Narasi

Residu HTI, Gejala Eskapisme dan Literasi Kebangsaan

Lanskap keberagamaan di Indonesia pasca berakhirnya Orde Baru mengalami perubahan cukup signifikan. Sebelum era Reformasi, Indonesia kerap diidentikkan sebagai negara muslim terbesar yang berkarakter moderat, toleran dan inklusif. Di dunia internasional, Indonesia kerap digadang sebagai contoh ideal perpaduan antara modernisme dengan Islam. Namun, wajah Islam Indonesia itu perlahan mengalami perubahan pasca bergulirnya era Reformasi. Iklim kebebasan dan keterbukaan ruang publik yang diembuskan oleh angina Reformasi tampaknya tidak hanya mengubah dinamika sosial-politik nasional, melainkan juga berdampak pada perubahan corak keberislaman yang berkembang di Indonesia.

Pasca Reformasi, kita menyaksikan sendiri bagaimana ideologi islamisme tumbuh subur di ruang publik kita. Tidak hanya mewujud dalam ekspresi pemakaian simbol Islam di muka umum, fenomena islamisme juga mengemuka di ranah politik praktis dengan munculnya tuntutan atas formalisasi syariah. Dibaca dalam perspektif yang lebih luas, agenda formalisasi syariah pada dasarnya merupakan bagian dari skenario besar mengubah ideologi NKRI menjadi negara islam (daulah islamiyyah) yang bercorak monarki-absolut. Agenda formalisasi syariah dan pendirian negara Islam di Indonesia itu diamplifikasi oleh sejumlah ormas Islam. Salah satu yang paling getol ialah Hizbut Tarir Indonesi alias HTI.

Baca juga : Khilafah dan Problem Imortalitas Ideologi

Kini, HTI sebagai organ penting gerakan khilafah di Indonesia memang telah dilarang pemerintah melalui Perppu Nomor 02 Tahun 2017 tentang Ormas. Kita patut akui bahwa dikeluarkannya Perppu tersebut merupakan bukti komitmen pemerintah dalam memberantas ideologi transnasional yang bertentangan dengan falsafah negara, yakni Pancasila dan bentuk negara kebangsaan, NKRI. Meski demikian, harus diakui bahwa pelarangan HTI melalui Perppu Ormas tidak lantas menganulir penyebaran ideologi khilafah. HTI tidak diragukan telah melahirkan residu alias ampas-ampas yang masih saja membuat ulah dan merongrong NKRI. Terakhir, para residu HTI ini berusaha mempropagandakan ideologinya melalui film dokumenter bertajuk “Jejak Khilafah di Nusantara” yang disebarluaskan melalui kanal medsos YouTube. Film berisi manipulasi sejarah itu lantas ditakedown oleh pihak YouTube, lantaran kencangnya kontroversi yang mengitarinya.

Strategi Kamuflase Gerakan Khilafah

Segala macam propaganda gerakan khilafah bahkan yang dilakukan dengan memanipulasi fakta sejarah pada dasarnya merupakan wujud dari gejala eskapisme di kalangan mereka sendiri. Secara sederhana, eskapisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau pandangan yang enggan menghadapi persoalan secara langsung, alih-alih mengemukakan hal di luar subtansi persoalan. Gejala eskapisme ini tampak jelas dipertontonkan oleh para pengusung ideologi khilafah. Bayangkan saja, apa pun persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia, kelompok pengusung khilafah selalu memiliki solusi yang sama; yakni menegakkan syariah Islam melalui pemerintahan khilafah islamiyyah. Ibaratnya, apa pun jenis penyakitnya, obatnya hanya satu macam, yakni khilafah.

Pola pikir yang demikian ini sungguh aneh. Bagaimana tidak? Bangsa Indonesia saat ini menghadapi berbagai macam persoalan terkait sektor ekonomi, pendidikan, hukum, politik, dan persoalan sosial, budaya dan keagamaan lainnya. Masing-masing bidang persoalan tentu membutuhkan pendekatan dan solusi yang berbeda-beda. Menawarkan satu solusi praktis, yakni khilafah bagi semua persoalan kebangsaan ialah bagian dari kemalasan berpikir dan gejala eskapisme yang akut. Ideologi khilafah yang selalu menjual romantisme sejarah kejayaan masa lalu memang tampak gagah di wacana maupun retorika. Namun, dalam konteks praksis di lapangan, ideologi khilafah terbukti tidak menawarkan solusi apa pun, alih-alih hanya menambah keruh persoalan.

Gejala eskapisme kaum pengusung khilafah ini dapat diidentifikasi dari karakter mereka yang gemar mempraktikkan Teknik kamuflase dalam setiap pergerakannya. Terlebih, pasca dibubarkannya HTI, para pengusung ideologi khilafah lantas berkamuflase menjadi beragam bentuk, menyusup ke berbagai organisasi masyarakat-keagamaan maupun melakukan kegiatan di bawah tanah (klandestin). Mekanisme kamuflase ini dipakai untuk mengelabuhi pemerintah dan masyarakat yang belakangan meningkatkan kewaspadaan sekaligus menutup ruang gerak para pengusung ideologi khilafah. Salah satu bentuk kamuflase tersebut ialah terbentuknya Komunitas Royyatul Islam (Karim) yang secara ideologis merupakan hasil metamorfosis dari HTI.

Urgensi Literasi Kebangsaan

Pelarangan HTI melalui Perppu Ormas Nomor 02 Tahun 2017 tentu patut diapresiasi sebagai

 langkah tegas pemerintah menghalau penyebaran ideologi khilafah. Namun, kita harus menyadari sepenuhnya bahwa upaya memberantas ideologi menyimpang tidaklah semudah dan sesederhana membubarkan sebuah ormas. Ideologi khilafah dipastikan tetap ada meski organisasi penyokongnya telah dibekukan oleh pemerintah. Disinilah letak pentingnya literasi kebangsaan, yakni kemampuan untuk menggali dan mengenali nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki demi menghadapi persoalan di semua lini kehidupan.

Dalam sebuah pidatonya, Bung Karno pernah menyebut bahwa salah satu faktor mengapa Indonesia masih tegak berdiri ialah lantaran dimensi kebangsaannya yang kokoh. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, dimensi kebangsaan Indonesia terbilang unik. Bangsa Indonesia tidak lahir karena kesamaan etnis, bahasa, budaya, warna kulit maupun agama. Namun, bangsa Indonesia lahir dari latar belakang sejarah dan imajinasi masa depan yang sama. Pengalaman akan kolonialisme dan cita-cita pada kemerdekaan melahirkan solidaritas kebangsaan yang mampu melampaui perbedaan suku, agama dan ras. Spirit kebangsaan inilah yang perlu kita gali dan sebarkan kembali, utamanya di kalangan generasi muda. Salah satu tujuannya ialah menutup celah bagi kaum pengusung khilafah dalam menyebarkan ideologinya.

Pasca pembubaran HTI, pemerintah dan masyarakat tentu tidak bisa lantas begitu saja berpuas diri apalagi berpangku tangan merasa ideologi khilafah telah tiarap. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat harus mengambil langkah lanjutan, guna menangkal segala upaya kamuflase gerakan khilafah. Menolak ideologi khilafah tidak bisa dilakukan dengan cara pasif. Seluruh komponen bangsa harus bergerak aktif untuk mengidentifikasi setiap gerakan yang berpotensi menimbulkan ancaman terhadap eksistensi negara, terlebih lagi ideologi khilafah.

This post was last modified on 26 Agustus 2020 5:19 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

17 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago