Narasi

Politik Pancasilais ’Tanpa’ Politik Identitas

Baru-baru ini Ridho Rahmadi (Ketua Umum Partai Ummat) membuat pernyataan kontroversial dengan mengatakan politik identitas sebagai sesuatu yang sah dan legal. Bahkan, lebih dari Ridho Rahmadi juga mengklaim politik identitas sebagai politik yang pancasilais; sebuah praktik politik yang dianggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Klaim politik identitas sebagai politik yang pancasilais itu disampaikan langsung oleh Ridho Rahmadi dalam Rapat Kerja Nasional Rakernas Partai Ummat di Jakarta (13/2/2023).

Klaim Ridho Rahmadi itu bisa dikatakan unik, tapi sekaligus aneh. Unik, sebab, di saat banyak partai politik dan sejumlah tokoh bangsa—termasuk Presiden Jokowi—mewanti-wanti agar para peserta Pemilu menghindari politik identitas, Ridho Rahmadi  justru membuat pernyataan yang berbeda atau bahkan menentang arus besar. Aneh, sebab, Ridho Rahmadi mencoba menyamakan sesuatu yang kontradiktif secara filosofis.

Disebut kontradiktif sebab, dalam pengertian umum, politik pancasilais adalah perilaku politik yang merepresentasikan nilai-nilai luhur Pancasila. Nah, politik identitas, di lihat dari sisi mana pun, sama sekali tidak merepresentasikan nilai-nilai Pancasila itu. Alih-alih merepresentasikan, politik identitas justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Secara garis besar, Pancasila memuat beberapa nilai yang di antaranya adalah, ketuhanan, persatuan, keadilan, dan kemanusiaan. Alih-alih merepresentasikan nilai-nilai tersebut, politik identitas justru hadir sebagai mesin penghancur atas nilai-nilai tersebut: merusak persatuan, menyangkal fitrah Tuhan,, dan menyangkal kemanusiaan. Politik identitas seperti tidak punya nilai kecuali kepentingan politik jangka pendek dan sesaat.

Politik Pancasilais adalah Politik Tanpa Politik Identitas

Karena itu, pernyataan Ridho Rahmadi bahwa politik identitas adalah politik pancasilais itu tidak bisa dibenarkan. Pernyataan Ridho Rahmadi itu sesat atau cacat secara logika. Hipotesis itu diambil tidak melalui cara berpikir yang logis dan sistematis. Sebaliknya, serampangan dan ala kadarnya sehingga kesimpulan yang diambilnya jauh dari kata sahih: tidak dapat dibenarkan dan diterima oleh akal sehat.

Sebab, senyatanya, politik pancasilais adalah politik yang tanpa politik identitas. Politik identitas adalah antitesis dari Pancasila. Karena itu, dalam konteks ini, praktik politik yang bisa diklaim sebagai politik pancasilais adalah praktik politik yang tanpa politik identitas.

Praktik politik yang diwarnai oleh politik identitas bukanlah politik pancasilais. Melainkan politik identitas itu sendiri. Politik identitas dan politik pancasilais ibarat minyak dan air, pun sangat mungkin berada dalam satu tempat secara bersamaan, namun politik pancasilais dan politik identitas tetaplah dua elemen (nilai) yang berbeda.

Dalam filsafat, kebenaran (kebijaksanaan/kebaikan) tidak mungkin menyatu dengan kesesatan (keburukan/kejahatan). Begitu pun Pancasila—sebagai kebenaran universal—tidak mungkin Pancasila menyatu dengan politik identitas yang merupakan keburukan dan kepicikan politik berbasis sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Pilpres 2019 adalah salah satu bukti penting bahwa politik identitas bertentangan dengan Pancasila. Di Pilpres 2019, sebuah momen politik di mana politik identitas dimainkan secara masif, bangsa kita seketika menjadi terpecah belah; satu sama lain saling mencaci maki dan melontarkan kata-kata yang penuh dengan kebencian politik.

Politik pancasilais tidak mengamini politik  yang menimbulkan perpecahan semacam itu. Politik pancasilais adalah politik yang cinta kedamaian, kerukunan, dan persatuan; tidak bakal dan permisif terhadap kepentingan bangsa. Karena itu, adalah aneh dan bahkan merupakan kesalahan besar bila politik identitas yang bersifat destruktif, merusak, dan menciptakan konflik berkepanjangan dikatakan sebagai politik yang pancasilais.

This post was last modified on 22 Februari 2023 2:46 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

2 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

2 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

2 hari ago

Aisyah dan Kartini : Membumikan Inspirasi dalam Praktek Masa Kini

Dua nama yang mengilhami jutaan orang dengan semangat perjuangan, pengetahuan dan keberaniannya: Katakanlah Aisyah dan…

3 hari ago

Kisah Audery Yu Jia Hui: Sang Kartini “Modern” Pejuang Perdamaian

Setiap masa, akan ada “Kartini” berikutnya dengan konteks perjuangan yang berbeda. Sebagimana di masa lalu,…

3 hari ago

Bu Nyai; Katalisator Pendidikan Islam Washatiyah bagi Santriwati

Dalam struktur lembaga pesantren, posisi bu nyai terbilang unik. Ia adalah sosok multiperan yang tidak…

3 hari ago