Narasi

Rekonsilasi di Bulan Suci; Belajar dari Peristiwa Fathu Makkah

Rekonsilasi menjadi kata paling populer belakangan ini. Di masa setelah kontestasi politik praktis berakhir, rekonsiliasi menjadi semacam mantra ampuh yang didengungkan banyak pihak. Memang, rekonsilasi adalah jalan mengakhiri konflik sosial atau politik. Namun, rekonsilasi seperti apa yang bisa mengakhiri gesekan sosial di masyarakat?

Selama ini, kita kerap disuguhi narasi rekonsiliasi palsu. Yakni rekonsiliasi yang hanya terjadi di level elite saja, tanpa menyentuh kelompok akar rumput. Rekonsiliasi semu itu lantas melahirkan kerukunan yang juga semu.

Di level atas, para elite politik yang awalnya berseberangan telah ada dalam satu barusan. Namun, cilakanya di level akar rumput, masyarakat masih terjebak dalam polarisasi yang seolah tanpa ujung.

Membincangkan isu toleransi, Islam melakukan Rasulullah sebenernya telah mencontohkan bagaimana terwujudnya rekonsiliasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat baik elite maupun akar rumput. Yakni melalui peristiwa Fathu Makkah atau penaklukan kota Mekkah.

Fathu Makkah barangkali merupakan peristiwa rekonsiliasi terbesar dalam sejarah umat manusia. Bagaimana tidak? Kala itu, di penghujung bulan suci Ramadan pada tahun ke-8 Hijriah, Nabi Muhammad memimpin 10 ribu pasukan untuk menaklukkan kota kelahirannya tersebut. 10 ribu tentara tentu bukan jumlah sedikit, bahkan untuk ukuran saat ini pun.

Kedatangan 10 ribu pasukan yang siap menaklukkan Mekkah itu membuat kelompok Quraisy mengalami ketakutan luar biasa. Mereka beranggapan hari iru akan menjadi “yaumul malhamah” alias hari pembantaian.

Fathul Makkah Sebagai Yaumul Marhamah

Namun, ketakutan massal kaum Quraisy itu ditepis oleh Nabi Muhammad sendiri. Ia mengatakan bahwa hari itu tidak akan menjadi yaumul malhamah, melainkan yaumul marhamah alias hari kemuliaan.

Rasulullah sendiri yang menyerukan pada pasukannya bahwa mereka harus melindungi seluruh warga Mekkah atau kelompok Quraisy.

Ketika pasukan berhasil memasuki Mekkah, Rasulullah pun berseru bahwa siapa yang berlindung di masjid, atau di rumah Abu Sufyan (tokoh penting Qurais-Mekkah), atau di rumah sendiri, maka akan dilindungi dan

Para sejarawan menyebutkan bahwa ada setidaknya tiga alasan. Pertama, Mekkah adalah tanah kelahiran Nabu Muhammad, dimana keluarga dan kerabat juga tinggal di kota tersebut. Kedua, menghormati bulan suci Ramadan. Ketiga, wujud sifat Rasulullah yang welas asih dan cinta perdamaian.

Fathu Makkah tidak diragukan merupakan peristiwa rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah Islam, atau bahkan sejarah umat manusia. Pesan perdamaian yang terkandung di dalamnya tentu relevan untuk segala zaman.

Meneladani Sikap Welas Asih Rasulullah

Maka, penting kiranya umat Islam Indonesia hari ini belajar dari peristiwa Fathul Makkah. Polarisasi dan segregasi sebagai residu kontestasi politik terutama Pilpres 2024 bisa dibersihkan manakala seluruh elemen masyarakat mau membuka pintu rekonsiliasi.

Keteladanan Nabi Muhammad yang melindungi warga Makkah, padahal berada dalam posisi menang, layak ditiru oleh para elite politik kita hari ini. Demikian pula, sikap pasukan muslim yang patuh pada perintah Rasulullah untuk tidak melukai warga Mekkah juga patut dicontoh. Memang sudah seharusnya demikian. Jika para elite sudah berdamai dan melakukan rekonsiliasi, masyarakat akar rumput seharusnya tinggal mengikutinya saja. Mudah, bukan?

Bulan suci Ramadan kiranya menjadi momentum yang tepat untuk mewujudkan rekonsiliasi kebangsaan. Puasa Ramadan sebenarnya sarat akan nilai-nilao rekonsiliasi. Dalam puasa Ramadan, manusia belajar sabar dan ikhlas. Puasa Ramadan juga sarana belajar menahan diri dari perilaku destruktif.

Sabar dan ikhlas merupakan kunci rekonsiliasi. Rekonsilasi yang sesungguhnya hanya bisa terwujud manakala semua pihak mennunjung tunggu sikap ikhlas (altruistik). Rekonsiliasi adalah proses perdamaian tanpa syarat, dimana semua pihak memiliki kesadaran untuk saling memaafkan dan mengubur dendam masa lalu.

Nabi Muhammad sudah mencontohkan pada peristiwa Fathul Makkah. Lantas, mampukah umat Islam Indonesia hari ini mampu meneladaninya? Disinilah pentignya umat Islam membangun kesadaran bahwa Indonesia ini merupakan tanah kelahiran dan tempat tinggal kita yang harus dijaga. Di saat yang sama, kita juga wajib menghormati bulan puasa dan tidak merusak kesuciannya dengan tindakan-tindakam destruktif.

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

2 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

2 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

2 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

1 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

1 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

1 hari ago