Narasi

Retrospeksi Tahun 2022; Melihat Transformasi Gerakan Radikal dan Proyeksinya ke Depan

Lembaran tahun 2022 akan segera ditutup. Berganti lembar baru tahun 2023. Inilah waktunya kita melakukan retrospeksi. Yakni melihat kembali apa yang terjdi selama setahun belakangan dengan tujuan melakukan evaluasi.

Menengok ke belakang, situasi kebangsaan di tahun 2022 begitu dinamis namun menjanjikan. Dari sisi ekonomi, kita berhasil keluar dari lubang jarum krisis yang diakibatkan pandemi. Dari sisi politik, harus diakui bahwa polarisasi di tengah masyarakat masih tajam.

Sedangkan dari sisi keagamaan, problem terkait radikalisme tampaknya masih menjadi ancaman bersama. Dalam konteks yang lebih detil, kita bisa melihat bagaimana fenomena radikalisme ini mengalami transformasi. Hal ini bisa kita lihat dari menurunnya aksi teror dan kekerasan atas nama agama di tahun 2022. Meski ada sejumlah peristiwa teror, namun tampaknya hal itu tidak direncanakan secara rapi dan hanya dilakukan oleh jaringan-jaringan kecil.

Meski demikian, apakah hal itu lantas dapat diartikan bahwa radikalisme telah benar-benar bangkrut? Tampaknya kita tidak boleh terburu-buru dalam mengambil kesimpulan itu. Jika dilihat secara obyektif, radikalisme belum benar-benar bangkrut. Alih-alih itu, mereka justru tengah menerapkan strategi baru yang lebih berorientasi jangka panjang namun tidak kalah berbahayanya dengan aksi teror dan kekerasan.

Pergeseran Strategi Kaum Radikal-Teroris

Kaum radikal seolah menyadari bahwa gerakan frontal mereka melalui aksi teror dan kekerasan tidak efektif dalam merebut kekuasaan. Hal ini terjadi karena aparat keamanan yang sigap membongkar dan memberangus jaringan teror. Nyaris tanpa lelah, selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu aparat kepolisian dibantu TNI bekerja memburu kelompok ekstrem-teroris. Alhasil, kaum radikal pun kehilangan manuver untuk sekadar bergerak dan membangunkan sel-sel tidur mereka.

Di sisi lain, gerakan radikal-ekstrem kian tidak mendapat tempat dan simpati dari masyarakat. Seperti kita tahu, sebagian besar umat Islam di Indonesia merupakan kalangan berpandangan moderat yang berafiliasi dengan ormas-ormas berkarakter washatiyah seperti NU dan Muhammadiyah. Golongan ini cenderung tidak setuju dengan agenda politis-ideologis yang diusung kalangan radikal-ekstrem.

Di tengah keterbatasan ruang untuk bermanuver itulah, kaum radikal-teroris mengubah haluan strateginya. Mereka tidak lagi fokus pada aksi-aksi teror dan kekerasan di lapangan. Sebaliknya, mereka kini justru lebih banyak fokus pada upaya meradikalisasi pikiran masyarakat melalui propaganda dan narasi-narasi tertentu. Inilah proyek jangka panjang kaum radikal-teroris. Yakni mempengaruhi alam bawah sadar umat Islam dengan menjejalkan paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila, NKRI, dan UUD 1945 serta kebhinekaan bangsa.

Strategi pertama mereka ialah tetap menanamkan keyakinan bahwa suatu saat khilafah akan tegak di bumi ini. Belakangan, kaum radikal mengklaim khilafah islamiyyah akan bangkit tepat pada tahun 2024 yang menandai seabad kehancuran kekhalifahan Turki Usmani. Strategi kedua untuk mewujudkan agenda khilafahisme itu ialah dengan membuat masyarakat Indonesia kehilangan identitas nasionalnya.

Maka, disebarkanlah propaganda dan narasi yang berusaha mencerabut manusia Indonesia dari akar sejarahnya. Antara lain dengan mencekoki umat dengan narasi sejarah palsu. Misalnya dengan menyebut bahwa kerajaan-kerajaan Islam di masa lalu memiliki hubungan dengan kekhalifahan Turki Usmani. Atau dengan menyebut bahwa kelompok Islam paling berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Juga dengan membenturkan kebudayaan atau kearifan lokal dengan ajaran Islam. Upaya ini sedikit-banyak telah membuat sebagian umat Islam Indonesia kehilangan orientasi kebangsaannya.

Strategi ketiga ialah dengan mengadu-domba umat, umara, dan ulama melalui narasi-narasi provokatif. Misalnya menuding kebijakan pemerintah terkait terorisme atau moderasi beragama sebagai tindakan anti-Islam, Islamofobia, maupun kriminalisasi ulama. Narasi yang demikian ini digunakan untuk melemahkan kepercayaan umat pada umara-nya. Jika itu terjadi, maka kaum radikal akan leluasa untuk menggiring opini dan memobilisasi massa demi melakukan pembangkangan terhadap pemimpin dan pemerintah.

Pendekatan Regulasi dan Edukasi Untuk Melawan Radikalisme-Ekstremisme

Tiga strategi jangka panjang kaum radikal itulah yang patut diwaspadai. Mereka dikenal lihai memanfaatkan situasi. Mereka juga pintar memutarbalikkan fakta. Ditambah lagi, mereka sangat piawai dalam menunggangi setiap isu untuk mengkampanyekan ideologi sesatnya. Terlebih, di era digital saat ini, propaganda khilafahisme dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.

Maka, tidak ada jalan lain bagi bangsa ini selain memperkuat imunitas kebangsaan agar kebal dari virus radikalisme. Vaksinasi ideologi diperlukan bagi setiap individu sebagai tameng menghapi perubahan strategi kaum radikal teroris. Kini, mereka lebih banyak melakukan pendekatan sosio-kultural, utamanya melalui penetrasi media sosial.

Untuk membendungnya, kita pun memerlukan pendekatan berbasis regulasi dan edukasi. Adalah hal urgen bagi pemerintah saat ini untuk mengeluarkan larangan penyebaran ideologi khilafah dan ajaran-ajaran wahabisme yang selama ini menjadi akar gerakan teroris. Di saat yang sama, kita perlu menggalakkan edukasi kepada umat Islam agar lebih mengadtasikan kultur moderat dalam beragama. Itulah vaksin terbaik bagi bangsa dan umat.

Proyeksi ke depan, kita harus mengakui bahwa tampaknya ideologi radikal akan tetap eksis di negeri ini. Meski angka kejadian teror terus menurun, namun angka intoleransi justru naik. Itu menandakan bahwa kaum radikal lebih banyak bermain di ranah wacana pemikiran dan propaganda ketimbang aksi-aksi lapangan. Perubahan strategi inilah yang patut direspons secara tepat.

This post was last modified on 28 Desember 2022 12:28 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

9 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

9 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

9 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago