Upaya pemerintah mengakhiri pandemi Covid-19, baik melalui pengenalan vaksin maupun vaksinasi mulai bersambut. Kendati masih menyisakan pro dan kontra terkait vaksin Covid-19 di tengah masyarakat. Silang pendapat perihalnya pun ramai. Pasalnya, ada saja seorang atau sekelompok orang yang secara tegas menolak vaksinasi. Penyebabnya banyak dan beragam, mulai dari kekurangtahuan masyarakat, keraguan yang masih mempertanyakan hukum halal dan haramnya vaksin, hingga soal kurangnya informasi yang akurat.
Bahkan, silang pendapat kian ruwet ketika upaya vaksinasi yang akan dilaksanakan secara masal tersebut, justru tidak sepi dari resistansi informasi hoaks dan virus radikalisme. Fenomena ini yang sejatinya luput dari masyarakat. Selain pentingnya vaksinasi Covid-19, jangan sampai melupakan pentingnya vaksinasi dalam bentuk lain yang menjangkit masyarakat, yakni vaksinasi hoaks dan ideologi kekerasan.
Virus dalam bentuk lain ini mewabah dan menggerogoti banyak orang dalam dua dekade terakhir. Bahaya hoaks yang diikuti oleh virus radikalisme dalam berbagai bentuknya, seperti anti nasionalisme (termasuk juga kelompok separatis bersenjata), ancaman ideologi, seperti anti-Pancasila, puritanisme agama, sektarianisme, dan populisme Islam dinilai telah menginfeksi masyarakat kita.
Meminjam data dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri yang telah menangkap sebanyak 228 tersangka kasus terorisme sepanjang 2020. Polri berhasil mencegah aksi terorisme, termasuk yang menjadi sorotan publik tentang penangkapan 23 teroris kelompok Jamaah Islamiyyah (JI) pada bulan November dan Desember di Jawa Tengah. Ironisnya, yang menjadi sasaran empuk doktrin ideologi kekerasan mereka adalah para generasi muda yang kesehariannya selalu mengakses dunia maya.
Tentu, alasannya masuk akal, bahwa generasi muda memiliki semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi, didorong psikologi doktrin secara dogmatis yang meyakinkan dan relatif banyak jumlahnya. Maka dari itu tidak heran, sebagian besar dari kelompok ekstrem ini digerakkan oleh anak-anak muda. Dengan kata lain, mereka yang muda, rawan “terpapar virus” radikalisme dan ideologi kekerasan.
Kiranya, fenomena virus hoaks dan ideologi kekerasan telah menjadi isu global. Virus ideologi kekerasan menjadi gerakan transnasional yang merambah diberbagai negara yang dianggap strategis oleh penganut paham ini. Memang, virus seperti ini ada di semua agama dan tidak menjadi dominan di agama tertentu saja, tetapi harus diakui belakangan ini yang banyak terjadi adalah ideologi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Meskipun, aksi terorisme dikutuk mayoritas masyarakat, akan tetapi tetap saja diyakini oleh para pelaku dan kelompok tertentu sebagai bentuk kebenaran.
Barangkali, itulah mengapa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Mahfud MD, yang mengomentari terkait penolakan pemerintah untuk memulangkan kombatan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pada, Rabu (30/10/2020). Mahfud mengibaratkan pemimpin ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi adalah biang kerok mewabahnya virus ideologi kekerasan, sampai ke Indonesia. Menurutnya, penyebaran virus yang banyak menginfeksi masyarakat Indonesia, harus menjadi perhatian serius. Hal itu patut dicegah, bahkan dihilangkan.
Potensi dari penetrasi ideologi kekerasan ini tidak hanya menjalar di darat, melainkan di udara yang tersambung dalam jaringan internet. Banyaknya doktrin menjadi ladang subur berkecambahnya narasi kebencian, provokatif, propaganda, hingga informasi hoaks. Bahkan, alam maya merupakan peran kunci menyebarnya “pandemi” sayap kanan konservatif dan ekstremisme agama.
Dalam buku Thus Spoke Zarathustra (2018), filsuf Nietzsche menjelaskan bahwa kelompok orang seperti ini cenderung tidak terbuka pada pemahaman lain selain yang ia percayai. Tidak sekadar menaruh kecurigaan, tetapi kelompok ini percaya bahwa dunia bekerja sesuai alam pikirannya. Segala cara dilakukan, mulai dengan membangun narasi yang logis, hingga menghubung-hubungkan fakta demi mendukung argumentasi mereka yang sejatinya diragukan kebenarannya. Intinya, mereka membutuhkan justifikasi atas kepercayaan mereka. Oleh karena itu, dalam hal ini sangat dibutuhkannya ‘inokulasi’ dari haoks dan ideologi kekerasan.
