdapat banyak hikmah yang penting untuk dipelajari. Ketika Tuhan menguji Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, sesungguhnya Tuhan juga mengajarkan cara bagaimana Ibrahim cerdas dalam beragama. Ketaatan saja tidak cukup, tetapi kecerdasan dalam beragama menjadi hal utama.

Apa yang dilakukan Ibrahim menjadi pijakan awal bagaimana beragama yang cerdas. Beragama yang tidak hanya mengandalkan ketaatan, tetapi juga butuh perenungan dan pemikiran. Ibrahim pun merenung penuh keraguan tentang perintah penyembelihan anaknya. Apakah berasal dari Tuhan atau bisikan Syaitan?

Itulah proses tarwiyah –bermakna pemikiran dan perenungan- yang dikenang dalam lembaran napak tilas Ibrahim. Ibrahim tidak gegabah. Ibrahim tidak menjadi orang yang seolah paling dekat dengan Tuhan. Ibrahim merenungi dengan pemikiran yang mendalam sehingga ia mendapatkan kepastian pengetahuan atau dikenang dengan nama arafah yang bermakna pemahaman atau pengetahuan bahwa itu adalah perintah Tuhan.

Dengan berbekal ketaatan dan keikhlasan yang bulat Ibrahim pun rela memberikan nyawa anaknya kepada Tuhan. Tetapi, Tuhan bukan Pemangsa. Tuhan memberikan pelajaran yang sangat cerdas dalam beragama. Tuhan hanya menguji ketaatan dan ketakwaan seorang hamba.

Tuhan seakan ingin mengajarkan: Hai Ibrahim, bukan itu makna penyembelihan, tetapi sesungguhnya ketaatan dan keikhlasan dalam dirimu yang dihargai. Tidak perlu mengorbankan nyawa seseorang untuk menunjukkan ketaatan, tetapi keikhlasan dan ketakwaan adalah takaran utamanya.

Tuhan pun memberikan pelajaran penting dengan berfirman : Allah tidak akan menerima daging-daging dan darah-darah hewan kurban mereka akan tetapi yang Allah terima adalah ketaqwaan dari kalian (Al-Hajj: 37). Pesan ini menjadi jelas bagaimana Tuhan mengajarkan ada hakikat yang tidak tampak dari kebisingan dan keramaian beribadah yang sering dibanggakan. Bukan kemeriahan itu yang diharapkan tetapi sejatinya ketakwaan dan keikhlasan tersembunyi seorang hamba yang menjadi penentu nilai.

Kisah komunikasi Ibrahim dengan Tuhan tersebut mengajarkan banyak hikmah salah satu yang sangat penting adalah cerdas dalam beragama. Ibrahim mengajarkan bagaimana ia tidak gegabah menerima perintah Tuhan, tetapi melengkapinya dengan perenungan dan pemikiran. Inilah cara beragama yang sudah ditanggalkan oleh sebagian kita lalu menggantinya dengan cara beragama yang instan.

Banyak di antara kita sangat gegabah seolah mendapatkan perintah Tuhan mengorbankan nyawa. Jangan-jangan itu adalah bisikan syaitan melalui manusia yang tak bertanggungjawab. Bukan pengorbanan seperti itu yang diharapkan Tuhan, tetapi pengorbanan egoisme dalam bentuk keikhlasan dan ketakwaan yang sebenar-benarnya takwa.

Cerdas dalam beragama itu sangat penting untuk mengetahui hakikatnya sebenarnya di balik yang tampak. Banyak dari kita terjebak pada cara beragama yang heroistik yang seolah sudah sangat intim dengan Tuhan. Bahkan di antara kita ada yang paling nyaring seolah mewakili suara Tuhan. Dan lebih menyedihkan ada juga yang sangat sombong mengklaim paling absah mewakili Tuhan dan menyebut diri khalifah satu-satunya di muka bumi.

Terkadang di antara kita ponggah sebagai para pembela Tuhan. Padahal mengklaim pembela Tuhan sejatinya secara tidak sadar kita melemahkan Tuhan. Kita seolah sangat kuat sehingga pantas membela Tuhan Yang Maha Kuat dan Agung (al-qowy wa al-aziz). Tuhan akan mengajarkan bukan pembelaan yang ingin diharapkan, tetapi pembelaan terhadap keteguhan keimananmu yang dinilai.

Selain menguji, Tuhan pun terkadang memberikan iming-iming lahiriyah untuk memberikan pengertian kepada akal yang masih awam. Tuhan menjanjikan surga, ada bidadari sebagai penghibur, ada wildan sebagai pelayan dan sejuta kenikmatan lahiriyah lainnya.

Tetapi akal awam menangkap pesan itu secara tidak cerdas. Dengan kedangkalan beragama kita menangkap iming-iming itu sebagai tujuan utama yang ingin diraih. Terkadang sebagian dari kita menjadi kalap beragama. Beragama semata ingin meraih surga, tetapi menomorduakan Pemilik Surga.

Saya ingin mengutip suatu syiir yang cerdas yang popular di telinga kita. Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli syurga, tetapi aku tidak kuat dalam neraka. Maka terimalah taubatku dan ampunilah segalaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun. Syair inilah merupakan refleksi bagaimana cerdas dalam beragama.

Bukan orang beragama yang ponggah seolah telah menyewa atau membeli satu kamar dalam syurga. Bukan tujuan beragama ingin menikmati keindahan surga dan bidadari. Sesungguhnya kenikmatan terbesar yang dicari oleh umat beragama ketika taubat dan ampunan diterima oleh Tuhan.

This post was last modified on 13 September 2016 10:56 AM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

7 jam ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

7 jam ago

Tabayun, Disinformasi, dan Konsep Bom Bunuh Diri sebagai Doktrin Mati Syahid

Dalam era digital yang serba cepat dan terbuka ini, arus informasi mengalir begitu deras, baik…

7 jam ago

Amaliyah Istisyhad dan Bom Bunuh Diri: Membedah Konsep dan Konteksnya

Kekerasan atas nama agama, khususnya dalam bentuk bom bunuh diri, telah menjadi momok global yang…

8 jam ago

Alarm dari Pemalang dan Penyakit Kronis “Kerukunan Simbolik”

Bentrokan yang pecah di Pemalang antara massa Rizieq Shihab (“FPI”) dan aliansi PWI LS lalu…

1 hari ago

Pembubaran Pengajaran Agama dan Doa di Padang: Salah Paham atau Paham yang Salah?

“hancurkan semua, hancurkan semua, hancurkan semua”. Begitulah suara menggelegar besautan antara satu dengan lainnya. Di…

1 hari ago