Categories: Narasi

Realisme Kritis dan Moderatisme

Pada akhir abad ke-16 Galileo dinyatakan bersalah dan dikucilkan sampai mati oleh gereja karena menyatakan pendapatnya bahwa matahari adalah pusat tata surya yang berbeda dengan tafsir resmi gereja yang menyatakan sebaliknya. Atas fakta sejarah ini banyak orang kemudian menyimpulkan bahwa agama (iman) dan sains (pengetahuan) adalah dua kutub yang berseberangan atau bahkan mustahil untuk dipertemukan sebagaimana yang disimpulkan oleh Wittgenstein dengan konsep language game-nya, Foucault dengan episteme-nya, dan Thomas Khun dengan paradigm-nya. Konsekuensi atas tilikan Wittgenstein, Foucault, dan Kuhn tersebut adalah bahwa agama dan sains, atau pada kasus Galileo dan gereja, memiliki status dan validitas yang sama: sama-sama benar atau sama-sama salah.

Tapi Galileo tetap mati dan secara politis sains telah menelan kerugian, meskipun gereja merevisi pandangannya berabad-abad kemudian. Dari kisah Galileo ini orang dapat belajar tentang apa itu radikalisme yang juga sering disepadankan dengan fundamentalisme. Sikap gereja yang menutup diri dari sumber kebenaran lainnya adalah sebentuk radikalitas. Sementara sikap Galileo yang enggan merevisi pandangannya atas desakan gereja, yang kemudian berujung kematiannya, membuktikan bahwa sikap itu pun adalah sebentuk radikalitas. Dengan demikian pandangan Wittgenstein, Foucault, dan Kuhn, meski mengakui perbedaan, tetap menyisakan sebentuk radikalitas lainnya: keterisolasian identitas yang sebenarnya adalah hal yang tak mungkin mengingat adanya prinsip multiplisitas (Puasa, Multiplisitas, dan Sesama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Baca juga : Merawat Kebhinekaan di Era Digital

Pandangan yang terkesan lebih dialogis dikemukakan oleh aliran realisme kritis yang sebermulanya beranjak dari bidang filsafat sains. Sebagaimana Wittgenstein, Foucault, dan Kuhn, para penganut realisme kritis mengakui pula perbedaan prinsip masing-masing. Tapi, berbeda dengan mereka, para penganut realisme kritis menolak relativisme sebagai konsekuensi atas pemikiran mereka. Status sama-sama benar atau sama-sama salah adalah hal yang menyalahi logika. Dari prinsip inilah kemudian realisme kritis melahirkan konsep “kebenaran berjenjang” guna menolak relativisme yang otomatis akan mengarah pula pada radikalisme.

Seumpama pada kasus Galileo, seorang penganut realisme kritis akan berkesimpulan bahwa posisi Galileo adalah yang benar, meskipun posisi gereja tak pula sepenuhnya salah. Atau dengan kata lain, derajat kebenaran Galileo lebih tinggi dari derajat kebenaran gereja. Sebab Galileo lebih punya banyak bukti yang meyakinkan atas kesimpulannya tersebut. Pada titik ini berlakulah apa yang disebut sebagai “judgmental rationality” sebagai wahana untuk menghindari relativisme dan radikalisme.

Secara sederhana judgmental rationality adalah sebuah ruang dialog untuk secara bersama-sama menemukan kebenaran. Prinsip penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan, seperti yang tercermin dalam ungkapan klise toleransi semisal “Saya menghormati Anda,” jelas sama sekali tak menjawab persoalan ketika secara terbuka masing-masing pihak menginginkan kebenaran. Anda benar dan saya pun juga tak salah, sejatinya adalah sebentuk kecacatan logika atau hal yang sama sekali tak mungkin, apalagi ketika hidup di tengah realitas yang majemuk di mana persinggungan di antaranya adalah sebuah keniscayaan. Atau justru dapat dibaca bahwa sikap yang tiba-tiba menghargai dan menghormati adalah tanda bahwa masing-masing orang secara bawah sadar tak menghendaki adanya kemajemukan yang laksana bom waktu yang tiba-tiba meletup ketika mendapatkan momennya. Seandainya hal ini yang terjadi, maka masing-masing orang mesti mempertanyakan kembali komitmennya pada kebenaran.

Esensi judgmental rationality adalah sebuah perdebatan atau upaya untuk meyakinkan orang lainnya tentang kebenaran yang dianutnya. Hal ini perlu ditempuh agar tak jatuh pada relativisme dan keengganan berdialog atau berdebat untuk menemukan kebenaran seperti yang tampak dalam ungkapan “Saya menghormati Anda.” Ketika masing-masing pihak terbuka terhadap kebenaran orang lainnya dan mengkonfrontirnya dengan kebenaran yang dianutnya, maka relativisme akan pecah melalui dialog dan potensi radikalisme akan melentur dengan nalar dan pemahaman baru. Tentu, dalam hal ini, kebenaran pada akhirnya adalah soal keluasan wawasan dan kedalaman pengetahuan. 

This post was last modified on 18 Juni 2020 1:19 PM

Heru harjo hutomo

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

10 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

10 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

10 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago