Categories: Peradaban

Radikalisme Merusak Otak Kiri

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Roger Sperry pada dekade 1960-an, ditemukan bahwa otak manusia terbagi kedalam dua bagian, yakni otak kanan dan otak kiri. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa masing-masing bagian otak memilki fungsi yang berbeda; otak kanan berhubungan dengan perkembangan Emotional Quotient (EQ),  seperti sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Sementara otak kiri memiliki fungsi yang lebih kompleks, beberapa pakar bahkan menyatakan bahwa otak kiri merupakan pusat intelektualitas (Intelligence Quotient [IQ]), fungsi otak kiri berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika.

Dalam penjelasan yang lain juga disebutkan bahwa kemampuan untuk menggunakan logika, analisa, pertimbangan, dan obyektif merupakan bagian dari kemampuan yang dimiliki oleh ‘sistem kerja’ otak kiri, karenanya orang yang memiliki otak kiri sehat cenderung lebih bijak (atau waras), sebab mereka mampu menggunakan logika dan obyektif terhadap segala sesuatu.

Dua hal terakhir di atas (logika dan obyektif) kini seolah menjadi barang mahal untuk ditemukan dalam beberapa kelompok yang doyan mendandani diri dengan atribut agama. Kelompok-kelompok ini seperti sedang sengaja mematikan otak kirinya seolah bagian otak yang satu ini adalah ciptaan Tuhan yang ‘sebenarnya’ salah produksi.

Jika diurut kebelakang, usaha untuk me-non-aktif-kan otak kiri sudah terjadi sejak jaman bahula, dimana orang-orang yang merasa paling dekat dengan Tuhan melarang umat beragama untuk menggunakan logika. Akibatnya, ajaran agama hanya dipahami sebatas apa yang tertulis di atas kertas, sehingga berbagai upaya untuk melakukan interpretasi dianggap sebagai bentuk kekurangajaran terhadap ilahi.

Logika dan obyektifitas, karenanya, kerap dianggap sebagai musuh agama. Mereka yang percaya dengan bualan ini tumbuh menjadi umat beragama dengan pemahaman yang itu-itu saja. Bahkan tidak jarang, pandangan keagamaan mereka sudah sangat tidak kontekstual dengan kondisi kekinian. Sehingga berbagai putusan yang mereka ambil, dengan atas nama agama sekalipun, justru kerap memunculkan masalah baru yang entah kapan akan berakhir.

Salah satu penyebab matinya otak kiri adalah muncul dan berkembangnya radikalisme, yakni beragama dengan absen terhadap obyektifitas dan logika. Paham yang menjunjung tinggi kekerasan dan sikap ugal-ugalan dalam upaya ‘pamer’ Tuhan ini meremas habis fungsi otak kiri manusia, sehingga mereka yang telah terpengaruh dengan paham ini tidak memiliki kemampuan untuk melakukan analisa dan akhirnya tidak ngeh bahwa mereka sedang melenceng jauh dari agama.

Bukti bahwa radikalisme benar-benar mematikan otak kiri dapat dilihat secara kasat mata, dan sesuai pula dengan kajian ilmiah di bidang kedokteran. Dalam banyak kajian tentang fungsi otak disebutkan bahwa imbas dari matinya otak kiri sangat mengerikan, beberapa diantaranya adalah; hilangnya kemampuan untuk melakukan analisa dan mengelola informasi, ‘kematian’ otak kiri juga membuat seseorang mengalami perubahan perilaku dan gangguan ingatan.

Ciri-ciri di atas terjadi pada hampir semua anggota kelompok radikalisme; paham yang telah membantai otak kiri tersebut membuat pengikutnya kesulitan melakukan analisa dan mengolah informasi, sehingga mereka tidak dapat membedakan mana kebenaran dan mana fitnah murahan. Mereka juga mengalami perubahan perilaku, karena radikalisme, orang yang semula pendiam berubah menjadi pelaku onar paling mengerikan, sementara orang yang semula sangat ramah berubah menjadi sangat gampang marah.

Tetapi, dari sekian banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh matinya otak kiri, hilang ingatan merupakan satu yang sangat menakutkan. Radikalisme telah terbukti membuat orang hilang ingatan; mereka yang terbius radikalisme langsung lupa terhadap segalanya, termasuk keluarga, tetangga, dan bahkan lupa bahwa mereka adalah juga manusia.

Begitu bahayanya radikalisme bagi kelangsungan fungi otak kiri sudah seharusnya menjadi peringatan agar tidak coba-coba mengikuti paham yang satu ini, bukan lantaran takut keenakan, tetapi karena paham ini akan perlahan namun pasti memberangus seluruh nilai-nilai kemanusiaan. Sambil jangan lupa untuk sering-sering check otak kiri kita masing-masing, jangan-jangan kita juga mulai jarang menggunakan logika dan obyektif terhadap sesuatu,,,

ini tentu “jangan-jangan” yang jangan!

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Share
Published by
Khoirul Anam

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago