Narasi

Polarisasi; Ladang Subur Radikalisme Yang Harus Diantisipasi Sejak Dini

Menjelang Pilkada 2024, suasana politik di Indonesia kembali memanas. Ketidaksepahaman antara pemerintah dan masyarakat dalam peraturan Pilkada, terutama yang menyangkut perubahan aturan main serta tuduhan adanya praktik ketidakadilan, telah memicu gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Demonstrasi ini, yang pada awalnya bertujuan untuk menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap kebijakan yang dianggap merugikan.

Namun, sayangnya aksi semacam ini sering berujung pada kekacauan yang memperdalam jurang polarisasi. Polarisasi politik yang terjadi tidak hanya menciptakan ketegangan sosial di antara masyarakat kita, tetapi juga menjadi ladang subur bagi munculnya gerakan radikal yang berpotensi merusak tatanan demokrasi dan keamanan nasional pula.  Polarisasi ini, jika tidak segera diatasi, dapat membawa Indonesia ke dalam jurang konflik yang lebih dalam, di mana ekstremisme dapat tumbuh subur dan merongrong stabilitas negara.

Polarisasi politik, yang sering kali dipicu oleh perbedaan pandangan yang tajam antara kelompok pendukung dan penentang pemerintah, menciptakan iklim yang penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Dalam situasi seperti ini, dialog yang seharusnya menjadi sarana utama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat sering kali tergantikan oleh retorika yang inflamasi dan provokatif. Kelompok-kelompok tertentu, baik dari pihak pemerintah maupun oposisi, cenderung memanfaatkan perbedaan ini untuk memperkuat basis dukungan mereka, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap persatuan nasional.

Polarisasi ini semakin diperburuk oleh adanya aktor-aktor yang secara aktif menyebarkan disinformasi dan memanipulasi opini publik untuk keuntungan kelompok mereka sendiri. Dalam konteks Pilkada 2024, ketidakpuasan masyarakat terhadap peraturan yang dianggap diskriminatif atau tidak adil menjadi bahan bakar yang memperbesar api polarisasi, menciptakan ketegangan yang mudah meledak kapan saja seperti bom waktu.

Ketika polarisasi mencapai puncaknya, ruang untuk diskusi rasional dan kompromi menjadi sangat sempit. Masyarakat terbelah menjadi dua kubu yang saling berseberangan, di mana masing-masing pihak merasa bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan. Dalam kondisi seperti ini, kelompok-kelompok radikal, yang biasanya berada di pinggiran wacana politik, mulai mendapatkan tempat di tengah masyarakat untuk menyebarkan propaganda.

Mereka memanfaatkan ketidakpuasan dan frustrasi publik untuk menyebarkan ideologi ekstrem yang menolak dialog dan lebih memilih jalan kekerasan sebagai solusi. Gerakan radikal ini, baik yang berbasis pada ideologi agama, nasionalisme ekstrem, maupun anti-demokrasi, menemukan momentumnya di tengah-tengah kekacauan dan ketidakpastian. Mereka menawarkan jawaban-jawaban yang tampaknya sederhana tetapi sangat berbahaya, seperti menggulingkan pemerintah atau melakukan revolusi secara totalitas dan absolut.

Gerakan radikal tumbuh subur di tengah polarisasi karena mereka mampu mengeksploitasi ketidakstabilan emosional dan psikologis masyarakat. Dalam situasi krisis, di mana ketidakpastian dan ketakutan mendominasi, ideologi radikal menjadi daya tarik bagi mereka yang merasa terpinggirkan atau kehilangan harapan akan kondisi politik belakangan.

Demonstrasi yang berubah menjadi kekerasan, seperti yang kita lihat menjelang Pilkada 2024, adalah tanda bahwa gerakan-gerakan radikal ini mulai mengakar di tengah masyarakat. Mereka sering kali memanfaatkan demonstrasi damai untuk menyalurkan agenda kekerasan mereka, yang tidak hanya merusak citra demonstrasi itu sendiri, tetapi juga memperdalam polarisasi yang ada. Akibatnya, setiap tindakan anarkis yang terjadi selama demonstrasi hanya akan memperburuk situasi dan menambah ketegangan di masyarakat.

Sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang dalam menghadapi berbagai tantangan, Indonesia seharusnya belajar dari masa lalu bahwa kekerasan dan radikalisme tidak pernah membawa solusi yang baik. Ketika perbedaan pendapat dan ketidakpuasan dihadapi dengan kekerasan, maka yang tercipta hanyalah lingkaran setan yang sulit diputus. Radikalisme, dalam bentuk apa pun, hanya akan membawa kehancuran bagi seluruh elemen bangsa kita.

Karena itu, menghentikan polarisasi dan mengatasi gerakan radikal harus menjadi prioritas utama dalam upaya kita menjaga keutuhan bangsa. Pilkada 2024 harus menjadi ajang untuk memperkuat demokrasi dan bukan untuk menghancurkannya. Dalam suasana politik yang penuh dengan ketidakpastian ini, kita semua harus bekerja sama untuk memastikan bahwa perbedaan pendapat tidak berubah menjadi perpecahan yang berujung pada kekerasan.

Polarisasi politik menjelang Pilkada 2024 adalah ancaman nyata bagi stabilitas dan keamanan nasional. Ketidaksepahaman antara pemerintah dan masyarakat dalam peraturan Pilkada harus segera diatasi melalui dialog yang konstruktif dan inklusif. Gerakan radikal yang mencoba memanfaatkan situasi ini untuk menyebarkan ideologi kekerasan harus dilawan dengan upaya terpadu dari semua pihak. Dengan komitmen bersama, kita dapat melewati tantangan ini dan memastikan bahwa Pilkada 2024 akan menjadi momentum untuk memperkuat pelembagaan demokrasi, bukan menghancurkan, demokrasi di Indonesia.

Helliyatul Hasanah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago