Budaya

Perempuan Memerangi Kekerasan

Perempuan sering menjadi metafora bagi tegaknya negara. Apabila kaum perempuan mampu berperan sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan negara, maka sebuah negara akan kokoh berdiri sehingga mampu memayungi segenap rakyatnya. Pun sebaliknya, ketika perempuan rapuh dan kehilangan daya keibuan, maka bumi pertiwi pun akan mengalami kegoncangan. Disadari atau tidak, di balik patriotisme kaum laki-laki dalam membela negara, ada  peran “halus” perempuan yang kadang tersamarkan.

Maraknya berbagai aksi teror dan kekerasan yang mutakhir melukai wajah damai Indonesia melahirkan ekspresi kekhawatiran. Terlebih, aksi teror dan kekerasan seolah sudah menjadi “ekspresi lazim” ketika individu tidak puas dengan suatu hal. Teror dan kekerasan juga menjadi hantu bagi perkembangan mental anak. Tak boleh ditawar lagi, kekerasan dan teror mesti dipadamkan. Lantas, bagaimana cara efektif memerangi kekerasan yang juga luwes dilakukan perempuan?

Agus Nur Cahyo (2016) mengutip pernyataan Cak Nun yang mengemukakan bahwa ilmu pedang tertinggi adalah kalau sudah bisa membelah kapas yang melayang-layang tanpa mengubah arah gerak kapas. Aneh, ujian tertinggi bagi keahlian pedang bukanlah baja atau batu karang melainkan kapas. Kekerasan yang telah mencapai puncaknya berubah menjadi kelembutan. Kelembutan tak bisa dikalahkan oleh kekerasan. Berakar dari inspirasi inilah, perempuan dapat berjuang melawan kekerasan dengan potensi kelembutan.

Jika ditelisik lebih dalam, pelaku kekerasan dan teror yang kerap mengacaukan rasa aman selalu memiliki kegagalan dalam aspek perkembangan psikisnya. Mereka bertindak berdasarkan prinsip kesenangan dengan mencederai ketentraman orang lain. Umumnya, pelaku tindak kekerasan dan semacamnya memiliki hambatan dalam pengendalian diri dan kemampuan beradaptasi. Pada tataran inilah, perempuan diharapkan menjadi pionir perdamaian. Melalui peran kebundaannya, perempuan dapat menanamkan benih-benih kasih sayang dan sikap toleransi.

 Bagi perempuan, bela negara dapat dilakukan dengan cara (mem)bela keluarga. Perempuan mesti menyadari bahwa ia diharapkan mampu mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Perempuan harus rela membela kepentingan mengasuh anak di atas kebebasan perannya sebagai wanita karier. Sudah saatnya, perempuan menguatkan perannya sebagai ibu dan meletakkan dasar-dasar pengasuhan positif. Jangan sampai, kesibukan berkarier membuat para perempuan yang merupakan tiang negara menjadi abai terhadap perannya

Dalam upaya menciptakan nuansa perdamaian, pengendalian diri dan kemampuan beradaptasi merupakan soft skill pokok yang harus dikuasai. Dan, membekali anak dengan pengendalian diri dan kemampuan beradaptasi merupakan tugas kebundaan. Terutama pada masa emas (golden age), anak-anak harus mendapatkan pendidikan perdamaian dengan cara melatih pengendalian diri dan keterampilan beradaptasi. Idealnya, seorang ibu dapat melatih kemandirian anak dan mengasah kecerdasan bahasa anak sehingga anak mampu memperjuangkan hak-haknya dan dapat mengomunikasikan perasaannya. Sebab, jika anak tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara verbal, dikhawatirkan anak akan berekspresi lewat perbuatan.

Seorang ibu seharusnya memahami apabila anaknya mulai merawat benih-benih kekerasan dalam dirinya. Apabila anak agresif dan sering memukul, maka evaluasi pengasuhan harus dilakukan. Anak ibarat kertas putih. Artinya, ia tidak mungkin bersikap kasar dan keras jika tidak mendapat perlakuan yang sama sebelumnya. Tanpa disadari, orang tua yang gemar memukul anak telah membentuk kecenderungan anak untuk gemar memukul.

Solusinya, pendidikan berbasis kasih sayang dalam keluarga sangat diperlukan untuk melawan radikalisme. Anak-anak yang terbiasa diperlakukan dengan kasih sayang, cinta, dan persahabatan akan cenderung mereproduksi hal yang sama. Dalam hal ini, perempuan sebagai ibu memiliki peran strategis yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Anak-anak memiliki kebutuhan psikis untuk mendapatkan kelembutan dan rasa aman. Kabar baiknya, anak-anak yang tumbuh dalam naungan kelembutan akan mereproduksi kelembutan dan bersikap pro perdamaian. Pada titik inilah semakin terasa bahwa perempuan merupakan pejuang negara yang dapat memerangi kekerasan dengan kelembutan.

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

Share
Published by
Nurul Lathiffah

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

20 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

20 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

20 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago