Narasi

Problem Ahmadiyah, kembali ‘ke Fitri’ dan Pentingnya Mengokohkan Persaudaraan Kebangsaan

Di momen sakral terakhir bulan Ramadan, terjadi peristiwa yang memilukan. Pemerintah kabupaten Garut melakukan penyegelan terhadap pembangunan masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, desa Ngamplang, Kec. Cilawu, (06/05). Pemerintah setempat  berdalih melakukan aksinya melalui Pergub Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 dan SKB 3 menteri tahun 2008 tentang pelarangan aktivitas penganut jemaat Ahmadiyah Indonesia dan akhirnya melakukan penghentian pembangunan Masjid Ahmadiyah.  

Padahal jika ditelusuri, kedua landasan hukum tersebut tidak mencantumkan diperbolehkannya menutup masjid. Bahkan mirisnya, Bupati Garut pun memerintahkan dan memaksa kepada Jemaah Ahmadiyah untuk menutup masjid mereka. Padahal hal ini bertentangan dengan landasan konstitusi itu sendiri dan telah menodai asas keadilan sebagai warga negara.

Mengingat secara yuridis negara wajib melindungi warga negaranya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, sesuai dengan UUD 1945 pasal 28E, ayat 1. Maka, apa yang dilakukan oleh pemkab Garut sejatinya adalah pebuatan inkonstitusional dan bertentangan dengan spirit hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama.  

Kerancuan hukum ini memang seringkali menjadi pedang tajam bagi komunitas Ahmadiyah. Pada gilirannya, jemaat Ahmadiyah seringkali mendapatkan persekusi, intimidasi dan bahkan tindakan represi dari pemerintah, karena realitas umum ahmadiyah sampai hari ini masih dilabelling sebagai aliran sesat yang merujuk pada fatwa MUI tahun 1980.

Kemudian fatwa tahun 1980 ini dikuatkan kembali oleh MUI pada tahun 2005. Fatwa tahun 2005 tersebut adalah hasil dari musyawarah nasional ke VII MUI. Ada tiga poin penting dari fatwa 2005; Pertama, Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Kedua, bagi mereka yang mengikuti Ahmadiyah segera kembali ke ajaran Islam yang haq (benar). Ketiga, pemerintah berkewajiban untuk melarang ajaran dan menutup organisasi Ahmadiyah.

Kembali ‘Ke Fitrah’

Padahal justru di momen menuju hari yang fitri (idul fitri) kita perlu kembali ke fitrah kita sebagai manusia. Dalam Al quran surah Al-Hujarat ayat 13, Allah Swt menjelaskan tentang perbedaan, yaitu “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.

Maka dari itu, fitrah kita sebagai manusia adalah perbedaan. Merayakan perbedaan perlu digalakkan di tengah-tengah umat manusia yang sebagian anti terhadap perbedaan diskursus keagamaan. Jika memang dianggap aliran sesat, buktinya sampai hari ini Jemaat Ahmadiyah menjadi organisasi keagamaan yang solid dengan manajemen yang luar biasa, hingga terhimpun dalam skala internasional.  

Fitrah kita sebagai manusia adalah menjadi khalifah, yakni penjaga bumi dari berbagai potensi konflik. Tugas utama khalifah di bumi adalah mewujudkan harmonisasi sosial di antara umat beragama. Hal ini pun ditegaskan oleh Hans Kung (2010) dalam artikelnya “Finding new paths to dialogue” bahwa tidak ada perdamaian antar bangsa, tanpa perdamaian antar agama. Dan tidak ada perdamaian antaragama, tanpa dialog antaragama.

Persaudaraan Kebangsaan

Menilik realitas di atas, yang kurang dari realitas keagamaan kita hari ini adalah dialog antar agama, maupun dialog lintas madzhab. Hal inilah yang seringkali menyebabkan gesekan sosial di tengah-tengah masyarakat, khususnya yang dialami oleh Ahmadiyah. Dialog ini menjadi penting untuk mengurai berbagai mispersepsi ideologis keagamaan dan upaya mengharmonisasikan umat beragama.

Dari dialog ini kemudian kita akan menuju kepada perwujudan persaudaraan kebangsaan. Mengingat peristiwa Ahmadiyah di atas telah merusak sendi-sendi persaudaraan kebangsaan kita. Perlu diketahui bersama bahwa jemaat Ahmadiyah adalah bagian warga negara yang dilindungi oleh UU dasar negara kita. Maka, upaya-upaya diskriminatif sejatinya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan.

Perbedaan sejatinya bukan hambatan untuk menjadikan kita menjadi bersaudara dalam kemanusiaan. Untuk itu, mari kita rayakan Idul Fitri 1442 hijriyah ini untuk semakin memperkuat semangat persaudaraan dan membuang jauh-jauh sekat primordial di antara warga sebangsa dan setanah air.

This post was last modified on 11 Mei 2021 1:33 PM

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

50 menit ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

52 menit ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 jam ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 jam ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

1 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

1 hari ago