Narasi

Ramadan dan Pancasila : Fitrah Beragama dan Bernegara

Bulan Juni menjadi saksi sejarah kukuhnya Pancasila sebagai ideologi bernegara yang menyatukan seluruh tatanan kompleksitas bangsa. Pancasila yang dijiwai spirit religius sebagaimana terwujud dalam pasal 1, adalah perwujudan dari realitas bangsa yang beragama. Jiwa religius bangsa semakin menemukan momentumnya sebab peringatan hari lahir Pancasila di tahun ini bertepatan dengan bulan ramadhan, bulan suci umat mayoritas di Indonesia, yakni umat Islam.

Di bulan ini pula Presiden Jokowi melantik Kepala dan pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP). Untuk Kepala UKPPIP oleh Yudi Latif. Sedang pengarah ada sembilan orang, yakni Megawati Soekarnoputri, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, KH Ma’ruf Amin, mantan Ketua MK Mahfud MD, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, KH Said Aqil Siroj, Prof Dr Andreas Anangguru Yewangoe, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek.

Pelantikan tersebut tentu semakin “sakral” sebab berlangsung di bulan ramadhan dan semakin menegaskan bahwa agama dan pancasila bukan saling bertentangan, tetapi saling bersinergi. Apalagi melihat susunan pengurus yang terdiri dari ulama dan kaum nasionalis, jelas semakin kuat sinergi pancasila dan agama tersebut. KH. Ma’ruf Amin, KH. Said Aqil Siradj, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif mewakili unsur ulama, menjadi jaminan bagi masyarakat muslim bahwa Pancasila juga milik umat Islam.

Fitrah Beragama dan Berbangsa

Ditinjau lebih jauh, hadirnya ramadhan tentu diharapkan membawa perubahan bagi pola kehidupan umat Islam, yang dampaknya pun akan dirasakan oleh negara. Jika umat Islam selaku mayoritas mampu mengaplikasikan spirit ramadhan dalam kehidupannya, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang damai. Spirit ramadhan tidak lain adalah pengendalian diri dari segala macam nafsu negatif. Menurut Quraish Shihab, sifat nafsu itu seperti anak kecil yang selalu menuntut sesuatu dan tidak mau diganti dengan yang lain. Nafsu ini jika dituruti akan semakin menjadi, sebagaimana sakit eksim yang jika digaruk akan semakin gatal. Karena itu, puasa hadir untuk mengendalikannya.

Pengendalian hawa nafsu akan membawa manusia pada derajat yang mulia, yakni derajat orang-orang solih yang dalam hidupnya senantiasa memancarkan kebaikan. Inilah fitrah ramadhan yang senantiasa diburu oleh segenap umat Islam. Jika fitrah ramadhan, yakni terkendalinya nafsu dan lahirnya kebaikan, mampu diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa, betapa indahnya tatanan di dalamnya sebab penuh dengan kebaikan dan perdamaian.

Spirit ini pun akan semakin mengukuhkan pancasila, sebab nilai-nilai pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Membaca pancasila dalam pandangan Islam, telah diformulasikan oleh KH. Achmad Siddiq, yakni dalam kerangka aamanu wa ‘amilu ash-shalihat (beriman dan beramal soleh). Sila ke 1 pancasila adalah cerminan dari aamanu (beriman), sedangkan keempat sila yang lain sebagai perwujudan ‘amilu ash-shalihat (beramal soleh). Maka, bagi umat Islam, mengamalkan pancasila adalah bagian dari beramal soleh, dengan catatan pancasila diamalkan sebagaimana mestinya dan tidak menabrak aturan agama.

Di sisi lain, pancasila menjadi kalimatun sawa’ yang menyatukan ragam agama, etnik, ras, dan budaya. Tercapainya pancasila sebagai pemersatu bangsa ini pun tidak datang begitu saja, tetapi melalui beberapa “ketegangan”. Busman Edyar (2016) mencatat tiga “ketegangan”. Pertama, menjelang kemerdekaan, yakni ketika merumuskan dasar negara pada sidang BPUPKI, 28 Mei-1Juni 1945 dan ketika mengesahkan UUD 1945 pada sidang PPKI, 18-22 Agustus 1945. Pada saat itu, tokoh-tokoh kemerdekaan kita terbagi pada dua kelompok, yakni nasionalis Islam yang mengajukan Islam sebagai dasar negara dan nasionalis sekuler yang mengajukan pembentukan negara yang tidak mendasarkan pada satu agama tertentu.

Kedua, setelah pemilu 1955 di Majelis Konstituante. Ketika itu, terdapat tiga usulan terkait dasar negara; Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi. Ketiga, pada masa orde baru awal. Dalam sidang MPRS, pada bulan Maret 1968 misalnya, kalangan Islam berusaha agar Piagam Jakarta disahkan sebagai pembukaan UUD 1945.

Berbagai dinamika di atas berhasil menemukan kristalisasi, yakni ditetapkannya pancasila sebagai ideologi berbangsa. Pancasila dipandang yang paling ideal untuk menyatukan seluruh keragaman bangsa. Karena itu, pancasila merupakan fitrah berbangsa yang harus diamalkan secara konsekuen, tidak terseret oleh kepentingan apapun. Sebagai umat Islam yang mayoritas, mengamalkan pancasila pun tidak bertentangan dengan agamanya sehingga pancasila harus dijaga. Apalagi sekarang momentumnya bertepatan dengan ramadhan, sehingga sangat tepat menjadikan ramadhan dan pancasila sebagai fitrah beragama dan bernegara.

 

This post was last modified on 9 Juni 2017 1:09 PM

Fatkhul Anas

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

10 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

10 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

10 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago