Faktual

Penutupan Patung Bunda Maria : Antara Preseden Buruk dan Krisis Toleransi di Bulan Suci

Beberapa waktu lalu (22/ 3) jagat media sosial kita dihebohkan dengan aksi penutupan Patung Bunda Maria yang berada di ST Yacobus, Degolan, Bumirejo, Kulon Progo. Menurut informasi awal, penutupan itu dilakukan oleh  pihak kepolisian. Namun, belakangan ada diklarifikasi bahwa penutupan itu dilakukan oleh pemiliknya karena ada ormas Islam yang keberatan terhadap keberadaan patung tersebut karena dinilai mengganggu kekhusyukan ibadah puasa jemaah Masjid Al Barokah yang berjarak 6 meter dari patung tersebut.

Menurut laporan Tempo.co, sebanyak lima orang dari ormas yang berafiliasi dengan partai politik Islam meminta pengelola rumah doa Sasana Adhi Rasa ST. Yakobus, Petrus Sarjiyanta menutup serta membongkar patung Bunda Maria berukuran jumbo tersebut. Alasan mereka, karena atung tersebut dianggap mengganggu kekhusyukan ibadah puasa umat Islam sebagaimana dikeluhkan salah satu warga kepada ormas Islam tersebut.

 Namun, terlepas dari pihak mana yang memotori penutupan Patung Bunda Maria tersebut, penutupan Patung Bunda Maria tersebut tetaplah presiden buruk yang menandakan krisis toleransi yang sangat disayangkan. Terlebih, penutupan itu dilakukan di awal momentum bulan ramadhan, tentu hal itu amat kita sesalkan. Ramadhan adalah bulan suci. Karena itu, hal yang tepat untuk kita lakukan di bulan ini seharusnya adalah mengisinya dengan kegiatan positif, bukan mengisinya dengan tindakan yang menciptakan kegaduhan dan perpecahan.

Ironisnya lagi, alasan di balik penutupan patung Bunda Maria tersebut juga tidak logis dan rasional dan bahkan terkesan mengada-ada: mengganggu ibadah umat muslim. Padahal, patung adalah patung: tak bergerak dan tak pula menimbulkan suara sedikit pun. Lalu bagaimana bisa patung Bunda Maria tersebut dikatakan mengganggu ibadah umat muslim? Apakah iya umat muslim yang hendak melaksanakan ibadah ke masjid Al Barokah tersebut kemudian membatalkan diri karena patung tersebut? Tentu tidak, bukan?

Karena itu, diduga kuat, penutupan patung Bunda Maria itu bukan karena alasan mengganggu ibadah umat muslim. Melainkan karena adanya ego mayoritas sebagian kelompok. Ego mayoritas adalah kondisi  di mana kelompok mayoritas merasa sebagai pihak yang paling berhak dan berotoritas atas segala aturan dan kebijakan sosial dalam sebuah masyarakat. Sehingga dengan mudahnya melakukan tindakan-tindakan diskriminatif terhadap kelompok lain. Khususnya terhadap mereka yang secara sosial,  minor. Sebagai mayoritas, mereka merasa sebagai pihak yang paling berkuasa.

Selain alasan ego mayoritas, besar kemungkinan juga ada alasan politis di balik penutupan patung Bunda Maria tersebut. Sebab, sebagai mana diketahui, ormas yang meminta patung Bunda Maria itu ditutup dan/atau dibongkar adalah ormas yang terafiliasi dengan partai politik berbasis Islam. Jadi, sangat mungkin jika penutupan patung Bunda Maria itu juga bermotif politik guna meraih simpati umat Islam setempat di 2024 nanti, tentunya.

Mengubur Ego Mayoritas, Melindungi Minoritas

Dalam hukum keagamaan di Indonesia, semua warga negara memiliki hak untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaan dan keyakinannya masing-masing. Bahkan hal itu telah dijamin dengan tegas oleh konstitusi. Pasal 29 ayat dua UUD NRI 1945, menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Karena itu, dalam konteks Indonesia, seharusnya tidak boleh ada pihak atau kelompok keagamaan yang merasa paling berhak atas kelompok lain meskipun kedudukannya mayor. Sebab, mayor ataupun minor, semuanya memiliki hak yang sama untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing

Karenanya, dengan hal itu, sudah semestinya ego mayoritas  ataupun alasan-alasan politis itu dikubur dalam-dalam. Jika terus dipelihara, ego mayoritas dan politisasi isu keagamaan itu hanya akan menciptakan kegaduhan dan perpecahan sosial tanpa ujung.

This post was last modified on 28 Maret 2023 2:40 PM

Elly Ceria

Recent Posts

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

22 menit ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

4 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

4 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

1 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago