Jagat maya tak pernah sepi dari aktivitas netizen. Terutama generasi milenial, yang telah akrab dengan teknologi dan segala produknya. Internet yang dulu sulit dinikmati, kini dengan mudah dan murah, bisa didapatkan di mana saja. Pada akhirnya, aktivitas berselancar di dunia maya lebih diminati ketimbang berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Kecenderungan ini amat potensial untuk dimainkan oknum tertentu, untuk melakukan semacam ‘indoktrinasi’ atas ideologi atau pengalihan isu tertentu. Mereka memproduksi secara sistematis berita-berita bohong, untuk mendulang klik dan juga melejitkan atau bahkan menjatuhkan popularitas dan kehormatan orang lain.
Apalagi di tahun politik. Banyak kepentingan. Utak-atik strategi untuk menjatuhkan lawan politik, jalan pintas pun tak segan digunakan, sekalipun bertentangan dengan kepentingan umum. Maka mulailah isu-isu sensitif digoreng sedemikian rupa, untuk disajikan kepada segenap netizen di jagat maya Indonesia. Persatuan dan perdamaian yang telah berakar di masyarakat, diobrak-abrik sedemikian rupa dengan isu SARA, demi kepentingan politik praktis. Sungguh ironis.
Berita tertangkapnya empat pelaku penyebar hoaks di Jakarta, Bangka Belitung, Bali, dan Jawa Barat oleh kepolisian, menjadi babak baru upaya pemberantasan biang keonaran di media sosial. Mereka menyebar isu provokatif terkait pencemaran nama baik Presiden Joko Widodo, penculikan ulama, dan juga kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian meningkat dua tahun terakhir. Hal ini mengacu pada pengaduan masyarakat yang naik 900 persen terkait konten di situs internet, akun media sosial, aplikasi telepon genggam, dan perangkat lunak (Kompas, 28/2)
Ini mestinya menjadi pelajaran bagi segenap netizen. Minimal, kita sadar betapa dunia maya kita sedang tidak baik-baik saja. Dan kondisi ini juga akan merambat ke dunia nyata, berupa sikap dan perilaku warga yang mengarah pada perpecahan. Identitas kewarganegaraan pun terancam, digantikan dengan identitas sektarian yang rentan konflik. Bukannya mencoba mencari titik temu di antara perbedaan yang ada, malah mencari perbedaan dalam tubuh persatuan NKRI.
Mengingat intensitas netizen dalam berinteraksi via daring, maka upaya untuk meminimalisir berita hoaks perlu dilakukan segera. Bukan memblokir akun atau situs yang terindikasi menyebarkan hoaks saja, tapi yang terpenting adalah mendidik segenap netizen supaya memiliki daya kritis dalam memfilter informasi di dunia maya. Jadi, fokus upayanya adalah mendewasakan netizen dalam bermedia, agar memiliki ‘antibody’ yang mampu melindungi diri dari serangan virus hoaks.
Literasi Digital yang Mencerdaskan Netizen
Satu hal yang menarik adalah –sebagaimana dikatakan Arie Sudjito, Sosiolog UGM-, bahwa kelas menengah terdidik justru lebih mudah termakan isu SARA ketimbang masyarakat akar-rumput. (Kompas, 28/2) Barangkali, hal ini lantaran porsi interaksi kelas menengah terdidik dengan internet jauh lebih banyak ketimbang masyarakat biasa. Juga, keterbatasan gerak kelas menengah terdidik untuk sekadar menengok langsung ke lapangan, sehingga hanya tahu informasi dari literatur digital yang kerap dipelintir.
Terutama untuk kalangan milenial, mestinya menyadari perannya. Berhentilah menjadi netizen yang pasif –hanya mengonsumsi berita. Tapi, jadilah netizen yang aktif dalam menebar benih kerukunan di ladang digital Indonesia. Sehingga, pohon-pohon kerukunan akan tumbuh lalu berbuah kedamaian; dan bisa dipanen oleh siapa saja.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan gerakan literasi digital. Literasi –menurut Amich Alhumami, Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Bappenas- dimaknai tidak lagi sekadar membaca, menulis, dan menghitung. Lebih dari itu, termasuk gerakan literasi, keterampilan kognitif, berpikir logis, analitis, dan kritis, mengembangkan iptek. (Kompas, 28/2) Artinya, literasi digital memiliki tujuan untuk membekali netizen supaya mampu berpikir kritis dan analitis. Bagi mereka yang memiliki keterampilan di bidang IT, juga bisa mengembangkan aplikasi yang berorientasi pembangunan kedamaian di dunia maya.
Hal ini dirasa penting, mengingat menjamurnya situs abal-abal yang berkonten provokatif-emosional. Efeknya memang luar biasa –dengan sentuhan tertentu, isu SARA yang digoreng bisa menyentuh bagian tersensitif manusia, yakni hati (lalu bersimpati). Dari simpati, timbul aksi –yang minimal diekspresikan dengan komentar, yang kerap menyasar kelompok tertentu.
Di sinilah terletak betapa pentingnya kontribusi netizen untuk melakukan literasi digital. Bisa dengan menyebar tulisan-tulisan berspirit persatuan maupun link ke buku-buku berkualitas. Pun bisa dengan mengampanyekan cinta membaca, supaya netizen terlatih berpikir mendalam dalam merespon sliweran informasi dunia siber. Dan yang tak kalah penting; upaya ini lebih efektif dilakukan bersama-sama. Netizen bersatu tak bisa dikalahkan!
Setelah 13 tahun bertahan menghadapi milisi pemberontak, rezim Bashar al Assad akhirnya tumbang. Hanya butuh…
Panggung ajakan untuk menegakkan khilafah mulai digelar ke permukaan pasca kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS)…
Hari Kesetiakawanan Sosial (HKS) yang diperingati setiap tanggal 20 Desember merupakan upaya membangun keharmonisan interaksi…
Sejak munculnya ISIS pada tahun 2014 hingga 2018, sekitar 600 foreign terroris fighter (FTF) atau…
Penggulingan kepemimpinan Bashar Assad di Suriah oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) tengah mengipnotis segelintir masyarakat…
Di tengah krisis kemanusiaan yang masih berlangsung di Suriah, interpretasi agama sering dipolitisasi dan dipaksakan…