Istilah inokulasi sebenarnya dikenalkan oleh William J.McGuire dalam bukunya yang berjudul, The Inoculation Model of Resistance to Influence, yang mengatakan bahwa menganalogikan proses dunia digital seperti dunia medis. Setiap orang harus diberi “vaksin” untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Seorang yang memiliki daya tahan tubuh kuat tentu akan mudah terserang penyakit. Pun demikian dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara, seorang agar tidak mudah terbawa arus menyebarkan virus informasi hoaks dan ideologi kekerasan harus diberi vaksin.
Adapun dua hal penting untuk meyakinkan masyarakat terkait dengan vaksinasi hoaks dan ideologi kekerasan. Pertama, sosialisai moderasi beragam yang dapat ditunjukkan dengan prinsip dasar, yakni menerima bentuk negara ketuhanan, dengan menolak bentuk negara sekuler dan negara teokrasi. Pancasila sudah final sebagai asas berbangsa dan bernegara.
Memiliki sikap toleransi, dengan menerima adanya pluralitas dan keragaman agama dan keyakinan Indonesia, serta memilih pendekatan dialog, dalam menyelesaikan konflik atau perbedaan pendapat dan menjauhi cara-cara kekerasan di masyarakat. Hal ini tentu bertujuan untuk terhindarnya dari serangan konflik bernuansa kekerasan (violent conflict) atas nama agama. Sebab, sampai di sini, kita menyaksikan indoktrinasi yang bersifat destruktif pada salah satu kejahiliyahan abad modern sekarang ini.
Pada gilirannya, generasi muda yang selalu memegang erat gawai mereka, dapat mengakses pelbagai bias informasi sehingga akan mudah “terinfeksi” virus radikalisme yang berujung pada aksi-aksi intoleran, dan berakhir dengan ideologi kekerasan atau terorisme. Hal ini yang harus diwaspadai dan perlu kita sadari bersama.
Kedua, melakukan sosialisasi melalui berbagai kanal terkait literasi media. kiranya, beragam kemudahan menyebarkan informasi telah mengubah paradigma kita sebagai pengguna internet, khususnya dalam mengakses informasi. Banyak situs atau postingan yang viral, tak jarang konten tersebut berisi narasi propaganda, ujaran kebencian, dan hoaks, misalnya saja berita-berita bohong yang terus membombardir linimasa media sosial terkait dengan hoaks mengatasnamakan agama, kekerasan, dan lain sebagainnya.
Puncaknya, dari gejala melemahnya kritis nalar publik ialah ketika dunia maya menjelma menjadi ajang kompetisi. Siapa yang paling pintar dan siapa yang paling cepat dalam penyebaran informasi. Pengguna media, khususnya generasi muda lantas terobsesi dengan kecepatan. Akan tetapi, luput dari mekanisme untuk memastikan keakuratan sebuah informasi. Alhasil, produksi dan distribusi informasi menjadi centang perenang, serba semrawut dan abai pada variabel penting penyebaran informasi, yakni; verifikasi.
Padahal, jika kita cermati ungkapan Joseph Goebbels (1897), seorang Menteri Propaganda di masa Hitler yang pernah mengatakan, if you repeat a lie often enough people will believe it, and you will even come to believe it yourself. Kebohongan jika disampaikan secara berulang-ulang akan membuat orang percaya, dan kita juga akan mempercayainya. Kiranya, pernyataan Goebbels selama puluhan tahun tersebut terasa relevan dengan maraknya perkembangan hoaks di dunia maya hari ini.
Sementara itu, jika pencegahan tidak segera dilakukan, maka virus pemikiran dan doktrin ideologis dogmatis ekstrem yang menjalar di media itu semakin tumbuh dan berkembang, sehingga akan mengancam keutuhan bangsa. Apalagi virus dalam varian ini, relatif sulit untuk dilihat secara kasat mata. Singkatnya, cara melawannya, harus menguatkan kembali ideologi dan dasar negara, meningkatkan pentingnya literasi, serta mengerti tujuan berbangsa dan bernegara, menanamkan rasa cinta Tanah Air, dan sosialisasi pemahaman realitas sosio-kultur kehidupan yang beragam; beraneka warna; tidak eksklusif.
Dengan demikian, selain vaksinasi Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah, demi merawat nalar publik yang tertidur panjang karena dininabobokan oleh nyanyian hoaks dan ideologi kekerasan, maka dari itu, penting juga vaksinasi hoaks dan ideologi kekerasan untuk masyarakat. Sebab, disamping butuhnya vaksinasi untuk menjaga imunitas fisik, sejatinya juga penting untuk melakukan vaksinasi nalar publik. Oleh karena itu, cerdas dalam menerima informasi dan ideologi kekerasan yang bertentangan dengan falsafah bangsa merupakan upaya menjaga Negara Kesatuan Indonesia (NKRI).
This post was last modified on 19 Januari 2021 1:02 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…