Narasi

Perbedaan Yes, Perpecahan No!

Sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia adalah Negara yang unik. Salah satu keunikannya adalah komposisi masyarakatnya yang majemuk atau plural. Kondisi semacam ini tidak menyebabkan Indonesia setiap hari perang saudara karena banyaknya perbedaan. Justru, perbedaan dapat dijadikan sebagai kekuatan.

Dalam perjalanannya, perbedaan tidak selalu menjadi kekuatan. Artinya, batu sandungan selalu ada. Batu sandungan itu ada kalanya muncul seperti primordialisme, etnosentrisme dan menganggap kebenaran tunggal.

Poin terakhir inilah yang saat ini sedang “dipelihara” oleh sebagian orang atau kelompok tertentu. Bahwa kebenaran hanya milik kelompoknya sendiri. Selain kelompoknya dianggap sebagai musuh (kafir, thagut, dll).

Padahal perbedaan adalah sesuatu yang niscaya, tidak dapat dihindari. Akan tetapi, sekali lagi, kelompok yang sedang membangun agenda dengan melancarkan serangan bahwa yang paling benar dan berhak masuk surge adalah kelompoknya sejatinya sudah muncul dipermukaan.

Aksi teror yang mengancam ketertiban dan keamanan serta persatuan Indonesia adalah buah tangan dari kelompok yang menginginkan adanya satu komunitas, tidak menghargai perbedaan.

Sebagaimana yang dilakukan oleh ISIS. Orang maupun kelompok yang berbeda pandangan politik dengannya dianggap sebagai kafir dan wajib dibunuh. Tentu kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, berbagai teror akan terus berlangsung sehingga negeri ini akan kacau-balau.

Oleh sebab itulah, pada tahun 2010 berdasarkan desakan aspirasi masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membuat lembaga tersendiri yang mampu menangani terorisme secara komprehensif dari hulu ke hilir. Hasilnya, pemerintah membentuk Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Legalisasinya melalui Perpres Nomor  46 Tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme  (BNPT).

Kini, usia BNPT sudah menginjak 7 tahun. Sudah banyak hal yang dicapainya. Namun tidak lantas menguras tuntas kejahatan seperti terorisme. Sebab, benih terorisme secara dini sulit ditelisik mengingat terorisme adalah sesuatu yang abstrak karena berawal dari doktrin keagamaan yang salah kaprah.

BNPT dan Sinergi Generasi Muda

Dalam sepak terjangnya, BNPT telah melancarkan berbagai stategi deradikalisasi dan melakukan penangangan terhadap bahaya terorisme yang mulai merambah dalam generasi muda. Melihat kenyataan demikian, BNPT menggandeng generasi muda untuk memerangi dan mencegah paham radikal.

Sebagaimana ditengarai bahwa orang yang menganut paham radikal cenderung fanatik dan tidak menghargai perbedaan. Baginya, dunia ini terdiri dari dua golongan saja. Yaitu Dar Islam dan Dar Harb. Golongan pertama adalah mereka dengan interpretasi keagamaan menurut mereka sendiri. Sementara golongan kedua adalah pihak selain mereka dan ini wajib diperangi kecuali ikut atau bergabung dalam kelompok mereka.

Maka dari itulah, BNPT melalui program duta damai, memberikan pelajaran penting akan sikap moderat. Sikap moderat sangat luwes. Ia bisa maju dan ada kalanya bisa mundur. Tidak fanatik dan juga tidak intoleransi.

Presiden Indonesia pertama, Bung Karno pernah mengatakan bahwa kebhinnekaan bukan menjadi penyebab kita terbelah atau bahkan terpecah, melainkan menjadikan alasan kuat untuk kita bersatu. Kira-kira inilah yang hendak dicapai BNPT, selain menanggulangi masalah terorisme, yakni menanam SDM yang moderat, yang selalu menghargai perbedaan dan menyebarkan perdamaian.

Dalam Islam, teologi kerukunan sudah tercermin. Bahwa persatuan adalah kewajiban dan perpecahan adalah dosa besar.

Perbedaan Adalah Kekayaan

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya umat manusia akan dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji umat manusia terhadap pemberian-Nya, maka umat manusia diperintahkan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (QS. Almaidah, 48). Jadi, perbedaan anugerah Allah. Jika mengingkari perbedaan, maka ia ingkar Allah pula. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan umat Islam bukan mempertajam perbedaan, melainkan meningkatkan kualitas takwa dan beramal baik serta berlomba-lomba dalam kebaikan.

Yusuf Qordhawi dalam Ash-Shahwah al-Islamiyyah, Bainal Ikhtilafil Masyru’ wat-Taffaruqil Madzmum (1990) menambahkan bahwa perbedaan, disamping merupakan kebutuhan (dharurah), juga merupakan kekayaan.

Jika dikontekstualisasikan dalam ranah Indonesia, perbedaan itu sungguh kekayaan. Maka sebab inilah, para tokoh Islam (NU dan MU) menempatkan agama senafas dengan misi kebangsaan. Hal ini berarti, Indonesia bukan Negara agama, juga bukan Negara theis, apalagi komunis. Akan tetapi antara agama dan Negara terjalin hubungan sinergis. Wallahu a’lam.

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

3 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

3 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

3 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago