Narasi

Pilpres, Sakralisasi Politik, dan Ancaman Perpecahan

Bahaya sakralisasi pilihan politik menjadi perhatian serius dalam konteks demokrasi, terutama ketika melihat pengalaman Pilkada DKI dan Pilpres 2019. Fenomena ini muncul ketika pemilihan politik dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tak tergoyahkan, sehingga masyarakat cenderung mengabaikan rasionalitas dan kritisisme.

Pada Pilkada DKI, terlihat bagaimana pendukung saling berhadapan tanpa mempertimbangkan argumen yang masuk akal. Begitu juga pada Pilpres 2019, di mana polarisasi politik mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Pada dasarnya, sakralisasi pilihan politik dapat merugikan demokrasi itu sendiri.

Dalam konteks Pilkada DKI, kita melihat bagaimana fenomena sakralisasi mengubah proses demokratis menjadi ajang pertarungan kepentingan kelompok. Calon pemimpin tidak lagi dinilai berdasarkan kompetensi dan visi, melainkan semata-mata oleh loyalitas dan afiliasi politik. Ini menciptakan pembelahan masyarakat yang mendalam, di mana diskusi konstruktif sulit dilakukan. Pemilihan politik seharusnya menjadi platform untuk mendiskusikan ide dan solusi terbaik bagi masyarakat, bukan pertarungan antara kubu yang saling memusuhi.

Sedangkan Pilpres 2019, sakralisasi pilihan politik mencapai puncaknya. Calon presiden dan wakil presiden dianggap sebagai figur yang tak tergantikan, dan dukungan terhadap mereka dianggap sebagai bentuk kesetiaan yang tanpa pamrih. Hal ini menyebabkan pembentukan identitas politik yang sangat kuat, di mana seseorang diidentifikasi lebih dengan pilihan politiknya daripada nilai-nilai atau ide-ide yang diyakininya.

 Sehingga, ketika sakralisasi mencapai tingkat tersebut, kemampuan untuk menerima pandangan yang berbeda semakin sulit, dan perdebatan menjadi semakin polarisasi.

Dampak negatif dari sakralisasi pilihan politik terlihat jelas dalam penurunan kualitas diskusi politik. Masyarakat menjadi kurang cenderung membuka pikiran mereka terhadap ide-ide baru atau sudut pandang yang berbeda. Sebaliknya, orang lebih condong pada penolakan tegas terhadap pendapat yang tidak sejalan dengan pilihan politiknya. Ini menciptakan lingkungan politik yang toksik, di mana dialog sehat sulit diwujudkan. Dalam demokrasi sejati, kebebasan untuk menyuarakan pendapat dan mendengarkan sudut pandang lain adalah kunci utama.

Tidak hanya itu, sakralisasi pilihan politik juga berpotensi memicu ketegangan sosial dan konflik di masyarakat. Pada Pilkada DKI, kita menyaksikan demonstrasi dan aksi protes yang melibatkan massa besar. Pada Pilpres 2019, ketegangan politik bahkan mencapai level yang lebih tinggi dengan terjadinya kerusuhan dan konflik fisik. Sakralisasi menciptakan dinamika di mana konflik tidak hanya terbatas pada ranah verbal, tetapi dapat bertransformasi menjadi bentuk-bentuk kekerasan yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Sakralisasi pilihan politik dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi itu sendiri. Ketika pemilihan politik dilihat sebagai ajang pertarungan yang lebih mirip dengan rivalitas olahraga daripada proses serius untuk memilih pemimpin, masyarakat menjadi cenderung skeptis terhadap keberlanjutan demokrasi. Kepercayaan yang rusak dapat merugikan stabilitas politik dan menciptakan ketidakpastian dalam pembangunan negara.

Demokrasi sejati membutuhkan partisipasi aktif dan informasi yang baik dari masyarakat. Sakralisasi pilihan politik dapat menghambat proses ini dengan mengarahkan fokus pada aspek-aspek emosional dan loyalitas pribadi, bukan pada pemahaman mendalam terhadap isu-isu yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya nyata untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penilaian objektif terhadap para kandidat dan kebijakan politik.

Dalam mengatasi bahaya sakralisasi pilihan politik, pendekatan holistik diperlukan. Pendidikan politik yang efektif perlu diperkenalkan di semua tingkat pendidikan, agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang esensi demokrasi. Selain itu, media massa memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik, sehingga perlu adanya tanggung jawab yang lebih besar dalam menyajikan informasi secara objektif dan seimbang.

Secara keseluruhan, bahaya sakralisasi pilihan politik sangat merugikan bagi kesehatan demokrasi. Pada Pilkada DKI dan Pilpres 2019, kita melihat betapa destruktifnya fenomena ini dalam merusak diskusi politik, menciptakan konflik sosial, dan merongrong kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri.

Masyarakat perlu menyadari pentingnya menjaga rasionalitas dan kritisisme dalam menyikapi pilihan politik, serta membangun budaya politik yang lebih inklusif dan berbasis pada pemahaman yang mendalam terhadap isu-isu publik.

This post was last modified on 30 Januari 2024 2:11 PM

L Rahman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago