Kala itu tahun 1999, garis waktu yang dikenal banyak orang sebagai peristiwa referendum Timor Timur. Sebuah keluarga Jawa yang tinggal di seberang Komando Distrik Militer di Baucau Timor Timur terpaksa memindahkan anaknya yang masih berusia 8 tahun untuk bersekolah di Jawa (Yogyakarta) akibat kejadian itu. Sekalipun Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dari kelompok pro kemerdekaan yang menyerang Kodim selalu meneriakan Jawa lalika yang artinya Jawa jangan diganggu atau Jawa jangan disakiti, suasana perang tidaklah nyaman bagi warga sipil. Keluarga itu selalu bersembunyi di kolong tempat tidur sekalipun GPK hanya lewat di samping rumah mengarahkan senjata ke Kodim. Saat pertempuran berakhir, sudah lazim ada lubang-lubang bekas peluru di tembok rumah dan juga selongsong yang berserak di sekitaran rumah.
Ayah dalam keluarga itu berasal dari Malang Jawa Timur dan Ibu dari Sleman Yogyakarta. Sebelum 1999, keluarga itu rutin setengah tahun sekali mengujungi keluarga di Malang dan Sleman. Kala itu masih ada maskapai Bouraq dan Merpati juga Garuda yang jadi kendaraan umum dari Dili ke Adisutjipto. Tapi sejak terjadi huru-hara seluruh maskapi itu tak lagi beroperasi ke dan dari Dili. Satu-satunya pesawat yang beroperasi adalah Hercules milik TNI AU.
Karena kondisi yang semakin chaos, si anak berusia 8 tahun yang terbiasa perjalanan jauh itu terpaksa dipilangkan ke neneknya di Sleman dengan satu-satunya pesawat yang masih mendarat di Dili. “Kok masuknya dari pantat, Bu?” tanya anak itu karena yang ia tahu naik pesawat itu dari samping dan ada pramugari cantik yang menawarkan permen saat sudah duduk.
Di “pantat” pesawat itu si anak melihat ayahnya bersitegang pada pria tegap berpakaian loreng agar mau dititipi anak dan TV tabung 21 inch. Namun pria tegap itu menjawab “TV-nya masuk anaknya turun” yang kemudian membisukan ayah si anak.
Namun bukan soal TV yang membuat si ayah terdiam, karena atas peristiwa referendum keluarga ini tak hanya meninggalkan TV, mereka meninggalkan tanah, rumah dan isinya, peternakan, dan kendaraan yang tak satupun dijual karena tak terpikirkan Timor Timur akan memisahkan diri. Mungkin batin si ayah “Segalanya harus ditinggalkan begitu saja, bahkan TV pun tak terbawa”.
Hercules bersiap lepas landas, anak yang tadinya bersedia pulang sendiri dari Dili ke Sleman karena membayangkan nyamannya pesawat Garuda Indonesia masih kebingungan setelah “pantat” pesawat ditutup. Tak ada kursi empuk, tak ada pramugari, tak ada penampilan penumpang yang bersih dan rapi. Si anak hanya melihat tumpukan tas dan barang-barang, sedikit orang yang duduk di lantai pesawat dengan muka sedih memeluk tas mereka, dan sebagian orang yang duduk bersebelahan di semacam kursi panjang yang terbuat dari semacam net voli untuk menyangga pantat manusia. Karena lubang net itu masih cukup longgar untuk ukuran pantat anak usia 8 tahun, pantatnya justru meleset dalam lubang net itu. Seorang pria tegap berbaju loreng kemudian membopong si anak dan memindahkannya di tumpukan tas supaya bisa lebih nyaman berada di pesawat angkutan tentara itu.
Setiba di Adisutjipto, nenek dan pamannya yang menjadi satu-satunya petunjuk sudah menanti. Si anak kecil itu membuat heboh orang di kampung neneknya karena pulang dari Dili ke Sleman seorang diri tanpa pengawasan orang tua, meskipun sebenarnya sia anak dititipkan pada seorang tentara untuk menjaga dan mengawasinya.
