Narasi

Redefinisi “Toleransi Atas Nama Menghormati” di Bulan Suci

Bagi sebagian orang, toleransi mungkin dianggap seagai terminologi sosial. Tapi dalam konteks kita sebagai warga negara, toleransi adalah laku hidup. Namun rupanya parade intoleransi justru banyak tersaji di bulan suci. Di bulan Ramadhan, orang mengeluarkan sesumbar, yang puasa itu harus dihormati, dihargai, dan sebagainya. Sebagian dari kita menuntut kelompok yang tidak puasa untuk menghormati yang puasa atas dasar toleran. Tuntutan ini salah satunya mewujud dalam bentuk perda-perda syariah.

Memang semakin ke sini, intensitas eksekusi perda syariah semakin minim. Namun nyatanya, semangat yang mendasari hadirnya perda itu masih menghantui masyarakat plural di Indonesia di bulan yang harusnya penuh berkah bagi semua kalangan ini. Perda-perda syariah ini rupanya masih ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Perda yang hanya berlaku pada bulan Ramadhan ini, misalnya, sudah eksis sejak bertahun-tahun yang lalu dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mulai dari Banten, Jawa Tengah, Lombok, hingga keluar Jawa, seperti Kalimantan Selatan.

Peraturannya juga bervariasi, ada yang mewajibkan menutup warung dari jam 5 pagi hingga jam 5 sore, ada pula yang memperbolehkan warung tetap buka, asal tertutup gorden. Tentu, kita sering saksikan di berita-berita mainstream mengenai penggerebekan sejumlah warung makan yang membuka warungnya di tengah puasa oleh pihak berwajib. Itulah yang kemudian mengundang pro dan kontra dari berbagai lini masyarakat.

Terlepas dari boleh tidaknya warung makan beroperasi saat hari-hari berpuasa, ada sekian alasan yang harus dipertimbangkan jika memang tetap bersikukuh untuk melarang membuka warung makan. Pertama adalah mengenai perputaran roda ekonomi. Benar jika hendak mengatakan, “kan bisa membuka warung saat menjelang berbuka hingga malam hari?” Namun, siapa yang mengetahui rejeki setiap manusia?

Bisnis warung makan, terutama warung makan kecil-kecilan, merupakan bisnis yang biasanya dijalankan oleh ibu-ibu. Mereka seringkali mengandalkan penghasilan dari warung makan itu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, di samping mereka juga harus menabung untuk kepentingan lebaran dan memenuhi kebutuhan saat pandemi ini, misalnya. Di tengah krisis kesehatan dan ekonomi seperti sekarang ini, agak tidak masuk akal rasanya jika pergerakan ekonomi mereka dibatasi.

Kemudian ada yang berkata, “baiklah, tapi warung makan tersebut berpotensi mengganggu konsentrasi ibadah puasa umat Muslim.” Nah, di sinilah kemudian poin kedua, yaitu menguji ketahanan iman dan komitmen muslim untuk berpuasa. Seperti yang kita ketahui, tujuan berpuasa ialah menahan diri dari (menuruti) hawa nafsu dan godaan. Jikapun makanan termasuk sesuatu yang menggoda dan memancing hawa nafsu, maka justru di situlah tantangan sesungguhnya! Seberapa kuat, sih, kita berpuasa ketika aroma rendang menusuk penciuman? Seberapa tangguh puasa kita saat mendengar denting sendok dan mangkuk penjual es cendol?

Tidak perlu khawatir, Allah akan memberi pahala yang sepadan tergantung seberapa payah seseorang dalam beribadah. Seperti halnya jumlah langkah seorang muslim ke masjid, makin jauh jaraknya, makin banyak pahalanya. Sama juga dengan saat berpuasa, semakin banyak godaannya, semakin teruji kualitas iman, semakin banyak Allah berikan pahala untuk kita.

Selain itu, puasa merupakan lahan kita untuk mengasah empati bagaimana perasaan saudara-saudara kita yang fakir miskin, yang bekerja banting tulang hanya demi sesuap nasi. Hal itu supaya kita mampu bersyukur dan tergugah untuk menolong sesama. Bagaimana kita menemukan empati itu ketika perda-perda “syariah” justru semakin memanjakan kita dalam beribadah.

Kaum fakir miskin, setiap hari, tidak hanya Ramadhan, hanya berjalan melewati berbagai warung makan dan restoran, mereka hanya bisa menelan ludah sembari melihat menu-menu yang lezat tersaji di balik etalase. apakah mereka berpikir untuk menutup warungnya? Tidak! Justru kitalah yang harus berempati, bagaimana mengontrol diri dalam ketidakmampuan. Dari fenomena ini, perda-perda tersebut seakan tidak mempertimbangkan aspek empati, dan hanya melihat dari sisi kepentingan umat Islamnya saja.

Itulah kemudian yang mengantar kita pada pertimbangan ketiga, yaitu toleransi. Ada sebuah cerita singkat mengenai seorang Tionghoa yang kebingungan mencari makanan saat bulan puasa, warung padang tutup, kedai batagor tutup, warung nasi rames tutup. Ia merasa kesal karena ia tidak ikut berpuasa, ia tidak ikut beribadah namun ia merasakan laparnya. Hingga hampir satu jam ia terlontang-lantung di jalanan sebelum ia menemukan ada sebuah gerobak bakso Malang lewat di seberang jalan. Tukang bakso Malang tersebut terlihat senang akan kehadiran calon konsumen yang tidak ia temui sejak ia berkeliling, pun dengan orang Tionghoa tadi yang akhirnya menemukan makanan.

Lalu tiba-tiba datanglah seorang Pak Haji, yang mungkin telah mengawasi dari jauh, ia berkata, “dasar kamu mempermalukan pribumi, siang-siang puasa begini masih jualan bakso, tidak tahu sekarang bulan Ramadhan?” ia memaki-maki sembari menendang gerobak bakso sambil hampir terguling.

Penjual bakso Malang tadi ketakutan, ia bergegas pergi dalam kepanikan tanpa sempat menagih uang dari orang tionghoa yang membeli baksonya. Apakah realitas semacam ini yang diharapkan dari perda-perda “syariah”? Mengapa di bulan yang mulia ini kita justru menghardik orang lain, yang bisa jadi orang tidak mampu sehingga ia harus berjualan dari pagi. Mengapa di bulan yang penuh berkah ini, kita justru memaksakan orang-orang non-muslim untuk ikut merasakan kelaparan? Saya tidak melihat toleransi itu dalam perda-perda ini. Saya tidak melihat rasa empati dari pak Haji yang mencecar tukang bakso Malang tadi.

Benarkan perda itu dibangun atas dasar nilai toleransi di mana hanya umat Islam saja yang mendapat kemanfaatannya? Hal ini kiranya perlu untuk dikaji ulang. Toleransi itu membiarkan warung makan buka saat puasa sehingga rezeki mereka tetap mengalir dari orang-orang yang tidak puasa, sekaligus memudahkan mereka untuk tetap menjalani hari seperti biasa.

Toleransi adalah memikirkan hak orang-orang non-muslim untuk tetap mendapatkan kehidupan normal mereka, membeli sarapan, makan siang saat jam kantor, atau meng-order go food jika diperlukan. Toleransi tidak mengekang dan menciderai hak-hak non-Muslim dengan memaksa mereka untuk menyesuaikan keadaan umat Muslim. Menutup sejumlah warung makan tentu tidak sejalan dengan semangat toleransi itu.

Bagaimana bisa umat Islam terlena dalam ibadah puasa, namun di luar sana banyak orang non-muslim kebingungan mencari mana warung makan yang buka, para ibu-ibu hamil, para musafir, orang-orang tua yang mungkin membutuhkan warung makan karena tidak mempunyai stock makanan di rumah.

Poin keempat, dan terakhir, yang mungkin sangat penting dan menjadi penyakit yang justru kita rawat selama ini, adalah playing victim. Apa maksutnya? Kita jarang mau menengok ke dalam diri, melakukan introspeksi dan refleksi, lalu bertanya: apa yang salah? Bisakah diperbaiki? Bagaimana caranya?

Alih-alih menyadari kesalahan diri, kita justru sibuk menyalahkan pihak lain. Alih-alih belajar menahan hawa nafsu, kita malah menuntut “pihak lain” yang mengganggu nafsu kita untuk hilang sementara. Sedikit mirip dengan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual. Seringkali kita menyalahkan perempuan, sebagai korban perkosaan, karena pakai baju begini begitu, jalan sendirian di malam hari, di tempat sepi, dan sebagainya. Padahal, korban perkosaan juga banyak yang berbaju rapat dan longgar serta berperilaku sopan. Intinya, kesalahan bukan berada di kita, melainkan datang dari luar (eksternal).

Sama halnya dengan puasa, kita menggunakan tameng “toleransi”, dengan menutup warung makan, untuk menutupi kelemahan kita dalam menjaga hawa nafsu. Alih-alih menjaga diri, kita justru mempermasalahkan restoran dan warung-warung yang beroperasi di tengah-tengah bulan puasa. Budaya ini sepertinya telah mengakar di Indonesia, jika anak jatuh, lantainya yang disalahin, jika kepentok meja, mejanya yang dibilang nakal. Pun ketika Muslim merasa tergoda dengan makanan, warung-warung itu yang dikambinghitamkan.

kita sering sekali mengucapkan marhaban ya ramadhan untuk menyambut bulan suci ini. Marhaban bukan hanya berarti ucapan selamat datang. Ia berakar dari kata rahb yang berarti “luas” atau “lapang”. Maka, marhaban ya ramadhan dapat pula dimaknai sebagai kelapangan hati menyambut bulan Ramadan. Bagaimana contohnya? Tentu saja dengan tidak menggerutu hanya karena siang-siang yang panas, lapar, haus, lalu ditambah dengan keberadaan warung makan buka saat puasa. Semoga iman dan taqwa kita benar-benar diasah dalam kesempatan bulan Ramadhan tahun ini, aminWallahu a’lam bisshawab.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago