Narasi

Permainan Tradisional, Khilafah, dan Jati Diri Bangsa

Indonesia bukan sekedar gugusan pulau-pulau dan lautan yang membentang, tetapi Indonesia juga merupakan warisan perjalanan kearifan lokal yang panjang. Indonesia adalah kristalisasi dari nilai-nilai kebudayaan yang multikultural. Dari Sabang sampai Merauke, wajah Indonesia adalah rupa budaya yang beraneka ragam, yang merupakan cermin dari jati diri bangsa. Jika diibaratkan satu tubuh, maka kebudayaan Indonesia ini adalah tubuh yang komplit, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, dimana masing-masing membawa keragaman.

Warisan budaya tersebut menjelma menjadi tata nilai sejarah bangsa yang kokoh. Sejarah itu terus dipahamkan dari generasi ke generasi, baik melalui tata sistem formal maupun non-formal. Melalui sistem formal, sejarah bangsa dikenalkan melalui bangku pendidikan, seminar-seminar, penelitian, dan naskah-naskah akademik. Sedangkan jalur non-formal melalui banyak cara. Bisa melalui pengenalan monumen-monumen sejarah, bahkan bisa melalui aneka permainan tradisional.

Ya, permainan tradisional sudah menjadi warisan sejarah yang turun-temurun. Di dalamnya bukan semata mengandung aspek ‘kesenangan’ dan ‘hiburan’, tetapi ada jati diri bangsa yang tertanam. Misalnya permainan gobak sodor, di dalamnya mengandung filosofi mendalam soal perjuangan bangsa di masa lalu. Kata Gobag sendiri artinya bergerak dengan bebas, sedangkan sodor artinya tombak. Karena pada jaman dahulu, para prajurit mempunyai permainan yang sederhana yang disebut sodoran sebagai latihan ketrampilan dalam berperang, dengan menggunakan sodor, yaitu tombak dengan panjang kira-kira 2 meter, tanpa mata tombak yang tajam pada ujungnya (liputan6.com).

Bukan hanya filosofi sejarah perjuangan bangsa saja yang terkandung di dalam gobak sodor, tetapi juga nilai-nilai kehidupan bangsa. Gobak sodor mengajarkan kerja sama, semangat persatuan, dan kegigihan bersama untuk meraih kemenangan. Semangat ini merupakan ‘senjata utama’ ketika dahulu Indonesia berjuang meraih kemerdekaan.    

Khilafah dan Pembelokan Sejarah

Permainan tradisional yang sudah mengakar di masyarakat, saat ini rupanya mulai tergerus oleh perubahan zaman. Ini tentu sangat disayangkan, sebab permainan tradisional merupakan salah satu penyambung sejarah bangsa. Adanya budaya baru yang didukung oleh munculnya teknologi informasi yang kian canggih, lambat laut menyingkirkan aneka permainan tradisional. Lebih parah lagi, masuknya ideologi baru benar-benar menjadi ancaman, bukan hanya untuk keberadaan permainan tradisional, tetapi merubah tatanan dan nilai-nilai kebangsaan.

Baca Juga : Jejak Khilafah, Disorientasi Sejarah dan Urgensi Penguatan Karakter Bangsa

Ideologi khilafah yang diusung oleh ormas tertentu adalah salah satu contoh ideologi yang berupaya merubah jati diri bangsa. Khilafah versi ‘mereka’ itu, pelan-pelan mulai merasuk ke dalam kehidupan berbangsa. Ini mengakibatkan pola pikir masyarakat yang berubah. Sebagai contoh, pada tahun 2018 lalu, pendidikan Indonesia pernah dihebohkan dengan fenomena karnaval yang dinilai “berlebihan”. Tepatnya pada pagelaran Pawai Karnaval PAUD dan TK di Probolinggo. Pada acara tersebut, TK Kartika V 69 Kota Probolinggo tampil dengan mengenakan jubah dan cadar. Mereka juga membawa tiruan senjata api yang terbuat dari kertas.

Alih-alih membawa permainan tradisional untuk membangun nuansa keindonesiaan, mereka malah memakai kostum perang ala ‘Timur Tengah’. Meski belum bisa diindikasikan sebagai penganut ideologi khilafah, tetapi nuansa yang dimunculkan adalah nuansa negara lain. Tentu ini menjadi kegelisahan, sebab sangat rawan terjadi pembelokan sejarah di kemudian hari. Anak-anak kecil yang berkostum perang tersebut, tidak lagi mengenal jati diri bangsanya, tetapi asyik dengan jati diri bangsa lain.

Disinilah rawannya ideologi khilafah yang terus menggerogoti kehidupan berbangsa dengan berbagai cara. Anak-anak Indonesia akan menjadi generasi yang tidak lagi mengenal jati dirinya.

Merawat Permainan Tradisional

Untuk menjaga generasi bangsa agar tetap kokoh dalam jati diri nusantara, maka menjadi tugas orang tua untuk terus melakukan pembinaan. Salah satunya dengan cara pengenalan permainan tradisional. Dampingi anak-anak Indonesia agar tidak kecanduan permainan dari perangkat teknologi seperti game di smartphone. Ajarkan mereka bermain ala permainan nenek moyang Indonesia. Dampingi juga anak-anak dari nilai-nilai asing yang ingin mengganti jati diri bangsa, seperti khilafah dan lainnya. Kenalkan mereka dengan nilai-nilai bangsa sendiri, mulai dari hal-hal terkecil, sampai masalah kenegaraan. Dengan pendampingan yang intensif, diharapkan generasi bangsa tumbuh menjadi pribadi yang kuat dalam memegang kebudayaan nusantara, tetapi unggul dalam kemajuan bangsa.

This post was last modified on 7 Agustus 2020 3:19 PM

Fatkhul Anas

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago