Di era modern ini, kita sering terjebak dalam sebuah kerancuan berpikir yang cukup fatal mengenai toleransi. Atas nama perdamaian, sering kali kita tergoda untuk berkata, “Semua sama saja.” Kalimat ini terdengar manis di telinga, seolah menjadi obat paling ampuh untuk meredam konflik antar-identitas, baik itu agama, budaya, maupun ideologi. Namun, jika kita telelisik lebih dalam dengan kejernihan akal dan kejujuran hati, pandangan yang memaksakan penyatuan segala hal, atau yang kita kenal sebagai sinkretisme, sebenarnya adalah bentuk kemalasan intelektual dan pengkhianatan terhadap autentisitas diri.
Sinkretisme, dalam upaya mencampuradukkan berbagai ajaran dan keyakinan menjadi satu adonan baru, pada hakikatnya justru membunuh keunikan dari masing-masing entitas tersebut. Bayangkan sebuah orkestra. Keindahan simfoni tidak lahir karena semua alat musik dipaksa berbunyi sama menjadi suara seruling semua atau drum semua. Keindahan itu lahir justru karena biola tetap menjadi biola, dan selo tetap menjadi selo. Jika kita memaksakan sinkretisme, kita sedang mengubah orkestra megah menjadi kebisingan yang monoton.
Ketika kita berkata “semua kebenaran adalah sama,” kita tidak sedang menghormati kebenaran; kita sedang menihilkannya. Dalam filsafat, identitas itu krusial. Sesuatu menjadi “ada” karena ia memiliki batas yang membedakannya dengan yang lain. Rumah disebut rumah karena ia memiliki dinding yang memisahkannya dari jalan raya. Jika dinding itu dirobohkan atas nama “keterbukaan,” ia bukan lagi rumah, melainkan sekadar ruang kosong tanpa privasi dan jati diri.
Lantas, jika sinkretisme adalah jalan yang keliru, apakah pilihannya hanya konflik? Tentu tidak. Di sinilah kita perlu melakukan lompatan paradigma: dari sekadar ko-eksistensi menuju pro-eksistensi.
Ko-eksistensi hanyalah keadaan hidup berdampingan secara pasif. Seperti dua batu di dasar sungai; mereka berdekatan, tetapi tidak saling menyapa, tidak saling peduli. “Kamu di sana, aku di sini, jangan saling ganggu.” Itu standar yang terlalu rendah untuk makhluk berakal budi seperti manusia.
Paham Pro-Eksistensi menawarkan sesuatu yang jauh lebih luhur. Istilah ini bukan sekadar hidup bersama, melainkan hidup untuk yang lain. Dalam pro-eksistensi, perbedaan tidak dianggap sebagai ancaman yang harus dilebur (seperti dalam sinkretisme), melainkan sebagai modal untuk saling melengkapi.
Pro-eksistensi pada dasarnya adalah sebuah ‘etika kehadiran’ yang dinamis. Ia menuntut kita untuk mengubah pola pikir dari sekadar ‘menahan diri agar tidak menyakiti’ menjadi ‘bergerak aktif untuk memberi arti’. Dalam bingkai ini, perbedaan teologis atau ideologis bukan lagi alasan untuk segregasi, melainkan ruang kompetisi untuk membuktikan siapa yang paling bermanfaat bagi semesta.
Logikanya sederhana namun mendalam: Saya hanya bisa benar-benar memberi manfaat kepadamu jika saya berbeda denganmu. Jika saya sama persis denganmu, apa yang bisa saya tawarkan? Seorang guru bisa mengajar murid karena ia memiliki pengetahuan yang berbeda dari muridnya. Seorang dokter bisa menyembuhkan pasien karena ia memiliki keahlian yang tidak dimiliki pasiennya.
Dalam konteks keyakinan dan kehidupan sosial, pro-eksistensi menuntut kita untuk menjadi diri sendiri yang autentik, teguh pada prinsip dan akidah kita, namun menggunakan keunikan identitas tersebut untuk berkontribusi bagi kebaikan orang lain yang berbeda dengan kita.
Seorang Muslim yang baik, misalnya, tidak perlu berpura-pura menyetujui teologi Kristen untuk bisa berbuat baik kepada tetangganya yang Nasrani. Justru karena ajaran Islam mengajarkannya kasih sayang dan perlindungan, ia berbuat baik sebagai seorang Muslim. Begitu pula sebaliknya. Kita tidak perlu merobohkan pagar rumah kita untuk bisa menyapa tetangga. Kita tetap butuh pagar itu sebagai batas identitas, namun kita bisa membuka pintu gerbangnya lebar-lebar untuk saling bertukar senyum dan hantaran makanan.
Menggugat sinkretisme berarti kita menolak menjadi manusia yang “abu-abu”, manusia yang tidak punya pendirian, yang terombang-ambing ingin menyenangkan semua pihak hingga kehilangan wajah aslinya. Sebaliknya, memeluk pro-eksistensi berarti kita berani tampil dengan warna asli kita yang cemerlang, berdiri tegak di atas prinsip kebenaran yang kita yakini, dan dengan pijakan yang kuat itulah kita mengulurkan tangan untuk mengangkat martabat kemanusiaan bersama.
Dunia ini tidak butuh keseragaman yang dipaksakan. Dunia butuh harmoni yang tulus. Dan harmoni hanya bisa tercipta dari nada-nada yang berbeda, yang sadar akan posisinya, namun sepakat untuk memainkan lagu persaudaraan yang sama. Mari berhenti mencampuradukkan segalanya, dan mulailah saling memberi manfaat dalam perbedaan yang indah ini.
Desember selalu memiliki aroma yang khas. Ada bau tanah basah sisa hujan sore hari, aroma…
Agenda Natal Bersama Kementerian Agama 2025 menuai polemik di tengah masyarakat. Agenda itu dianggap sebagai…
Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang unik. Kita bukan negara agama, sekaligus juga bukan negara…
Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…
Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita. Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…
Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…