Tahun 2020 akan segera berakhir. Tinggal menghitung hari, segenap masyarakat dunia, khususnya Indonesia akan menyongsong tahun baru 2021. Lembaran baru sebagai refleksi dan resolusi tahun berikutnya merupakan langkah yang harus ditempuh oleh bangsa ini.
Diantara peristiwa yang terjadi pada tahun 2020 yang patut dijadikan sebagai sebuah refleksi sebagai pelajaran untuk tahun 2021 adalah merebaknya narasi intoleransi dan kebencian di dunia maya. Nilai-nilai keagamaan yang hakiki dan kebangsaan yang luhur semakin luntur. Yang ada tinggal rasa curiga, kebencian dan hal-hal lain yang mengancam persaudaraan dan persatuan.
Perdebatan yang telah usang kembali mencuat bak ‘komoditi’ musiman yang selalu laku untuk dijual. Lihat saja bagaimana media sosial hari ini masih gencar mempertentangkan antara keislaman dan ke-Indonesiaan. Fenomena ini sekaligus mempertegas pandangan sebagian orang, bahwa ternyata tidak mudah menjadi Islam dan Indonesia sekaligus.’
Dan yang paling menggemaskan adalah, penetapan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang mengakomodir semua golongan, tidak serta-merta meredam perdebatan bentuk dan ideologi apa yang harus dipakai republik ini (Deni Gunawan, 2019: 9-11).
Lebih-lebih dewasa ini, isu kebangsaan dan keagamaan digoreng sedemikian rupa sehingga menyerupai komoditi politik. Politisasi itulah yang pada gilirannya memperburuk semuanya.Sesama anak bangsa stag pada perdebatan yang tidak produktif. Ironisnya lagi, narasi intoleransi dan kebencian turut menghiasi ruang-ruang dunia maya.
Perekat sosial sudah nyaris tidak diindahkan lagi oleh sebagian bangsa ini, terutama di media sosial. Berbeda sedikit tentang segala sesuatu, dengan mudah keluar kata-kata kasar, rasis dan lain sebagainya. Menyedihkan, tapi itulah realitas media sosial saat ini. Tentu hal demikian sangat tidak baik bagi bangsa ini.
Medsos Berpotensi Semai Bibit Intoleransi
Sri Yanuarti, peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa media sosial (medsos) berdampak besar dalam menyemai bibit intoleransi (antaranews, 15/11/2018).
Bahkan Yanuarti juga menegaskan bahwa perilaku intoleransi bisa lahir dari narasi di media sosial. Artinya, ruang maya bisa menjadi penyebab tindakan atau menjadi inspirasi untuk bertindak di dunia nyata. Oleh karena itu, pemerintah beserta seluruh elemen bangsa ini harus bahu membahu untuk membersihkan narasi intoleransi dan caci-maki ndi dunia maya (medsos).
Intoleransi dan caci-maki di dunia maya atau di media sosial sangat berbahaya dan menjadi persoalan pelik karena beberapa hal.
Pertama, media sosial merupakan saluran baru. Ruang baru ini bukan sekedar alat atau tren zaman, melainkan keniscayaan bagi generasi millenial. Kedua, jangkauannya sangat luas. Narasi intoleransi dan caci-makian di media sosial sangat mengkhawatirkan karena jangkauan media sosial sangat luas dan bahkan konten tersebut bisa diakses dan dibaca tanpa mengenal ruang dan waktu.
Ketiga, mampu mempengaruhi seseorang dengan sangat efektif. Konten-konten di media sosial gampang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang notabene tingkat literasinya masih rendah. Narasi intoleransi yang dibumbui dengan materi yang dapat menyentuh hati dan emosi, bisa dengan mudah dianggap sebagai sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan sekalipun itu sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai agama dan lainnya.
Menebar Benih Toleransi, Memperkuat Eksistensi NKRI
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang jitu untuk membendung narasi intoleransi dan caci-maki yang mudah terlontar dan viral di media sosial. Setidaknya ada beberapa cara atau langkah yang harus ditempuh agar media sosial tidak dipenuhi oleh narasi intoleransi dan ajang caci-maki.
Pertama, meneguhkan nilai-nilai kebangsaan. Disaat emosi dan ego sektoral yang dominan, maka nilai-nilai kebangsaan harus diteguhkan dan diperkuat karena dengan cara ini, riak-riak intoleransi, individualisme dan anarkisme akan hilang. Yang ada tinggalkan kita sebagai bangsa Indonesia, bukan aku atau mereka.
Jika nilai kebangsaan mengajarkan kepada kita semua akan sebuah persatuan dan kesatuan, dimana sekat-sekat golongan, agama, ras dan lainnya akan sirna. Kesamaan nasib; sama-sama dijajah merupakan salah satu nilai utama kebangsaan itu yang melahirkan sebuah persatuan dan kekuatan besar. Nilai-nilai inilah yang harus terus di rawat, utamanya di media sosial agar media sosial tidak menjadi alat untuk memunculkan benih intoleransi.
Kedua, menebar benih toleransi. Bagaimana pun juga, masih banyak masyarakat Indonesia yang perlu bimbingan. Dalam kondisi ini, diperlukan sosok teladan yang mampu membimbing masyarakat untuk terus merawat nilai-nilai luhur bangsa. Cara yang paling logis dan praktis adalah menebar benih toleransi di media sosial.
Jika ruang medsos dipenuhi oleh konten-konten yang mengutamakan dan menguatkan intregasi tanpa adanya sekat-sekat agama dan lain sebagainya, maka masyarakat akan turut memiliki sikap dan pandangan yang toleran.
Ketiga, menggemakan slogan ‘Pancasila adalah Kita’. Tingkah dan pola pikir manusia Indonesia yang masih ‘lestari’ dari sebelum merdeka hingga saat ini adalah berdebat seputar ‘saya yang paling benar’. Tak dapat dipungkiri bahwa hal itu juga terjadi di media sosial kita.
Memang dalam konteks tertentu, perdebatan tersebut dapat dimaklumi sebagai bagian dari konsekuensi atas segala keragaman yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia masih memiliki Pancasila sebagai perekat kebangsaan di antara berbagai kebhinekaan yang ada.
Pancasila bukan sekedar ideologi dan dasar negera Indonesia, melainkan ia adalah rumah besar bagi seluruh bangsa ini, yang memang didesain untuk menampung segala macam bangsa dan keyakinan di dalamnya. Tegas kata, Pancasila adalah kita, kita yang beraneka-ragam itu, secara ikhlas, sadar dan mufakat mengikrarkan untuk hidup berdampingan menuju masyarakat yang ber-Tuhan dan berkeadilan.
Pandangan inklusif di atas harus digemakan di media sosial dengan maksud untuk mengedukasi masyarakat luas sekaligus sebagai cara untuk melakukan counter narasi atas kelompok intoleran sehingga Indonesia benar-benar akan damai, rukun dan tentram tanpa caci-maki. Inilah resolusi tahun 2021.
This post was last modified on 28 Desember 2020 1:35 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…