Pandemi Covid-19 belum mereda. Sudah hampir dua tahun Covid-19 atau Corona melanda dunia; menjadikan aktivitas publik bahkan ritual keagamaan harus dilaksanakan dengan serba terbatas, bahkan beberapa aktivitas harus dihentikan untuk sementara waktu karena berpotensi menambah daftar panjang kasus positif Covid-19.
Di tengah kondisi sulit tersebut dan upaya serius dari pemerintah untuk memutus penularan Corona, ada gerakan anti-vaksin dan konspirasi Corona. Ini benar-benar terjadi di tengah-tengah masyarakat. Artinya, mau tidak mau dan suka tidak suka, kelompok seperti ini memang ada dan celakanya sebagian masyarakat percaya dengan gerakan tersebut.
Tak hanya itu, dalam ranah agama, berbagai persoalan pun mencuat. Bahkan di awal-awal kemunculannya, Corona dianggap sebagai ‘tentara Allah’, Adzab/siksa Allah dan sebagainya. Bahkan belakangan ini muncul bahwa vaksinasi yang sedang digencarkan oleh pemerintah mendapatkan penolakan karena banyak hal, salah satunya argumen teologis bahwa vaksin dibikin dengan darah babi sehingga hukumnya haram. Ironinya lagi, ada yang beranggapan bahwa vaksin merupakan produk konspirasi Yahudi.
Satu hal yang harus diperhatikan bersama adalah, tidak ada satu pun agama besar di dunia ini yang melarang vaksin secara mutlak. Namun, para pengikut agama-agama-lah yang seringkali menggunakan otoritas agama sebagai tameng atau dalih untuk menolak vaksin. Jika demikian yang terjadi, maka peran tokoh agama sangatlah penting, bahkan tak bisa ditawarkan agar pandangan yang keliru bisa diluruskan.
Meluruskan Pemahaman yang Keliru
Masyarakat belum sepenuhnya satu suara dalam perang menghadapi Covid-19. Hal ini terkonfirmasi dari sejak pertama kali virus ganas ini muncul hingga hari ini. Ada-ada saja sekelompok yang masih berpandangan bahwa takut itu sama Allah, jangan sama Corona; anjuran jaga jarak yang telah dianjurkan oleh para ahli pun banyak penolakan. Walhasil, banyak masyarakat yang dengan gagah mengatakan bahwa Covid-19 itu tak perlu ditakuti, sehingga mereka melakukan aktivitas, terutama ritual keagamaan seperti sebelum Corona melanda.
Berkaitan dengan pandangan di atas, ulama kharismatik Indonesia, Prof. Quraish Shihab, memberikan teladan yang sangat luar biasa. Beliau dengan cepat merespon kegelisahan ummat dan meluruskan pemahaman umat yang keliru dalam berbagai kesempatan, termasuk menulis satu buku yang bisa dibaca secara gratis oleh semua orang tentang Corona, dengan judul: “Corona Ujian Tuhan: Sikap Muslim Menghadapinya.”
Melalui buku tersebut, Quraish Shihab mengupas tuntas Corona dalam perspektif Islam dan yang paling fenomenal serta berdampak positif adalah uraian tentang beberapa kekeliruan atau pemahaman yang kurang tepat yang dialami oleh orang yang dikenal sebagai ustadz/kyai. Salah satunya berkenaan dengan poin “mempertentangkan Takut kepada Allah dan takut terhadap virus.”
Kelompok ini menilai bahwa, yang memenuhi larangan jaga jarak atau prokes itu adalah orang yang lebih takut kepada virus ketimbang kepada Tuhan. Logika semacam ini seolah mengandung kebenaran yang tak bisa dipatahkan. Padahal, pandangan seperti ini sejatinya kurang tepat. Untuk itulah, Pak Quraish Shihab menjelaskan persoalan ini pada beberapa poin.
Pertama, tidak selalu takut kepada Allah dipertentangkan dengan takut kepada Allah. Hal ini sebagaimana sebuah doa yang sangat populer : “ Ya Allah, kami takut kepada- Mu dan takut juga kepada yang takut dan tidak takut kepada- Mu, maka demi kedudukan yang takut kepada- Mu, selamatkanlah kami dari siapa yang tidak takut kepada- Mu.“
Kedua, ketika Rasulullah bersama kaum muslim dalam situasi perang, mereka takut diserang musuh saat mereka sedang shalat. Bersamaan dengan kondisi ini, turunlah ayat yang menjelaskan tentang tata cara shalat berjamaah yang berbeda dengan biasanya, yang kemudian disebut dengan shalat khauf (QS. an-Nisa: 102). Dari sini kiranya jelas bahwa Nabi pun juga takut dengan musuh, meskipun beliau juga takut kepada Allah.
Ketiga, agama Islam terdapat kajian tentang hal-hal yang prinsipil seperti halnya yang dibahas dalam fikih. Dari kajian ini dikenal dengan istilah dharurat dan hajat, yang intinya membenarkan melakukan hal-hal walau dalam keadaan normal ia diharamkan agama. Artinya, tindakan tersebut dibenarkan dengan catatan adanya ancaman terhadap jiwa bahkan kehormatan seseorang. Jadi, jaga jarak dan tidak shalat Jumat untuk wilayah zona merah itu termasuk dibolehkan dalam hal ini.
Keempat, Allah dalam firman-Nya yang terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 195, menjelaskan bahwa larangan bagi hambanya untuk menjerumuskan diri dalam bahaya.
Demikianlah beberapa poin yang disampaikan oleh Prof. Qurasih Shihab kepada umat berkaitan dengan Covid-19. Dari uraian di atas terlihat sangat jelas dan tegas bahwa beliau sangat peduli dengan umat sehingga menjelaskan argumen teologis tentang pencegahan Covid-19. Peran strategis tokoh agama dalam membimbing umat harus dikontekstualisasikan dengan kondisi yang ada. Dalam waktu dekat ini, sudah saatnya segenap tokoh agama mengoptimalkan perannya dalam melawan pandemi.
This post was last modified on 2 Juli 2021 3:38 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…