Romo Magnis Suseno, rohaniwan dan pengajar filsafat pernah menulis di sebuah media massa, “Pemilu itu bukan untuk memiliki yang terbaik, namun untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Kalimat yang sempat viral di tahun 2019 menyiratkan pesan bahwa semua kandidat pemimpin itu punya sisi kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Maka, para pemilih hendaknya sadar bahwa calon atau kandidat yang didukungnya itu hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. Memilih pemimpin bukanlah mencari sosok malaikat yang nir-dosa. Melainkan mencari sosok yang terbaik di antara calon lainnya.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum paham akan kaidah ini. Alhasil, masih banyak masyarakat yang terjebak pada fanatisme politik buta. Yakni sikap merasa pilihan politiknya paling benar dan pilihan orang lain salah.
Fanatisme politik umumnya mengemuka dalam dua perilaku. Yakni di satu sisi mengglorifikasi calon yang didukung sebagai sosok pahlawan sempurna. Namun, di sisi lain mendemonisasi alias menganggap orang yang berbeda pilihan politik sebagai setan yang jahat.
Dalam iklim demokrasi, apalagi di konteks Indonesia yang majemuk, fanatisme politik adalah sindrom yang berbahaya. Fanatisme politik seperti kita lihat selama ini menyisakan setidaknya tiga persoalan krusial.
Dampak Buruk Fanatisme Politik
Pertama, berkembangnya intoleransi terhadap kelompok yang berbeda pilihan politik. Dalam perhelatan pesta demokrasi, seperti Pilkada atau Pemilu, sering sekali kita menemukan kasus intimidasi bahkan persekusi terhadap kelompok tertentu yang dilatari perbedaan pilihan atau afiliasi politik.
Fenomena ini mengemuka misalnya pada gelaran Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. kala itu, muncul banyak perilaku intoleran yang dilatari isu perbedaan pilihan. Contohnya, larangan menyolatkan jenazah pendukung calon gubernur tertentu.
Secara psikologis, orang yang fanatik memang cenderung lebih bersikap intoleran pada orang lain. Perasaan superior, dan merasa paling benar rawan memicu perilaku intoleran, bahkan arogan pada orang lain.
Kedua, munculnya polarisasi alias pembelahan sosial di tengah masyarakat. Polarisasi selalu bermula ketika masyarakat terpecah ke dalam dua kubu yang saling mengklaim pendiriannya benar.
Akar polarisasi adalah sikap fanatik, entah pada ajaran agama atau figur politik tertentu. Dalam ranah politik, polarisasi bermula ketika isu-isu identitas dan keagamaan dibawa ke ranah politik.
Sentimen keagamaan dan identitas dieksploitasi sebagai komoditas politik itulah yang membuat masyarakat terpecah ke dalam dua atau lebih kubu yang saling bermusuhan.
Yang patut dikhawatirkan dadi polarisasi adalah munculnya riak-riak konflik. Masyarakat yang ada dalam suasana polarisasi, memiliki tingkat kerentanan yang nisbi tinggi terhadap benturan sosial. Sedikit saja masyarakat diprovokasi, maka konflik akan berkobar dengan ganas.
Terakhir, fanatisme politik juga membuka jalan bagi radikalisasi terutama agama. Di tengah masyarakat yang gandrung pada fanatisme politik, paham radikal keagamaan akan lebih mudah disebarluaskan oleh pihak tertentu.
Pentingnya Literasi Politik untuk Cegah Fanatisme
Fanatisme politik membuat masyarakat berpikiran sempit, cenderung memahami segala sesuatu dengan nalar dikotomi; benar-salah, halal-haram, atau baik-buruk. Nalar inilah yang menjadi celah bagi masuknya paham radikal keagamaan yang memiliki karakteristik yang sama; kaku, rigid, dan eksklusif. Pendekatan kata, fanatisme politik dan rasikalisme agama adalah dua hal yang saling berkelindan dan tidak dapat dipisahkan.
Maka, mencegah fanatisme politik terutama dalam konteks Pemilu 2024 ini adalah hal urgen dan krusial. Mencegah fanatisme politik tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan pemilu damai dan toleransi, namun juga secara umum menjaga bangsa sadi anasir radikalisasi.
Fanatisme politik bisa dicegah dengan membangun literasi politik yang kuat di kalangan pemilih. Salah satu prinsip literasi politik yang harus ditanamkan ke publik adalah hakikat demokrasi sebagai alat bukan sebagai tujuan. Masyarakat harus paham bahwa demokrasi termasuk Pemilu atau Pilpres urus sejatinya hanyalah sarana mencari pemimpin atau wakil rakyat.
Kunci sukses bangsa membangun peradaban tidak hanya ditentukan oleh hasil Pemilu atau Pilpres. Namun, bagaimana masyarakat bisa berkontribusi secara aktif dalam pembangunan. Ada adagium klasik yang berbunyi, “siapa pun presidennya, sebagus apa pun pemerintahannya, jika rakyatnya pasif, maka itu semua tidak akan berarti apa-apa”.
Arkian, memenangkan kandidat yang kita dukung itu bukankah segala-galanya. Ada kepentingan yang lebih utama, yakni menjaga kerukunan bangsa. Apalah artinya kandidat jagoan kita memang, namun kemenangan itu diraih dengan mengorbankan kerukunan bangsa?
This post was last modified on 29 Januari 2024 12:52 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…