Narasi

Khilafah dan Generasi Tuna Sejarah

Kalau kita telaah ayat-ayat Al-Qur’an dan buka lembaran sejarah Islam tak ada satupun perintah untuk menerapkan sistem pemerintahan tertentu usai Nabi Muhammad SAW wafat. Pun demikian kalau kita kaji secara mendalam berbagai hadist bab Imarah (Pemerintahan), tak akan menemukan kodifikasi terkait dengan sistem pemerintahan. Rasulullah SAW pun tidak pernah menunjuk penggantinya, akan tetapi membiarkan urusan itu diserahkan kepada pilihan umat.

Sementara kalau kita tengok sejarah Nusantara, Indonesia terbentuk dari beragam etnis, suku, ras, bahasa, budaya, dan agama. Meskipun demikian, dengan kesadaran senasib dan sepenanggungan guna menggapai misi yang sama, mereka melebur untuk berjuang terbebas dari belenggu penjajahan. Demikian juga para pemuda dari berbagai daerah yang beragam bersatu dalam deklarasi Sumpah Pemuda sama sekali bukan atas dasar dari identitas suku, agama, ras, dan antar-golongan apapun. Mereka bersatu atas nama bangsa Indonesia.

Namun, dewasa ini ada sebagian generasi yang gagal paham sejarah atau tuna sejarah ingin mengganti ideologi Indonesia dengan Khilafah. Dengan begitu egois dan naifnya mereka buta sejarah bahwa Indonesia adalah bangsa yang bhineka bukan terdiri atas satu suku agama, dan ras, tertentu. Bahkan, dengan pongahnya menganggap demokrasi sebagai sistem pemerintahan kafir. Padahal kalau kita jeli justru sesungguhnya nilai-nilai demokrasi telah ajarkan oleh Islam lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat atau Yunani.

Demokrasi sejatinya mengandung seluruh tata pemerintahan modern yang juga mengandung gagasan besar Islam seperti prinsip kesetaraan (al-musawa), kebebasan (al-hurriyat), dan keadilan (al-‘adl), dianggap sejalan dengan landasan normatif ajaran Islam selama tidak melanggar syariat Islam. Bahkan Abdul Karim Soroush (2000) menilai dan memberikan sebuah tesis demokrasi religius diyakini Islam dan demokrasi bisa hidup berdampingan secara damai serta harmonis.

Baca Juga : Jejak Khilafah, Disorientasi Sejarah dan Urgensi Penguatan Karakter Bangsa

Namun, mata batin pengetahuan para pengusung paham Khilafah seolah sudah tertutup. Mereka juga menganggap bahwa demokrasi adalah sistem yang bukan berasal dari Islam, atau yang ia sebut kafir (taghut). Bahkan mereka secara mereka menolak Pancasila. Kepandirannya mereka yang tidak paham sejarah pun semakin nampak mana kala mengklaim khilafah sebagai sebuah ajaran Islam yang harus diterapkan, selain sistem itu dianggap kafir, sesat, dan thagut. Entah apa yang merasuki para pengusung khilafah yang tidak menghargai tetesan darah dan perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Mereka dengan muka batu dan tak tahu malu ingin mengganti sistem khilafah di bumi NKRI.

Apalagi, dua ormas Islam terbesar di Indonesia secara tegas menolak dan juga menganggap penerapan paham Khilafah tidaklah sesuai. Dalam benak kita pun timbul tanda Tanya besar, sebenarnya pada periode manakah paham Khilafah ini yang membentuk Indonesia. Bahkan kalau kita kuliti sejarah, sejak perjuangan memperebutkan kemerdekaan, hingga mempertahankan dan mengisinya dengan berbagai pembangunan, tak ada satupun kontribusi para pengusung Khilafah. Yamg ada malahan mereka kerap kali membuat onar dan memecah belah bangsa, termasuk mengadu domba di kalangan golongan Islam sendiri. Dari berbagai argumentasi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa para pengusung Khilafah adalah generasi yang tuna sejarah. Padahal sedari awal bangsa ini telah sepakat bulat dan juga telah memiliki konsepsi Pancasila sebagai ideology bangsa, yang mana aktualisasinya selaras dengan ajaran agama Islam. Nilai-nilai luhur dari lima sila Pancasila pun tidak ada yang condong ke ajaran kesyirikan maupun ke-thagut-an, bahkan ibarat satu tubuh saling menguatkan satu sama lain antara Islam dan Pancasila. Artinya, dalam konteks umat Islam di Indonesia, menjadi Islam adalah menjadi manusia Pancasila.

This post was last modified on 7 Agustus 2020 3:37 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

10 jam ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

10 jam ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

10 jam ago

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

3 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

3 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

3 hari ago