Sebagian kecil umat muslim Indonesia ada yang tidak sepakat dengan sistem negara ini. Pasalnya sistem kenegaraan ini tidak menjadikan Al Qur’an sebagai sumber hukum kenegaraan, melainkan Undang-undang dan KUHP. Maka dapat dipastikan sistem tersebut adalah sistem kafir, menurut mereka.
Fenomena itu, membuat penulis ingin merefleksikan sejarah Islam yang terjadi beberapa abad yang lalu. Ada sebuah kelompok yang pernyataannya -secara esensial- senada dengan pernyataan di atas, yaitu kelompok khawarij yang selanjutnya akan disebut kharijiyyah.
Kisah Kharijiyyah dan Gejolak “Kafir”
Memang kharijiyyah bukanlah teroris yang mengangkat masalah secara abstrak. Mereka bermaksud mengangkat persoalan tersebut pada ranah teologis, sayangnya tidak sepenuhnya teoritik. Sehingga masalah tersebut lebih terkesan sebagai masalah politik dari pada agama. Betapa tidak? Pada waktu itu semua perselisihan bermuara pada masalah khilafah. Wajar, karena masyarakat muslim pada waktu itu dibenturkan pada pertanyaan: siapa penerus kepemimpinan umat Islam pasca Utsman?.
Kharijiyyah menjadi penggugat dari proses tahkim atau arbitrasi yang pada saat itu ada dua kelompok yang sedang berseteru, Umayyah dan Syi’ah. Kelompok Syi’ah, mengusung ‘Ali menjadi pemimpin, sementara Umayyah berpendapat, Mu’awiyyahlah yang pantas. Dan kharijiyyah menjadi kelompok ketiga yang tidak memilih keduanya. Mereka mengatakan, ‘bukan ini dan bukan itu’. Maksudnya tidak Mu’awiyyah dan juga bukan ‘Ali.
Pada awalnya kharijiyyah adalah pengikut ‘Ali, yang berpendapat bahwa mereka yang mengakui otoritas yang berasal dari keputusan manusia adalah kafir. Padahal kenyataannya, tidak ada keputusan selain daripada keputusan Tuhan (la hukma illa Allah), tidak ada ketetapan kecuali ketetapan Tuhan. Alasan ini bersandar pada ayat Qur’an. ‘Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Tuhan, maka mereka itu adalah orang-orang yang tidak percaya (kafir)’. Dan sesuai dengan prinsip ini, kharijiyyah menetapkan kedua arbiter (‘Ali dan Mu’awiyyah) adalah kafir.
Keputusan bahwa ‘Ali kafir, itu tidak sebagai sebuah keputusan semata bagi kelompok kharijiyyah. Tapi ini menjadi gerakan masif bagi kelompok kharijiyyah. Para fanatismenya sampai menumpahkan darah ribuan orang tak berdosa. Mereka sering keluar dengan membawa pedang lalu pergi ke pasar-pasar. Secara tiba-tiba berteriak ‘la hukma illa Allah’ lalu mereka membunuh setiap orang yang kebetulan mereka temui. “Semangat agama yang berlebihan dari orang-orang tersebut, lebih banyak timbul dari golongan orang-orang yang dangkal pengetahuannya” (Toshihiko Izutsu).
Perpecahan Golongan, Pengkafiran, dan Pembantaian
Beranjak dari mempredikasi kata kafir secara serampangan membuat benih-benihnya timbul lebih parah. Tidak cukup di situ, Azraqiyyah yang lebih dikenal sebagai ekstrimis kharijiyyah, lebih menakutkan gerakannya. Mereka mengkooptasi kebenaran sampai hal terkecil.
Pertama, bagi mereka orang yang tidak mengikuti pendapat mereka sampai sekecil-kecilnya adalah musyrik. Kedua, semua orang sekali pun setuju dengan azraqiyyah, kalau tidak ikut hijrah ke perkemahan mereka, maka orang tersebut musyrik. Ketiga, istri-istri dan anak-anak dari orang musrik adalah musrik, maka keduanya dapat secara sah dibunuh dan harta mereka dirampas.
Masih dari cabang kelompok kharijiyyah, kelompok tersebut dikenal dengan nama sufriyyah. Pandangannya bahwa setiap yang melakukan dosa, dan mereka tidak disebutkan dalam Qur’an, maka mereka patut dipredikasi sebagai kafir. Pezina, pencuri dan lain-lain tidak diberi predikat kafir, karena mereka tertulis dalam Qur’an. Sementara pendosa yang tidak disebutkan dalam qur’an, seperti orang yang membatalkan puasa Ramadhan, meninggalkan salat dan tidak membayar zakat, maka mereka menyandang predikat kafir. Apabila mereka kafir, maka sah untuk dibunuh.
Tidak merasa puas dengan mengutuk orang-orang sezamannya, cabang kharijiyyah, orang-orang dari kelompok jahmiyyah mulai melaksanakan takfir bahkan terhadap nabi-nabi. Musa alaihi salam telah meminta Tuhan untuk memperlihatkan dirinya kepadanya, disebut kafir. Karena menurut jahmiyyah tak seorang pun dapat melihat Tuhan, tidak saja di dunia bahkan di akhirat. Isa alaihi salam juga seorang kafir, ketika Isa berkata ‘engkau maha mengetahui apa yang ada dalam jiwaku, sementara aku tidak tahu apa yang ada di dalam jiwamu’, karena Isa beranggapan bahwa tuhan memiliki jiwa, maka dia kafir.
“Kafir” Tidak Tepat untuk Menghukumi Sistem Negara
Melihat kondisi tersebut sepertinya setiap kelompok merasa berhak untuk mengecam kelompok-kelompok lain, ini menyedihkan. Kondisi tersebut sama dengan yang kita alami saat ini. Kiranya kisah di atas, dapat menjadi cermin betapa pentingnya mendudukan istilah kafir pada tempatnya.
Meletakkan batasan-batasan secara paksa, tanpa landasan yang kuat dan menyalahgunakan istilah kafir hanya akan memperparah sikap emosi dan akan lebih memperburuk keadaan. Semua pihak perlu bekerja sama untuk menangani penyalahgunaan istilah kafir.
Lalu pertanyaan sederhananya, apa itu kafir? kriteria apa yang dapat dengan benar memutuskan bahwa seseorang itu adalah kafir?.
Takfir adalah pendustaan (takdhib) terhadap utusan Tuhan yang telah diberitahukan pada kita. Istilah ini sering dipertentangkan dengan iman yang memiliki arti membenarkan atau meyakini benarnya (tasdiq) utusan Tuhan yang telah diberitahukan pada kita.
Menurut Al-Ghazali, ada sesuatu yang disebut dengan esensial (usul) dan ada juga yang disebut dengan non-esensial (furu’). segala sesuatu yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Tuhan, utusan, dan hari akhir adalah persoalan yang tidak esensial, dan tidak ada penetapan kafir padanya.
Ibnu Kaysan misalnya, menolak tentang khilafah. Tetapi ini bukanlah suatu alasan kenapa dia harus dikecam sebagai seorang kafir, karena tidak mengarah pada takdhib terhadap utusan. Begitu pun dengan persoalan sistem negara, hal tersebut bukanlah persoalan yang bersangkutan dengan hal esensial, maka tentu tidak layak penyebutan kafir terhadapnya. Sehingga istilah kafir tidak cocok digunakan untuk menghukumi sistem negara.
This post was last modified on 26 Mei 2017 9:52 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…