Narasi

Pentingnya Menggabungkan Retorika Dan Etika Untuk Menciptakan Debat Yang Sehat

Masyarakat Indonesia baru saja menyaksikan capres dan cawapres idola mereka berdebat di ajang Debat Capres 2019 pada, Kamis (17/01/2019). Debat pertama yang mengangkat isu HAM, korupsi, dan terorisme tersebut ternyata tidak berhenti pada dua paslon, melainkan terus berlanjut di kalangan pengidola mereka yang kemudian meramaikan panggung media sosial. Hal seperti ini, dalam masyarakat demokratis, merupakan hal yang wajar dan sepatutnya diapresiasi selama itu tidak menjurus pada pendeskritan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain.

Ramainya perdebatan di panggung media sosial pasca Debat Capres pertama, menunjukkan bahwa acara yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut sejauh ini mampu mencuri perhatian masyarakat terlepas dari segala kekurangannya. Bukan hanya itu, Analis Komunikasi Politik Universitas Paramadina, sebagaimana dilansir Republika.co.id, menjelaskan hasil surveinya, yaitu dari 25,2 persen responden yang pada mulanya belum menentukan pilihan menjadi 9,4 persen pasca-Debat Capres.

Angka-angka seperti di atas tentunya sangat fluktuatif dan apa pun bisa terjadi pasca empat debat yang tersisa. Artinya, pasca empat debat yang tersisa, jumlah mereka yang telah menentukan pilihan bisa saja menurun dan begitu pula dengan elektabilitas masing-masing paslon. Oleh karena itu, penting bagi masing-masing paslon untuk menampilkan di hadapan publik bagaimana sesungguhnya perdebatan yang sehat, terlebih-lebih perdebatan mereka juga tidak luput dari sorotan media internasional.

Ada dua hal yang harus disadari sejak dini oleh masing-masing paslon sebelum mereka memasuki panggung debat selanjutnya. Pertama, Debat Capres bukan hanya soal di mana satu paslon berhadapan dengan paslon yang lain, lebih dari itu, mereka harus menyadari bahwa apa yang mereka hadapi sesungguhnya adalah masyarakat selaku hakim tertinggi yang akan menilai seluruh ucapan mereka. Kedua, masing-masing paslon juga harus menyadari bahwa buruknya cara mereka berdebat bukan hanya akan merusak kredibilitas mereka sebagai pemimpin, melainkan dapat juga merusak nama baik bangsa Indonesia di mata dunia. Setelah dua hal ini disadari, langkah yang harus dijalani masing-masing paslon adalah mempraktekkan debat yang sehat.  Bagaimana sebenarnya debat yang sehat itu?

Baca juga : Tawaran Debat Santun Beretika Islami

Perdebatan dapat disebut sehat ketika peserta debat mampu mengabungkan retorika dan etika sebaik mungkin. Aristoteles (384-322) dalam karyanya Retorika menjelaskan bahwa retorika sebagai seni persuasi sangat dibutuhkan dalam berdebat karena dua alasan. Pertama, kebenaran tidak akan menang dengan sendirinya sehingga, peserta debat harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa dirinya memang berada di pihak yang benar. Kedua, luasnya pengetahuan tidak serta-merta membuat masyarakat yakin terhadap apa yang diucapkan peserta debat sehingga, dengan retorika, peserta debat seharusnya mampu menyelaraskan bahasanya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat secara umum. Penjelasan ini sekali lagi menegaskan, bahwa apa yang seharusnya diraih peserta debat bukanlah simpati lawan debat, melainkan simpati publik.

Selanjutnya, hanya bermodalkan retorika tidak akan cukup untuk menciptakan debat yang sehat. Bahkan over-retorika dapat berujung pada debat yang sofistik di mana peserta debat akan membenarkan segala cara untuk mengelabui masyarakat. Berbicara tentang etika, maka debat memiliki etikanya sendiri. Salah satu etika debat adalah menyampaikan gagasan-gagasan dengan cara yang argumentatif dan menyangkal gagasan-gagasan lawan dengan cara yang sama. Pada hari ini, debat seringkali justru mengarah kepada hal-hal yang intimidatif, alih-alih argumentatif. Intimidasi sebenarnya merupakan strategi debat yang tujuannya tidak lain untuk membunuh karakter lawan, baik itu dengan cara menyerang psikologis maupun dengan cara menyinggung hal-hal yang paling sensitif bagi lawan. Strategi debat seperti ini jelas tidak sehat dan harus dihindari oleh siapa pun mereka yang ingin berdebat, terlebih-lebih oleh capres dan cawapres kita yang akan menjalani empat sesi debat yang tersisa.

Debat Capres selanjutnya akan dilaksanakan pada, Minggu (17/02/2019). Kita berharap agar acara debat yang kedua nanti jauh lebih baik dari yang pertama. Selain itu, kita juga berharap agar masing-masing paslon mampu sebaik mungkin menyampaikan gagasan-gagasan terbaiknya untuk memajukan Indonesia.

This post was last modified on 31 Januari 2019 8:53 AM

Mindra Hadi

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

3 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

3 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

3 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

3 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

21 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

21 jam ago