Selagi perang Uhud, Rasulullah saw terluka di kepala, patah gigi dan luka berdarah pada wajah, maka baginda bersabda:
“Bagaimana akan beruntung kaum yang berbuat seperti ini kepada Nabi mereka, sedangkan ia (Nabi) mengajak mereka kepada Tuhan”
Saat itu juga, Allah menegur Rasulullah. Turunlah Ali-Imran ayat 128:
“Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.”
Teguran ini memberikan hikmah yang besar. Seorang utusan Tuhan pun tak boleh menghakimi atau menyumpahi sebuah kelompok atau golongan lain dengan tidak akan beruntung suatu hari nanti.
Akhir-akhir ini, seringkali kita temukan tulisan-tulisan di sosial media atau di portal berita yang menggelisahkan. Golongan A mengatakan golongan B sesat. Golongan B mengatakan golongan A sesat. Sesungguhnya, ketika satu golongan menghakimi golongan lain sesat, golongan itu sedang menunggu dihakimi sebagai sesat oleh golongan yang ia hakimi. Seperti kata pepatah, “bagai mendulang air terperciki muka sendiri”. Lalu, mau sampai kapan terus begini?
Kita tak bisa menghakimi orang lain selamanya akan berada di jalan yang sesat. Kita hanya bisa berserah diri dan meminta petunjuk pada Allah bagi diri kita sendiri dan bagi mereka yang berbeda. Urusan penghakiman ada pada Allah. Allah yang akan menerima taubat atau mengazab orang yang zalim. Kita tak tahu sedikit pun mengenai masa depan, orang yang memiliki kecenderungan jahat bisa saja berubah menjadi orang yang paling baik esok hari atau lusa. Semua orang memiliki potensi kebaikan, potensi ini tidak boleh kita bunuh dengan pelabelan dan penghakiman.
Perlu penulis luruskan, yang sedang penulis bicarakan mengenai kebiasaan kita menghakimi orang/golongan berdasarkan pemahaman dan pemikirannya. Tentu bagi orang/golongan yang secara terang-terangan melanggar ketentuan yang ma’ruf dan melakukan kemunkaran, kita perlu menindaknya dengan tegas.
Iman merupakan sebuah anugrah dan nikmat yang perlu kita syukuri. Iman bisa berkurang dan hilang. Maka seseorang bertanggung jawab atas imannya sendiri, bukan iman orang lain.
Allah berfirman pada Surat Al-An’am Ayat 159:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka terserah pada Allah. Kemudian Dia (Allah) akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”
Tentu maksud dari ayat ini bukan memberhentikan kita dari misi dakwah. Dakwah tetap berjalan, kita perlu mengajak orang berada di jalan Allah, melakukan hal ma’ruf, dan meninggalkan hal munkar. Yang perlu kita berhentikan adalah kebiasaan menghakimi yang menjadi hak prerogratif Allah. Wallahu a’alam bishawab.
This post was last modified on 16 Juni 2015 2:01 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments
Thought it woudln't to give it a shot. I was right.