Narasi

Rumah Ibadah: Rumah Pemersatu Umat

Agama lahir untuk memperbaiki kehidupan manusia. Dari manusia yang tidak memiliki batasan mana baik dan buruk, kemudian agama menciptakan batasan-batasan tersebut. Sebab inti dari agama adalah Ketuhanan dan Kemanusiaan. Di mana agama mengantarkan manusia kepada rasa saling menghormati dan menghargai berlandaskan Ketuhanan yang Maha Esa.

Dalam berjalannya waktu, agama diperkosa demi kepentingan individu atau kelompok tertentu demi melanggengkan eksistensinya. Terdapat tren lain yang terhitung modern, agama dianggap sebagai ideologi. Dimulai dari kolonialisme abad ke 19, tren tersebut didorong memperlakukan agama tidak semata-mata sebagai keyakinan tetapi sebagai sebuah ideologi politik. Ideologi ini menurut agama menjadi bukan saja sebuah pengalaman spiritual tetapi juga sebagai sistem politik. Bagi mereka, sistem politik jumlah lebih penting ketimbang aspek spiritual agama.

Saat agama sudah dianggap sebagai sebuah simbol dan ideologi untuk mendirikan sebuah negara. Dianggap hukum tersebut sempurna sebagai wahyu Tuhan dan dengan memikirkan ulang tidak diperkenankan. Bila ada orang yang berbuat semacam itu dikatakan sebagai kejahatan serius. Menurut mereka, pengubahan adalah penyimpangan dan penyimpangan merupakan dosa di mata Tuhan.

Agama sebagai simbol (ritual) atau ideologi tidak menjadi masalah, tetapi akan menjadi masalah tatkala inti agama sudah terabaikan. Inti agama diperkosa demi kepentingan ideologi atau kelompok. Islam mendasarkan pada keadilan dan kesetaraan, keadilan semua lapisan semua lapisan lemah masyarakat dan kesetaraan bagi semua manusia, baik pria atau wanita.

Kristen, pada sisi lain, mendasarkan pada cinta dan ma’af yang sangat penting bagi hubungan manusia. Sebagai agama Ibrahim, Yahudi juga melandaskan pada keadilan. Agama-agama India, Hinduisme menekankan universalisme dan toleransi. Janisme pada non-violence dan budhisme pada kasih sayang. Dan, kebenaran tentu saja, merupakan nilai-nilai bersamaan semua agama.

Baca juga : Rumah Ibadah Sarana Menyebarkan Narasi Kesejukan, Bukan Kebencian

Jadi, nilai yang paling dasar dari setiap agama-agama ada tujuh (Asghar Ali Engineer: 2004); yakni kebenaran, non-violence, keadilan, kesetaraan, kasih sayang, cinta dan toleransi. Jika umat manusia bisa menjalankan ketujuh nilai ini, ia akan menjadi orang yang paling agamis dan terbaik dari umat manusia.

Melihat realitas keagamaan sekarang ini yang jauh dari nilai dasar agama, sebagai penyelamat manusia dari kerusakan, maka (penganut) agama harus membuka diri dan memperbaiki diri. Salah satu yang bisa dilakukan adalah tempat ibadah harus sejalan dengan nilai-nilai dasar yang ada dalam agama; melindungi manusia dari kerusakan. Tempat ibadah tidak hanya untuk menyembah Tuhan, tetapi untuk melayani umat manusia tanpa melihat ras, suku bahkan warna kulit.

Rumah ibadah harus terbuka seperti prinsip agama itu sendiri, bila rumah ibadah hanya dikotomi oleh golongan atau penganut tertentu, maka rumah ibadah sudah menjauh dari cita-cita agama itu sendiri. Rumah ibadah adalah rumah suci yang menjalankan kesucian agama itu sendiri. Rumah ibadah harus memberikan suasana yang menyejukkan, bagi penghuninya akan berlama-lamaan tinggal di dalamnya. Dan bagi yang di luar, akan bersenantiasa hadir untuk masuk dalam rumah ibadah tersebut.

Menjadikan rumah ibadah yang sesuai cita-cita agama sangatlah mudah, yakni menjalankan secara keseluruhan apa yang dicita-cita agama. Pertama adalah mengenai ketuhanan, di mana rumah agama harus menjadi rumah yang menyuarakan sifat-sifat ketuhanan. Salah satunya adalah Tuhan adalah penyayang semua makhluk yang ada di muka bumi. Di mana rumah agama harus memegang prinsip ini. Di mana rumah ibadah harus ramah terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya.

Tidak hanya itu, agama menekankan kepada kemanusiaan. Maka rumah ibadah harus menekankan kemanusiaan. Di mana, rumah ibadah harus mempertimbangkan kemanfaatan untuk keberlangsungan hajat masyarakat pada umumnya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan fasilitas umum yang bisa dimanfaatkan semua orang. Yang paling mudah dapat dilakukan adalah memberikan ruang umum di mana masyarakat bisa memanfaatkannya, meskipun mereka memiliki cara penyembahan Tuhan yang berbeda.

Dengan cara sederhana ini, rumah ibadah tidak hanya tempat beribadah, tetapi tempat suci yang mengaplikasikan semua cita-cita agama itu sendiri. Tidak hanya itu, dengan cara sederhana rumah ibadah akan menjadi rumah suci umat manusia meskipun memiliki cara beribadah yang berbeda dalam menyembah Tuhan.

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago