Narasi

Ramadhan, Kebhinekaan, dan Kemanusiaan

Beberapa kawan saya yang non-muslim, menjelang bulan Ramadhan beberapa minggu yang lalu, tiba-tiba mengirimkan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa—satu hal yang saya sendiri tak menyadarinya sama sekali. Perasaan seperti ini saya kira juga sama dialami oleh kawan-kawan saya yang non-muslim ketika tiba-tiba saya pun mengucapkan selamat hari Paskah, Natal, Waisak, ataupun yang lainnya.

Saya sendiri terbiasa untuk mengikuti prosesi ritual agama lainnya, entah Natalan ataupun beranjangsana ketika Waisak tiba (Sepatu, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Dan kawan-kawan saya yang secara administrtif non-muslim pun juga ada yang dalam kesehariannya hidup seperti laiknya seorang muslim pedesaan, bersarung ataupun melakukan kebaktian di bangunan masjid yang berfungsi sebagai gereja, menggelar kenduri atau selamatan, berpuasa, dan sebagainya (Kyai Sadrach dan Divergensi, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Apakah semua ini sekedar basa-basi sebagai seorang yang menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama? Ataukah sekedar pembuktian tentang, yang menurut sebagian orang, penyampuran keyakinan (akidah), bahkan sebuah laku yang mengarah ke kemurtadan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya kira saya perlu menunjuk diri saya sendiri sebagai salah satu “juru bicara”-nya.

Dari berbagai kawan saya yang non-muslim, seumpamanya kalangan Buddhis di Dusun Sodong (Berpijak di Akar Budaya yang Sama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org) dan kalangan pengikut Kristen Jawa Kyai Sadrach di Karangjoso, mereka umumnya berangkat dari kultur Jawa yang kuat yang karib dengan segala tradisinya. Dalam hal ini seorang sejarawan, M.C. Ricklefs, menyebut fenomena seperti ini sebagai “kontinuitas mistis.”

Baca Juga : Hikmah Ramadhan Di Tengah Pandemi Covid-19

Sebab secara kesejarahan, agama-agama yang mampir di nusantara dahulu kala lebih hadir sebagai sebentuk mistisismenya, misalnya, ada kesinambungan antara mistisisme Hindu dengan mistisime Islam (tasawuf) yang menyebabkan kenapa Islam dalam bentuk sufismenya mudah dirasuk oleh orang-orang nusantara. Karena bagi mereka, Islam dalam bentuk sufismenya bukanlah hal yang sama sekali baru. Ruh Idhafi ternyata setara dengan sang Atman, Roh Kudus, ataupun Dewa Ruci.

Tapi apakah dengan demikian hal ini, seperti pepeling Abdurrahman Wahid pada Nurcholish Madjid, akan mengakibatkan adanya penyamaan agama pada wilayah metafisis—sebuah tuduhan yang selama ini kerap disematkan pada pluralisme? Saya kira tak demikian, sebab kawan saya masih saja seorang pendeta, bikkhu, pastor, pamong, dan tak pernah atau malah tak akan pernah menjadi seorang ustazd, dan begitu pula sebaliknya.

Selain akar budaya yang sama, ada pula faktor lain yang menyebabkan kenapa hal-hal seperti di atas dapat terjadi. Faktor budaya ataupun suku-bangsa bukanlah satu-satunya faktor yang mempertemukan orang-orang dengan latar-belakang yang berbeda. Saya menamakan faktor ini sebagai faktor “lintas-budaya.” Ketika mengakrabi budaya kawan kita sebenarnya kita sedang dalam proses mengenal budaya kita sendiri (Konstruksi dan Dekonstruksi Identitas, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Seperti misalnya tradisi sirri na pesse di Sulawesi Selatan yang menjunjung tinggi rasa malu dan martabat diri (sirri). Dari berbagai diskusi yang ada ternyata saya baru paham bahwa kultur saya sendiri pun juga memiliki tradisi yang sama. Bahwa pepatah “sirri paranreng nyawa palao” setara dengan pepatah “sadumuk bathuk sanyari Bumi yen perlu tak belani sampek mati” yang juga senafas dengan pepatah Madura “atembang apote’ mata, ango’an pote tolang.”

Dan dari kearifan-kearifan lokal ternyata al-Qur’an yang selama ini jarang saya baca berbicara hal yang sama pula, “falladzina haajaru wa ukhriju min diyarihim .” Lagi-lagi, seorang pendiri NU yang digelari sang Mahaguru, KH. Hasyim Asy’ari, pada tahun 1943 sudah mengetengahkan prinsip-prinsip yang senafas yang bersumber dari agama (Pancasila Dalam Perspektif Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).  Sampai di sini menjadi jelas kenapa kawan saya yang non-muslim turut ikut mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa—atau bahkan nanti saat Idul Fitri tiba. Bahwa, sebagaimana uraian di atas, hal-hal seperti ini bukanlah sekedar basa-basi atau gaya-gayaan. Terkadang ada hal-hal tertentu di luar ukuran nalar yang menautkan orang-orang yang datang dari latar-belakang yang berbeda. Bahwa si Dewo tak sekedar si Dewo, melainkan ia hanyalah representasi paham atau pandangan hidup tertentu, gerak-laku tertentu, ataupun perih kesakitan tertentu. Seperti halnya ibadah puasa yang, selain urusan kita dengan Tuhan, adalah juga geliat kehausan dan kelaparan orang-orang yang susah.

This post was last modified on 12 Mei 2020 3:27 PM

Heru harjo hutomo

View Comments

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

2 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

2 bulan ago