Narasi

Perempuan, Pendidik Literasi Media Ramah Anak

Era digital menyediakan informasi ibarat junk food yang secara instant ditelan siapa saja, bahkan termasuk anak. Bak jamur di musim penghujan, anak-anak mudah mendapat informasi, bahkan yang bersifat destruktif semisal konten kekerasan dan pornografi. Anak-anak dapat terpapar radiasi konten radikal sejak usia sangat dini. Jika orang tua bersikap permisif pada anak, bukan tidak mungkin anak akan memiliki struktur self yang ‘radikal’, sebagaimana konten yang selalu diperhatikan.

Menjadi penting bagi orang tua (khususnya perempuan/ibu), mengajak anak untuk menekuni literasi digital dan mengarahkan anak untuk membangun sikap yang produktif. Anak-anak belajar melalui apa yang ia lihat. Maka, agar anak tak mudah terpapar konten kekerasan di media maya, orang tua harus bersikap pro aktif untuk membiasakan anak ‘melek’ terhadap media digital. Ibu, sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak, harus mampu menjadi pendidik literasi media ramah anak.

Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat. Sebaliknya, anak-anak juga perlu mendapatkan proteksi atas konten-konten yang membahayakan psikis anak. Konten radikalisme yang tersebar di dunia maya misalnya, dapat dijadikan role model dalam bersikap, sehingga dapat menyemai perilaku agresif, radikal, dan intoleran.

Harus kita akui, bahwa kita tidak mungkin bisa menarik diri dari dunia digital. Oleh karena itu, sikap memusuhi era digital pun tidak bisa dijadikan solusi agar anak terjaga dari konten radikal. Sebaliknya, kita mesti bersahabat dengan media digital. Ibu, seyogianya dapat menjadi pendidik literasi media yang ramah anak dan nir konten radikal. Jika anak terbiasa untuk memperhatikan konten yang berisikan perdamaian, maka ia pun akan belajar untuk membangun hubungan yang damai di atas nilai-nilai kemanusiaan. Literasi digital kita perlukan sebagai sebuah gerakan damai, menanamkan pondasi sikap toleransi pada anak.

Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu untuk menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat (Hermiyanto, 2015). Literasi digital, hakikatnya berakar dari pembiasaan membaca yang dikemas adaptif dengan teknologi.

Meski tampak sederhana, kebiasaan membaca memberikan dampak bermakna dalam perkembangan perilaku. Anak-anak yang dibiasakan membaca sejak dini akan memiliki tabungan kosakata yang berlimpah. Melalui cerita, anak-anak pun akan mudah memahami bahasa reseptif mengenai kasih sayang, persahabatan, cinta damai, dan akhlak.

Ibu sebagai pendidik literasi ramah anak sudah pasti harus membangun budaya baca di dalam dirinya. Belajar dari kisah RA. Kartini yang gemar melahap bahan bacaan, seorang ibu harus selalu memperbarui diri dengan membaca. Selain menjadi sarana hiburan, membaca juga dapat dijadikan sebagai wahana untuk menambah khasanah pengetahuan yang bermanfaat sebagai bekal menjalankan pengasuhan ramah anak.

Sebelum mengajak anak untuk bergelut dengan literasi digital, penting bagi seorang ibu untuk mengajak anak-anak agar akrab dengan buku. Kebiasaan membaca dapat menumbuhkan minat baca pada diri anak. Dengan membaca, anak akan melatih kemampuan memahami dan menganalisis, sehingga ia akan terlatih menjadi pribadi yang tidak mudah terpapar hoax. Sebelum menerjunkan anak ke alam literasi digital, seorang ibu pun harus mendidik anak sebagai pribadi yang ramah, damai, dan memiliki vibrator energi positif.

Anak-anak yang diasuh dalam iklim penerimaan, perdamaian, dan toleransi, sudah pasti akan memiliki kemampuan untuk menerima orang lain, menjadi pribadi damai, dan mampu bersikap harmonis. Sehingga, ketika anak-anak tersebut ‘dilepas’ untuk terlibat dalam  literasi digital, mereka akan mampu untuk berpartisipasi secara efektif menebar benih perdamaian, persahabatan, dan komunikasi didunia maya yang harmonis. Wallahu’alam.

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

Recent Posts

Tanpa Ruang yang Adil Perempuan Rentan Terjebak dalam Pusaran Lone Wolf Terrorism

Di tengah dinamika global dan regional yang semakin kompleks, fenomena lone wolf terrorism—aksi teror individu…

1 hari ago

Fenomena Teroris Perempuan dan Emansipasi Semu Kaum Radikal

Peringatan Hari Kartini menjadi momentum yang tepat untuk membahas ihwal fenomena teroris perempuan. Seturut data…

1 hari ago

Suara Perempuan dalam Nafas Demokrasi: Dari Epos Kuno ke Dunia Digital

Sejarah peradaban manusia dipenuhi dengan kisah-kisah epik dan legenda yang menggambarkan perjuangan dan peran sentral…

1 hari ago

Spiritualitas Kartini di Tengah Fenomena Perempuan “Hijrah”: Antara Pencerahan dan Eksklusivisme

“Hijrah mestinya menjadi jalan pencerahan, bukan pembatasan. Hijrah seharus membuka jalan lebih partisipatif, bukan memilih…

1 hari ago

Series Adolescence dan Pentingnya Pengasuhan Anak Berwawasan Gender

Serial drama thriller asal Inggris, berjudul Adolescence tengah menjadi perbincangan hangat di seantero dunia. Sejak…

2 hari ago

Narasi Kartini dalam Menghadapi Narasi Radikal

R.A. Kartini, seorang perempuan yang lahir pada akhir abad ke-19, dikenal sebagai pelopor dalam perjuangan…

2 hari ago