Belakangan, berita tentang kelompok radikal makin gencar tersiar. Para kuli tinta beramai-ramai mem-blow up hampir seluruh aktifitas mereka. Seakan tak mau ketinggalan kelompok ini justru makin ‘rajin’ mengupload video brutal atau statemen mengancam di dunia maya. Tidak sedikit masyarakat yang terpengaruh agitasi mereka, hingga rela turut perang menyongsong mati di negeri orang. Betulkah pengaruh kelompok radikal ini begitu kuat?
Bagi para pecinta kedamaian dan harmoni, berbagai agitasi yang ditebar para pemuja kekerasan ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi selama ini alasan agama selalu dijadikan alat pembenar setiap tindakan keji dan sadis yang mereka lakukan. Kesucian kitab suci dan sabda Nabi mereka nodai dengan aksi penumpahan darah dan onar dimana-mana. Akal sehat siapapun akan menolak jika agama mengamanatkan pertumpahan darah.
Nashr Abû-Zayd, salah seorang pemikir besar muslim, menyatakan bahwa banyak studi agama yang kehilangan kesadaran historis-ilmiah (al-wa‘yu al-târîkhî al-‘ilmî). Akibatnya, banyak orang beragama tak lagi menggunakan rasionalitas dan menghindari dialog. Agama hanya dipahami sebatas pemberi hukuman.
Perilaku yang telah kehilangan nalar historis itulah yang di kemudian waktu mengantarkan umat sibuk dengan ‘kulit’ ketimbang ‘isi’. Dalam masyarakat Islam, merekalah kelompok yang memahami syariat sebatas hukum potong tangan, rajam, atau qisash. Mereka lebih suka memaksa negara menjalankan hukum pencurian ketimbang mengurusi kesejahteraan publik. Kelompok inilah yang mendorong perubahan kekuasaan dan struktural (up to down) dilakukan negara. Orang-orang yang tata kelola pikiran seperti inilah yang kerap pamer kekerasan di dunia maya.
Belum terlambat bagi kita mewaspadai terorisme, terutama yang ‘bermarkas’ di internet. Marc Sageman, seorang pakar radikalisasi dari AS, menyimpulkan bahwa internet telah menghilangkan batas antara individu dan sebuah komunitas religius radikal virtual. Ajaran, keyakinan, dan ajakan untuk bergabung dengan kelompok teroris begitu masif muncul di internet. Hingga seringkali kita saksikan begitu mudahnya orang termakan agitasi kelompok radikal. Jika hal ini dibiarkan, maka jumlah ‘teroris rumahan’ akan semakin marak.
Sebenarnya, ada satu hal yang dapat menangkal atau bahkan mengalahkan kejahatan di dunia virtual, yakni pendekatan personal. karena seseorang dengan kedekatan personal yang baik pada ranah sosial tidak akan mungkin terlibat dalam gerakan radikal. Kecintaannya pada sesama, terutama sanak saudara dan tetangga, tidak akan membuat mereka tega untuk menyalahgunakan agama. Kita beragama karena kita yakin ada ajaran dan tuntunan menuju kebaikan di dalamnya, dan kita bertuhan karena kita anti kekerasan.
This post was last modified on 31 Maret 2015 12:16 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments
Sy tidak setuju kalau dikatakan bahwa "agama hanya dipahami sebatas pemberian hukum" palagi disitu dikatakan kalau agama hanya mengurusi hukum potong tangan tanpa mengurusi kesejahteraan publik.
Padahal justru agama itu memiliki mekanisme pengaturan kesejahtetaan publik. Dan ketiadaan kesejahteraan publik saat ini diakibatkan tidak diterapkannya islam. Kapitalis dan nelolibaralislah yang membuat keaejahteraan masyarakat tidak di dptkan.