Narasi

Radikal? Ibn ‘Arabi Solusinya

Akhir-akhir ini, Islam kian tercoreng akibat ulah beberapa orang yang selalu berbuat onar hingga teror di beberapa daerah Indonesia atau bahkan di dunia. Tuduhan bahwa Islam disebar dan ditebar ke segala penjuru dengan pedang dan kekerasan semakin menemukan titik meyakinkan. Tak ayal, beberapa orang memandang Islam sebagai agama haus darah. Bagi sebagian kalangan, mendengar nama Islam atau umat Islam disebutkan tidak hanya menakutkan tapi juga mengerikan. Korbannya bukan hanya orang di luar agama Islam tapi juga umat Islam sendiri.

Jika kondisi ini dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan, Islam akan segera ditinggalkan. Aturan-aturan yang ditawarkan dengan pembunuhan oleh sebagian kalangan umat Islam membuat orang merasa terkerangkeng dan ingin keluar. Ini wajar. Karena di dunia ini tidak satu pun orang bisa hidup tentram dan damai dalam ancaman kekerasan dan pembunuhan. Karena itu, penting kiranya umat Islam sadar diri untuk berbenah dari kondisi teror seperti ini melalui pemahaman yang lebih relefan dengan jaman dan kondisi.

Keras ke Dalam Lentur ke Luar

Tak dapat disangkal bahwa teks-teks al Qur’an dan Hadits memang mengandung banyak anjuran yang sangat terbuka. Teks soal membunuh dalam satu sisi dan teks untuk berdamai di sisi lain, semuanya terangkum dalam ajaran Islam. Teks-teks yang tampak bersebrangan itu melahirkan dua kelompok yang saling menyalahkan. Satu kelompok melaksanakan ayat-ayat yang keras dan kelompok lain lebih menekankan pada teks-teks kedamaian. Uniknya, kelompok pertama hampir selalu mengkafirkan kelompok kedua karena tidak mengikuti pola keberagamaannya. Sementara kelompok kedua apabila berhadapan dengan kelompok pertama yang melakukan tindakan teror seringkali menuduhnya sebagai orang yang tidak beragama.

Kondisi di atas jika dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian hanya akan menyisakan permusuhan antar umat Islam. Karenanya pola beragama seperti itu perlu dilerai. Salah satunya adalah memakai gaya tafsir Ibn ‘Arabi. Dalam “Tafsir al Qur’anul Karim”, Ibn ‘Arabi tidak mengabaikan ayat-ayat keras dan tegas. Hanya saja objek kekerasan itu diarahkan ke dalam bukan ke luar. Sehingga ketika menafsirkan ayat ‘faqtulul musyrikina haitsu wajattumuhum’ terlihat damai sekali. Makna ayat itu adalah “bunuhlah al musyrikin dimana pun kalian menemukannya”. Dalam tafsir itu Ibn ‘Arabi justru memahaminya “bunuhlah benih-benih kemusyrikan dimana pun kalian menemukannya dalam dirimu.”

Tidak hanya satu ayat itu saja, ayat-ayat yang menganjurkan untuk keras kepada musyrikin dan kafirin selalu diarahkan kepada dirinya sendiri. Ayat “asyidda’ alal kuffar” yang maknanya adalah “keras terhadap para kafir”, lagi-lagi Ibn Arabi memahaminya sebagai kekafiran dalam diri. Karena menurut Ibn ‘Arabi, kekafiran dan kemusyrikan seseorang hanya Allah yang tahu. Tugas umat Islam adalah menghilangkan kekafiran dan kemusyrikan itu sekecil apapun itu. Wajar saja, Ibn ‘Arabi tidak memiliki kesempatan untuk mengoreksi kesesatan, kekafiran, dan kemusyrikan seseorang karena beliau sibuk menganalisa dan mengamati potensi kekafiran yang ada dalam dirinya.

Sementara dalam menghadapi orang lain, berbeda agama sekalipun, kita tidak hanya perlu ramah dan sopan tapi juga saling tolong menolong dan saling mengasihi. Karena menurut Ibn ‘Arabi penghambaan diri kepada Allah (‘abdullah) tidak hanya berupa pengabdian kepada Allah tapi juga kepada seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Kekafiran seseorang tidak menafikan pengabdian kita kepadanya. Karena Allah menghormati umat manusia tanpa terkecuali maka tidak boleh tidak kita harus menghirmatinya juga sekafir apapun orang tersebut.

Pandangan Ibn ‘Arabi di atas pada hakekatnya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad. Ke dalam dirinya sendiri, Nabi Muhammad selalu beribadah dengan tekun. Dalam suatu waktu Nabi pernah ditanya oleh sahabat karena terlalu sering beribadah, “mengapa engkau selalu beribadah padahal engkau dijamin masuk surga oleh Allah?” Nabi menjawab, “apakah salah jika aku mensyukuri rahmat Allah dengan memperbanyak ibadah?” Jawaban Nabi ini mengindikasikan bahwa Nabi tergolong keras terhadap dirinya sendiri dalam beragama.

Sementara keluar tentu berbeda. Fahmi Huwaydi dalam “Muwathinun La Dzimmiyyun” menjelaskan tentang bagaimana Nabi saling tolong menolong dengan agama lain. Salah satunya, ada kaum Kristen Najran yang mau menemui Nabi Muhammad untuk meminta ijin melaksanakan ibadah. Nabi mengijinkannya untuk melaksanakan di dalam masjid. Bahkan Nabi sendiri yang melayaninya dengan baik.

Terkahir, kelompok radikal itu perlu belajar kepada Nabi Muhammad dan Ibn ‘Arabi dalam beragama. Sehingga mengerti bagaimana memperlakukan dirinya dan memperlakukan orang lain dalam konteks keagamaan. Wallahu a’lam.

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Kampanye Khilafah di Momen Bencana; Dari Krisis Ekologis ke Krisis Ideologis

Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…

9 jam ago

Menjadi Khalifah di Muka Bumi: Melindungi Alam dari Penjahat Lingkungan, Menjaga Kehidupan Umat dari Propaganda Radikal

Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…

9 jam ago

Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…

10 jam ago

Ksatria dan Pedagogi Jawa

Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…

3 hari ago

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…

3 hari ago

Pendidikan Bela Negara dan Moderasi Beragama sebagai Benteng Ekstremisme

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…

3 hari ago