Narasi

Posisi Turki di Antara Kubu Arab Saudi dan Iran (Bagian Kedua)

Posisi Turki

Sebagai sebuah negara mayoritas Sunni, Turki telah berupaya membagun kebijakan luar negerinya yang agresif di Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut dilakukan demi untuk memperluas pengaruh dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin di kawasan yang mayoritas dihuni umat Islam Sunni. Dalam melakukannya, Turki berusaha mengambil jalan tengah atas sengketa antara Arab Saudi dan Iran seperti yang telah dipetakan di atas. Dalam menyikapi ketengangan dua aliansi; aliansi Iran dan aliansi  negara-negara Sunni yang dipimpin Arab Saudi dengan dukungan dari Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab dan lainnya, Turki berusaha menenangkan ketegangan dengan mengadvokasi dialog dan menawarkan diri sebagai mediator.

Kalau kita melihat hubungan Turki dengan Arab Saudi, bukan berarti hubungan keduanya tidak pernah ada masalah. Selama Arab Spring, hubungan kedua negara sempat retak ketika Turki mendukung Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Arab Saudi menentangnya. Dalam menyikapi krisis yang terjadi di Mesir antara Ikhwan dan rezim militer, Erdogan sangat jelas berpihak kepada kelompok Islamis (Ikhwan). Dukungan tersebut memang cukup beralasan karena hubungan antara AKP Turki dan Ikhwanul Muslimin dalam berbagai literatur politik sangatlah kuat, terutama dalam hubungan ideologis . Di sisi lain, Arab Saudi dalam memandang krisis Mesir lebih berpihak kepada rezim militer sehingga terjadilah ketegangan antar kedua negara pada saat itu. Oleh karena itu, setelah ketegangan tersebut, pada saat ini Ankara sedang mencoba untuk membangun kembali hubungan dengan Riyadh, dan nampaknya saat ini sudah membaik.

Pada saat bersamaan, Turki juga berusaha untuk mempertahankan hubungan dengan Iran, meskipun kedua negara mendukung sisi yang berlawanan dari perang saudara di Suriah. Turki dalam konflik Suriah sejalan dengan Arab Saudi yang mendukung pemberontak Sunni untuk melakukan penggulingan terhadap Presiden Bashar al-Assad, sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran merupakan sekutu utama yang mendukung rezim Assad. Turki berusaha keras memperbaiki hubungan dengan Iran karena kepentingan ekonomi. Dari sisi ini, Turki sangat bergantung pada Iran untuk impor gas alam demi memenuhi kebutuhan energi di negaranya. Bagi Turki, kepentingan hubungan ekonomi ini tetap harus didahulukan dibanding perbedaan pandangan dalam menyikapi krisis Suriah.

Meskipun kelihatannya Turki berupaya untuk netral, menurut banyak pengamat, Erdogan tampaknya lebih pro-Arab Saudi ketimbang Iran. Bagi Erdogan, Iran telah menggunakan standar ganda dalam mengambil kebijakan di Timur Tengah. Pada satu pihak, Iran mengutuk eksekusi ulama Syiah Nimr Baqir Nimr oleh Arab Saudi pada Januari 2016 lalu yang menyebabkan penyerangan kedutaan Arab Saudi di Iran pada saat itu. Tetapi, di pihak lain Iran juga memberikan dukungan kepada Assad untuk melakukan pembantaian membabi buta oleh militer Suriah yang telah meyebabkan korban puluhan ribu warga sipil Suriah. Inilah yang dikritik keras oleh Erdogan terhadap Iran.

Seperti diulas dalam New York Times 8 Januari 2016, Turki memiliki hubungan baik dengan kedua kubu yang membuatnya menjadi pihak yang agak netral. Bagi Turki, Arab Saudi sangat diperlukan untuk menjadi aliansi dalam menangani persoalan Suriah, sementara Iran sangat diperlukan untuk hubungan ekonomi terutama dalam hal impor gas alam. Dengan demikian Turki dalam kapasitasnya sebagai negara besar regional yang memiliki hubungan bersejarah dan strategis bagi kedua negara, Turki dianggap dapat memainkan peran mediasi dalam sengketa ini.

Lalu bagaimana peluang Turki untuk terus menjadi mediator setelah terjadinya perstiwa politik bersejarah di negeri bekas pusat kekuasaan Ottoman ini? Bisa dipastikan bahwa Turki saat tidak memikirkan terlalu jauh bagaimana menyelesaikan konflik Timur Tengah khususnya perseteruan antara Arab Saudi dan Iran. Meskipun mampu menghentikan upaya Kudeta, bukan berarti Erdogan akan kembali menjalankan pemerintahannya dengan mulus. Keberanian oposisi untuk menampakkan dirinya di permukaan merupakan ancaman besar bagi rezim Erdogan saat ini.

Meskipun telah banyak korban dalam upaya kudeta tersebut, begitupula banyak pelaku (oposisi politik) yang telah ditangkap, namun diperkirakan kekuatan oposisi yang tidak nampak di permukaan lebih besar lagi. Ke depannya, pergulatan antara rezim penguasa dan oposisi di Turki diperkirakan akan terus bergejolak. Dengan demikian, harapan agar Turki segera menjadi mediator konflik Timur Tengah sangat tipis karena negara ini diperkirakan akan terus bergejolak dengan konflik politik internalnya.

This post was last modified on 5 Agustus 2016 3:09 PM

Mulawarman Hannase

Dosen Pasca Sarjana IPTIQ (Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran) jakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago