Narasi

Provokasi Media Sosial dan Pentingnya Literasi Masyarakat

Di media sosial, siapa pun bisa bisa mewartakan informasi, meskipun ia tidak melalui uji sertifikasi profesi sebagai wartawan. Setiap orang, dengan dukungan gawai (gadget) dan internet dapat mempraktikkan citizen journalism secara bebas tanpa sensor media. Melalui Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Path, Line, dan lain sebagainya, semua orang dengan mudah memperoleh dan membagi kembali informasi. Kemudahan akses informasi ini sungguh membawa perubahan positif dalam kebebasan berekspresi di negara demokrasi, namun di sisi lain, tak jarang kebebasan media sosial membawa petaka dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Media sosial, meminjam istilah Jurgen Habermas (1991) adalah sebuah ruang publik (public sphere) yang terbuka bagi semua orang untuk mengemukakan opini, mengunggah informasi sesuai keinginan dan kebutuhan. Dengan segala kelebihannya, media sosial menjadi media yang paling cepat, mudah, dan murah untuk menyampaikan pendapat dan gagasan. Hanya saja, realitas menunjukkan bahwa kini media sosial umumnya berisi berita hoaks, informasi negatif, penuh dengan caci-maki, provokasi dan kebencian. Nah, pada kondisi inilah banyak pihak yang mulai merisaukan peran media sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Merebaknya penyalahgunaan penggunaan media sosial di kalangan masyarakat untuk menyebarkan berita bohong dan provokasi memang semakin mengkhawatirkan. Dalam konteks tersebut, baik informasi yang disirkulasi dan diresirkulasi di media sosial akan semakin susah dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sebuah realitas yang tidak memiliki rujukan dalam dunia nyata, tetapi ketika realitas tersebut diunggah berulang-ulang dan diresirkulasikan melalui media sosial, bisa saja realitas bentukan itu kemudian dianggap sebagai kebenaran itu sendiri (Sugiharti, 2016).

Dalam konteks masyarakat dengan tingkat literasi belum memadai, setidaknya terdapat dua kemungkinan negatif berkaitan dengan kemudahan memanfaatkan dan mengakses media sosial. Pertama, masyarakat tak jarang terlena dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan media sosial, sehingga tanpa kendali mengunggah begitu saja apa yang dinilai perlu diunggah–tanpa memikirkan bagaimana dampaknya terhadap publik dan dirinya sendiri (Sugiharti, 2016). Kasus Jerinx yang dijerat UU ITE karena penghinaan terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atas pendapatnya tentang Covid-19 yang terjadi baru-baru ini bisa menjadi contoh nyata.

Kedua, lebih mudah terpapar provokasi. Harus diakui, tanpa melaksanakan upaya check and recheck atas setiap informasi yang diterima di media sosial, masyarakat bisa saja menelan mentah-mentah hoaks, provokasi dan ujaran-ujaran kebencian yang disirkulasikan di media sosial, serta meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Narasi politisasi identitas (SARA) yang terjadi dalam setiap helatan pesta pemilu yang dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik merupakan wujud konkrit, betapa mudah masyarakat dengan literasi kurang memadai seperti Indonesia begitu mudah terpapar provokasi. Padahal, apa yang diwartakan dalam informasi tersebut belum tentu merupakan sebuah fakta.

Memupuk Literasi Masyarakat

Harus diakui, kehadiran dan kemudahan yang ditawarkan media sosial, yang tidak diimbangi dengan kesadaran dan literasi informasi yang kritis telah menyebabkan masyarakat tanpa mereka sadari menjadi rawan terkontaminasi efek negatif media sosial. Maka itu, perlu upaya untuk terus mendorong peningkatan literasi informasi masyarakat, sebab di sanalah sebenarnya kunci untuk menepis berbagai kemungkinan efek negatif media sosial.

Graeme Burton dalam bukunya, Media and Society (2005) menyatakan bahwa dengan didukung literasi informasi yang kritis, masyarakat akan mampu membuat pilihan media yang mereka gunakan dan cenderung akan bersikap lebih kritis dalam memproses informasi yang mereka terima. Di era konvergensi media, dan didukung literasi informasi yang kritis, audiens akan dapat bersikap lebih aktif untuk memproses atau mencari kebenaran dari informasi yang ia peroleh melalui beberapa media sekaligus, membanding-bandingkan, kemudian menilai mana sebetulnya informasi yang benar (Sugiharti, 2016).

Dari itu, penting agar di setiap lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal untuk mendorong kecintaan masyarakat terhadap budaya membaca dan menulis. Lingkungan keluarga, sekolah, serta masyarakat harus saling menolong membangun budaya literasi. Agar, budaya berpikir kritis dan rasional terbangun dalam masyarakat. Hanya saja, upaya ini juga harus didukung oleh dorongan pemerintah lewat program-program dan kebijakan-kebijakan yang mendukung tumbuhnya budaya literasi masyarakat. Sehingga, tidak ada lagi masyarakat terporvokasi oleh berita bohong dan narasi provokasi. Wallahu a’lam.

This post was last modified on 6 Oktober 2020 2:54 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

10 jam ago

Menolak Senjakala Pesantren

Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern,…

10 jam ago

Ronggawarsita: Daya Jelajah Seorang Santri

Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam…

10 jam ago

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

1 hari ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

1 hari ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

1 hari ago