Membaca ruang kehidupan masyarakat Indonesia pada dekade terakhir ini, kita akan dihadapkan pada sebuah panorama sosial dimana didalamnya segala jenis kebenaran dan kepalsuan tumpang tindih jadi satu, bersilang-sengkarut dan berkelindan. Semua itu lantas membentuk semacam fatamorgana sosial yang menipu dan menjebak. Panggung sosial-politik kita didominasi oleh mistifikasi dan ilusi yang diselimuti kepalsuan dan kesemua. Kebenaran terdistorsi oleh kepentingan. Sedangkan kepalsuan justru diberhalakan.
Di satu sisi, ada kelompok pengacau yang tampil ke panggung dan dengan gagahnya mengklaim diri sebagai penyelamat Indonesia. Padahal, mereka tidak lebih dari sekadar pahlawan kesiangan. Ada pula kelompok yang selalu merengek, mengiba dan menampilkan dirinya sebagai korban dari sistem yang diklaim tidak adil. Padahal, merekalah biang dari sengkarut persoalan di negeri ini. Di sisi lain, justru ada kaum-kaum marjinal yang alih-alih mendapat simpati, justru kerap dihakimi dengan berbagai macam label atawa stigma negatif oleh masyarakat itu sendiri.
Barangkali inilah yang disebut oleh Paul Virilio dalam bukunya Speed and Politics sebagai “the indifferent world” yakni sebuah dunia dimana batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan menjadi kabur, normalitas terdekonstruksi dan kategori serta taksonomi sosial bergerak tak tentu arah. Di dalam indifferent world ini, masyarakat akan berada dalam situasi chaos, baik secara psikologis maupun sosiologis. Secara psikologis, kekacauan itu tampak pada begitu mudahnya masyarakat dipengaruhi oleh opini atau narasi provokatif yang dibungkus dengan isu atau wacana tertentu yang tentunya diselimuti kepetingan pragmatis. Sementara secara sosiologis, kekacauan itu tampak pada tingginya tensi relasi sosial-kebangsaan kita. Seperti dapat kita lihat, belakangan ini masyarakat mudah dibenturkan satu sama lain, oleh pihak-pihak tertentu.
Baik itu kelompok yang mendramatisasi keadaan dan mendaku diri sebagai korban alias bermain peran sebagai korban (playing victim) maupun kelompok yang berusaha menjadi pahlawan kesiangan bagi Indonesia, keduanya menurut hemat saya setali tiga uang alias sama saja. Mereka tidak memberikan sumbangsih apa pun terhadap bangsa Indonesia, alih-alih memperruwet simpul persolan baru. Bahwa kondisi Indonesia saat ini tidak ada dalam kondisi sempurna dan ideal tentu tidak bisa kita elakkan. Bukankah negara-negara lain pun juga demikian? Pandemi Covid-19 hampir membuat seluruh negara di dunia mengalami krisis multidimensi.
Namun demikian, menyuarakan gerakan penyelamatan Indonesia yang bertendensi memecah belah dan provokatif tentulah bukan solusi. Begitu pula narasi menempatkan diri sebagai korban pemerintah juga tidak akan menghadirkan jalan keluar. Apa yang bangsa Indonesia butuhkan saat ini ialah gerakan penyelamatan berbasis pada persatuan serta mengesampingkan tendensi dan ambisi. Gerakan penyelamatan Indonesia yang lebih merupakan wujud ambisi pada kekuasaan apalagi disertai dengan narasi memecah-belah tentu harus kita lawan. Demikian pula dramatisasi playing victim yang mendeskreditkan pemerintah juga harus kita tolak.
Menggagas Filsafat Masa Depan
Di level masyarakat umum, diperlukan sebuah upaya untuk mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat agar bisa mengindentifikasi dan membedakan dengan jeli antara fakta dan opini, kebenaran dan kepalsuan, kenyataan dan pencitraan. Di level para elite, diperlukan apa yang dalam ilmu psikoanalisa disebut sebagai “pengendalian hasrat”. Paul W. Ludwig dalam bukunya Eros and Polis menjelaskan bahwa hasrat manusia, terutama pada kekuasaan memiliki dua potensi yang berlawanan, yakni positif dan negatif. Hasrat pada kekuasaan akan menjadi positif jika disalurkan ke dalam cara atau mekanisme yang sah, misalnya berpolitik dengan demokratis dan menjunjung tinggi fairness. Sebaliknya, hasrat pada kekuasaan itu akan berujung pada hal negatif jika disalurkan melalui cara atau mekanisme kotor. Salah satunya dengan cara menginfiltrasi publik dengan narasi provokatif sekaligus mendelegitimasi wibawa pemerintah.
Dalam konteks yang lebih filosofis dan subtansial, bangsa Indonesia saat membutuhkan apa yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai futurosophy alias filsafat tentang masa depan. Harus ada ide, gagasan, wacana dan inovasi segar yang diangkat ke permukaan dan menjadi bahan diskusi bersama. Selama ini, kita kadung terjebak pada diskusi banal dan nirmakna yang lantas membuat akal kita sebagai bangsa tumpul. Maka, nyaris tidak ada daya inovasi dan daya kreativitas yang mampu menjadi daya dorong persatuan bangsa. Sebaliknya, kita justru mudah dibenturkan satu sama lain oleh isu-isu yang sama sekali tidak subtansial. Krisis multidimensi ini jelas harus diakhiri, namun tentunya bukan dengan gerakan penyelamatan bercorak tendensius dan ambisius pada kekuasaan.
Paradigma filsafat tentang masa depan alias futurosophy kiranya bisa diwujudkan dengan membulatkan tekad untuk sama-sama menyelamatkan Indonesia. Di titik inilah, hasrat pada kekuasaan harus dilebur ke dalam komitmen kebangsaan. Segala macam tendensi dan ambisi yang mengarah pada sindrom “pahlawan kesiangan” idealnya dibuang jauh-jauh. Begitu pula halnya dengan sikap yang merasa diri dan kelompoknya sebagai korban kebijakan pemerintah seharusnya kita kubur dalam-dalam. Semua entitas yang hidup di Indonesia ini memiliki kewajiban untuk menjaga dan menyelamatkan Indonesia dari narasi provokatif dan perpecahan. Aksi itu bisa dilakukan tanpa embel-embel ambisi, tendensi dan segala hal negatif yang mengancam persatuan bangsa.
This post was last modified on 6 Oktober 2020 3:52 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…