Sleman bukan tempat yang asing bagi si anak, ia sudah beberapa kali ke Sleman untuk mengunjungi neneknya yang seorang petani. Namun ia belum pernah tinggal lama, apalagi untuk bersekolah. Maka pindah sekolah sama saja masuk sekolah baru dan mencari teman baru.
Di sekolah tidak ada yang istimewa dan tidak ada masalah, kecuali soal agama. Si anak adalah satu-satunya siswa beragama Katolik. Ia sering ditanya “Ngopo kok allah-mu dipenteng (digantung)?” Dan tidak terlalu menjadi masalah. Namun ia menjadi pemurung dan minder ketika teman-temannya membully karena ia tak ikut Jumatan, ia diteriaki “Katolik katul cilik, Katolik katul cilik” (Katul adalah dedak pakan ayam). Hingga yang terparah adalah disoraki begitu sambil dilempari kerikil yang membuatnya menangis sepanjang jalan pulang.
Entah untuk melindungi atau supaya si anak bisa mengenal Islam, guru agama di sekolah membawa si anak untuk ikut Sholat Jumat hingga belajar adzan. Demikian juga di rumah, pamannya sering mengajak ke masjid dan neneknya mengajarinya berpuasa. Ia pernah meminta pamannya untuk mengantarkannya ke gereja di hari minggu, tetapi pamannya menolak dengan baik dengan macam-macam alasan.
Setelah 22 tahun berlalu, si anak yang kini sudah dewasa masih melihat perlakuan yang sama dari pemaksaan kehendak yang mewajibkan pelajar non-muslim di Padang untuk mengenakan seragam berjilbab.
Ruang kelas di sekolah memang menjadi semacam slot untuk menginstall moral, intelektual, karakter, paham, hingga ideologi, baik secara sadar maupun spontan, mengenai hal baik atau sebaliknya. Sehingga Erin Gruwell dalam film Freedom Writers (2007) yang mulanya tertarik untuk membantu anak-anak korban kekerasan dan peperangan antar kelompok geng melalui jalur advokasi memilih menjadi guru. Karena menurut Erin Gruwell yang merupakan tokoh nyata dalam sebuah perjuangan mengubah kelompok kelas berisi lintas suku yang saling bermusuhan menjadi bersatu dalam kemanusian di California itu, “pertempuran” yang sesungguhnya berada dalam ruang kelas sekolah. Karena seorang guru mampu “menginstall” apapun pada anak murid, apalagi guru-guru yang didukung sistem yang mengarah pada diskiriminasi dan intoleransi seperti yang terjadi di Padang yang mewajibkan siswa non-muslim mengenakan jilbab.
Sebagai anak bangsa kita masih beruntung dengan tanggapan cepat pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang menyatakan pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama. SKB yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini menjadi harapan bahwa ruang kelas sekolah merupakan milik bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila.
Dalam Freedom Writers yang mengangkat tema kekerasan antar suku di Amerika memberikan kita sebuah gambaran bahwa kekerasan dan pembalasan akan terus membesar dan selalu melahirkan kekerasan baru yang lebih menyakitkan hingga akhirnya semuanya hancur. Dalam menengahi kebencian antar siswanya yang beda suku dan ras, Erin berkata bahwa kebencian pada yang beda menimbulkan perasaan bahwa jika ras dan suku lain tidak ada di sini maka semuanya akan menjadi lebih baik. Namun justru dengan kemampun menerima perbedaan, sebuah bangsa bisa kuat dan menjadi bangsa yang mampu beradaptasi dan bekerjasama untuk kepentingan bersama.
Perbedaan itu indah kala kita saling menerima dan menghargai, namun bagi saya yang pernah di-bully karena berbeda agama hingga berada di tengah peperangan, kebencian terhadap perbedaan itu mengerikan.
This post was last modified on 11 Februari 2021 1:53 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…