Narasi

Kritik Konstruktif Mewujudkan Demokrasi Berkeadaban

Sistem demokrasi yang kita praktikkan di era Reformasi ini telah membidani lahirnya ruang publik yang bebas dan terbuka. Keterbukaan dan kebebasan ruang publik itu juga dibarengi dengan menguatnya institusi masyarakat sipil dalam beberapa tahun belakangan. Sistem demokrasi dan keberadaan ruang publik memungkinkan terjadinya kesetaraan antara negara di satu sisi dan warganegara di sisi lain. Dalam relasi yang egaliter ini, masyarakat sipil dimungkinkan untuk mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintah. Pada titik tertentu, masyarakat juga bisa melontarkan kritik pada pemerintah. sebaliknya, di sisi lain negara atau pemerintah juga membutuhkan pengawasan, kontrol dan kritik dari publik. Hal ini penting untuk memastikan pemerintah tidak menyalahgunakan wewenang dan mengarah pada kekuasaan yang otoritarianistik.

Relasi egaliter antara negara/pemerintah dan masyarakat sipil ini tentu harus dibingkai dalam konteks tatanilai dan etika keindonesiaan yang ditopang oleh falsafah Pancasila. Penting untuk dicatat bahwa demokrasi yang kita praktikkan di Indonesia ialah demokrasi Pancasila yang berdasar pada falsafah musyawarah untuk mencapai mufakat. Demokrasi kita bukanlah demokrasi liberal dimana semua ide, gagasan dan wacana bebas dikontestasikan secara vulgar dan tidak mengindahkan etika. Dalam demokrasi Pancasila, aspek kesantunan, kesopanan, dan etika dalam berpolitik dan menyampaikan gagasan ialah hal yang tidak dapat ditawar. Prinsip demokrasi Pancasila yang berbasis pada politik gotong royong dan etika kebebasan berpendapat ini kiranya relevan untuk dielaborasi kembali pasca pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa pemerintahan yang dipimpinnya tidak anti-kritik, alih-alih membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk melayangkan kritik pada pemerintah.

Pernyataan Presiden Jokowi muncul dalam konteks merespons hasil survei The Economist Intellegence Unit (EIU) yang menyebutkan bahwa indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 mengalami penurunan. Dalam laporan EIU, salah satu variabel yang membuat indeks demokrasi Indonesia turun ialah ranah kebebasan sipil yang mendapat skor 5, 59 (skala 0-10). Secara keseluruhan, dari 180 negara yang disurvei Indonesia berada di posisi ke 102 atau turun 17 peringkat dari tahun 2019 yang berada di posisi ke-85. Meski demikian, harus diakui bahwa secara global, skor indeks demokrasi negara-negara di dunia memang mengalami penurunan.

Hasil survei EIU ihwal indeks demokrasi Indonesia tentu patut dijadikan sebagai catatan penting bagi upaya mewujudkan konsolidasi demokrasi sebagaimana menjadi amanat gerakan Reformasi. Namun, jauh lebih pentig dari itu ialah bagaimana membangun sistem demokrasi berkeadaban (civility democracy) yang berbasis pada ruang publik yang sehat, kritik yang konstruktif, dan politik yang beretika. Harus diakui bahwa praktik demokrasi kita selama kurang lebih tujuh tahun terakhir ini lebih banyak diwarnai oleh praktik politik hitam (black politics). Mulai dari maraknya ujaran kebencian, fitnah, hoaks yang acapkali secara sembrono dilabeli sebagai kritik.

Fanatisme politik dan agama ditambah dengan kian masifnya penetrasi media sosial dalam kehidupan masyarakat telah membuat demokrasi kita keruh oleh narasi-narasi kritik yang lebih bersifat destruktif. Kritik destrutkif itu mewujud pada munculnya budaya kritik masyarakat terhadap pemerintah yang tidak dilandasi oleh fakta, data, apalagi solusi dan hanya berangkat dari sentimen kebencian. Lebih fatal lagi, kritik yang miskin data dan tuna solusi itu disampaikan dengan bahasa tutur yang vulgar, penuh caci maki dan melecehkan etika. Konsekuensinya, tidak ada isu subtansial yang benar-benar diperjuangkan, alih-alih hanya parade kegaduhan dan kebisingan yang nirmakna.

Menghalau Politik Kebencian, Menegakkan Demokrasi Berkeadaban

Konsolidasi demokrasi tentu harus berbarengan dengan tumbuhnya perekonomian dan meratanya kesejahteraan. Apa artinya demokrasi jika tidak berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, agenda konsolidasi idealnya dilakukan dalam satu tarikan nafas dengan upaya pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia. Dan seperti kita tahu, ketahanan ekonomi dan kualitas SDM itu bisa terwujud jika negara atau pemerintah bekerja secara optimal dalam suasana yang kondusif dan stabil. Di titik inilah pentingnya kita mentradisikan kritik konstruktif. Kritik konstruktif dicirikan dengan setidaknya tiga hal. Pertama, kritik yang disampaikan mengacu pada isu subtansial dan merupakan persoalan orang banyak yang dibuktikan dengan fakta, data dan argumentasi yang kuat dan jelas. Ini artinya, kritik harus fokus pada satu isu atau persoalan tertentu alias tidak melebar ke isu-isu yang sebenarnya tidak subtantif dan bukan persoalan publik.

Kedua, kritik bersifat rasional dan proporsional, alias tidak menyerang sisi personal, apalagi memakai senjata ad hominem demi menjatuhkan lawan (politik) tertentu. Kritik haruslah bersifat netral, dalam artian tidak ditunggangi oleh kepentingan tertentu, apalagi yang bertujuan untuk mendelegitimasi atau mendeskreditkan pihak tertentu. Ketiga, kritik dilandasi oleh spirit untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan membenahi kinerja pemerintah, bukan dilandasi oleh sentimen kebencian apalagi agenda tersembunyi untuk membikin kegaduhan dan kekacauan.

Tujuh dekade lebih kita merdeka dan lebih dari 20 tahun kita menjalani era Reformasi. Tentu menjadi pekerjaan rumah bersama untuk mengimplementasikan nilai dan prinsip etika Pancasila dalam kehidupan politik dan demokrasi kita. Ruang publik yang bebas dan terbuka yang merupakan anak kandung demokrasi harus kita jaga dan rawat agar tidak keruh dinodai oleh masifnya ujaran kebencian dan caci-maki yang diklaim sebagai kritik. Kritik tidaklah sesederhana melontarkan hujatan dan cemoohan pada liyan. Dalam tradisi filsafat, kritisisme ialah budaya membangun sikap untuk menguji kebenaran melalui pendekatan rasional-empirik, alias berbasis pada fakta-fakta yang nyata dan bukan rekaan. Kritisisme berusaha menguji kebenaran yang telah mapan (tesis) dan menawarkan gagasan alternatif (anti-tesis) untuk kemudian melahirkan kebenaran baru (sintesis). Tanpa kaidah filosofis itu, kritisme hanya akan berakhir menjadi sebuah narsisisme politik atau ajang pamer intelektualitas yang kontra-produktif terhadap upaya membangun sistem demorkasi berkeadaban.

This post was last modified on 15 Februari 2021 9:51 AM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

4 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago