Narasi

Refleksi Harkitnas; Redefinisi Kebangkitan Islam di Tengah Fenomena Banalitas Keagamaan

Salah satu fenomena menarik dalam lanskap keberagaman Indonesia pasca Reformasi adalah perubahan perilaku beragama di kalangan umat Islam. Reformasi membuka ruang bagi ekspresi keberislaman baru yang di era Orde Baru nisbi tidak mendapatkan tempat di ruang publik. Reformasi membuka ruang bagi gelombang islamisasi gaya hidup.

Fenomena islamisasi gaya hidup ini tampak pada mewabahnya tren busana muslim, kajian-kajian keagamaan di kalangan kelas menengah, produk halal, kenaikan jumlah jamaah umrah dan haji, dan sejenisnya. Di satu sisi, keberislaman kita mengalami peningkatan drastis secara kuantitas.

Ironisnya, peningkatan kuantitas keberagamaan di kalangan muslim itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas. Bahkan, sebaliknya secara kualitas, perilaku keberagamaan di kalangan umat Islam Indonesia cenderung mengalami deflasi alias penurunan. Gejala deflasi kualitas beragama di kalangan umat Islam ini tampak dari sejumlah fenomena.

Antara lain mewabahnya perilaku intoleransi ke umat agama minoritas. Bahkan, meningkatnya fenomena kekerasan dan teror mengatasnamakan jihad Islam.

Sosiolog dsn antropolog Martin van Bruinessen, dalam sebuah artikelnya menyebut bahwa fenomena islamisasi di Indonesia cenderung mengarah pada banalitas atau kedangkalan umat dalam memahami ajaran agamanya. Martin mengidentifikasi sejumlah gejala banalitas beragama itu. Antara lain, tampak pada kian tekstualisnya umat beragama, khususnya Islam dalam memahami ajaran agamanya. Hal ini bisa kita lihat dari semakin banyaknya umat Islam yang memahami teks keislaman secara harfiah dan tidak berusaha mengkontekstualisasikan dengan kondisi zaman.

Gejala lainnya adalah menguatnya perilaku simbolisme beragama. Umat Islam menjadi gemar sekali mengumbar simbol agama di ruang publik. Namun, di saat yang sama, banyak umat Islam justru lupa pada inti atau esensi ajaran agama itu sendiri. Banalitas keagamaan ini lantas menyisakan sejumlah residu persoalan. Yakni konservatisme dan radikalisme. Konservatisme beragama mewujud pada perilaku umat Islam yang di satu sisi makok saleh dan taat beragama, namun di sisi lain justru bersikap intoleran terhadap kelompok agama lain.

Sedangkan radikalisme agama mewujud pada eskalasi teror dan kekerasan yang mengancam keamanan dan stabilitas nasional. Residu banalitas keagamaan ini bisa dicegah dengan meredefinisi apa hakikat kebangkitan agama. Selama ini, kita kerap salah kaprah dalam memahami makna kebangkitan agama.

Sebagian kalangan muslim masih mendefinisikan makna kebangkitan agama sebagai hadirnya simbol keagamaan di ruang publik. Islam dikatakan mengalami kebangkitan jika jumlahnya umatnya terus bertambah, masjidnya megah, perempuan berjilbab dimana-mana, acara keagamaan ramai sesak pengunjung, umroh dan haji antre panjang, dan fenomena sejenis.

Padahal, di balik euforia itu kita masih kerap melihat kemiskinan, kebodohan, dan kekerasan menjadi panyakit akut di kalangan umat Islam.

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional idealnya menjadi momentum untuk mendefinisikan ulang apa hakikat kebangkitan beragama. Bahwa kebangkitan Islam bukan sekedar direpresentasikan ke dalam anga statistik jumlah umat Islam atau bangunan masjid mewah. Tidak juga dalam ekspresi simbolik umat Islam di ruang publik.

Kebangkitan Islam idealnya dimaknai sebagai munculnya kesadaran kebangsaan di kalangan umat Islam. Umat Islam harus memahami bahwa sebagai bangsa Indonesia kita tidak hanya dibentuk oleh identitas agama, namun juga oleh identitas yang lain, seperti suku, ras, dan sebagainya.

Kesadaran akan pluralitas itu idealnya juga dibarengi dengan munculnya kesadaran bahwa sebagai bangsa kita disatukan oleh sejarah dan masa lalu yang sama.

Memaknai ulang hakikat kebangkitan agama penting dilakukan. Terutama di tengah fenomena banalitas keagamaan. Dengan begitu, umat Islam tidak akan mudah diadu-domba oleh narasi-narasi konservatisme dan radikalisme.

Dalam konteks yang lebih spesifik, Harkitnas yang diperingati saban tanggal 20 Mei kiranya juga bisa membangkitkan komitmen terhadap nasionalisme inklusif. Yakni pandangan kebangsaan yang mengakui adanya keragaman agama dan kultural. Nasionalisme inklusif perlu diperkuat di tengah arus deras ideologi transnasionalisme yang berusaha mengganti dasar dan konstitusi negara.

Lahirnya pergerakan Boedi Oetomo yang menjadi tinggal dimulainya revolusi kemerdekaan, pada dasarnya adalah perwujudan atas gagasan nasionalisme inklusif. Warisan gerakan Boedi Oetomo itulah yang harus dikembangkan oleh umat Islam hari ini.

Nurrochman

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

9 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

9 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

9 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago