Narasi

Salah Paham Isytisyadiyyah

Ada keprihatinan yang luar biasa melihat argumentasi yang dikemukakan D dan S, dua tersangka teroris yang baru saja diamankan oleh Tim Densus 88. Sepasang suami istri ini, yang merencanakan akan melakukan bom bunuh diri di istana negara, banyak menggunakan dalil agama untuk membenarkan aksi teror mereka. Jika dicermati, argumentasi mereka dibangun atas pemahaman yang jauh berbeda dengan kebanyakan kaum Muslim di Indonesia (bahkan di dunia). Pendapat keduanya tidak hanya kaku, melainkan juga melenceng jauh dari nilai-nilai Islam.

Pada wawancara yang dilakukan dan ditayangkan oleh TV One, D dan S membungkus pembenaran aksinya dengan beragam terminologi agama. Namun jika kita jeli, niscaya akan ditemukan beragam kelemahan pada argumentasi mereka. Beberapa diantaranya adalah:

Pertama, D mengklaim dirinya sebagai generasi ghuraba (orang-orang yang terasing). Saat pewawancara mengatakan bahwa jumhur ulama tidak membenarkan aksi bom bunuh diri, D kemudian menggunakan istilah ghuraba. Artinya D menganggap dirinya “terasing”dengan kebanyakan orang (dan juga mengasingkan diri dari pendapat mayoritas ulama). Menurut D, hal ini sesuai dengan ajaran Islam. Sebab Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali dalam keadaan asing juga.

Pernyataan D di atas menunjukan adanya pemahaman yang salah terhadap istilah ghuraba. Memang ada hadist tentang ghuraba, tetapi tidak boleh ditafsirkan serampangan. Dari Abu Hurairah, rasulullah bersabda,”Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali terasing seperti keadaan semula. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing” (HR. Muslim). Hadist ini tidak bisa dijadikan dasar bahwa segala sesuatu yang asing dan berbeda adalah baik. Ada hal asing yang baik, ada juga hal asing yang tidak baik. Dalam HR. Ahmad, saat ditanyakan siapakah orang-orang terasing, rasul menjawab yaitu orang-orang baik yang berada ditengah-tengah orang jahat yang sedang merajalela. Hadist ini tegas memberi gambaran bahwa ghuraba harus dipahami dalam arti positif. Yaitu mereka yang berbeda tetapi tetap dalam jalan kebenaran dan kebaikan. Jadi generasi ghuraba tidak bisa disematkan kepada para teroris, sebab mereka bukan berada di jalan kebenaran. Perilaku mereka pun bertentangan dengan prinsip dan semangat kemanusiaan yang terdapat dalam agama Islam.

Hal lain yang salah dari pemahaman mereka adalah mengabaikan pendapat mayoritas ulama. Padahal dalam Islam, ulama adalah pewaris para nabi. Artinya mereka adalah orang-orang yang patut untuk diikuti pendapat dan nasehatnya. Jika sebagian besar ulama telah mengharamkan perbuatan bom bunuh diri, maka mereka yang mengaku umat Islam pun selayaknya mengikuti pendapat ini.

Kedua, tersangka teror ini mengatakan perbuatan bom bunuh diri merupakan amaliyyah istisyhadiyah (perbuatan mencari kematian yang syahid). Argumen ini pun terkesan dangkal dan tidak memiliki pijakan yang kokoh berdasarkan ajaran Islam. Bom bunuh diri, yang akan ditujukan kepada para penjaga di istana negara, pasti akan menimbulkan korban jiwa. Baik aparat sipil maupun aparat keamanan. Jika timbul korban, mereka ini adalah orang yang tidak bersalah (apalagi pasti banyak dari korban yang beragama Islam). Jika hal ini yang terjadi, niscaya perilaku para tersangka teroris itu tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan mencari syahid. Melainkan perbuatan keji karena menyakiti saudara-saudara lainnya. Tentu saja, surga tidaklah disediakan untuk para perusak kedamaian.

Ketiga, sebagai seorang suami, S berharap aksi bom bunuh diri yang akan dilakukan istrinya akan mendapatkan balasan di akhirat kelak. S dan D, yang baru beberapa bulan menikah, tidak mengharapkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah di dunia seperti kebanyakan kaum Muslim. Tujuannya adalah hari akhir. Pandangan seperti ini pun menunjukan kekeliruan pemahaman terhadap Islam. Allah SWT jelas mengajarkan keseimbangan hidup kepada pengikutnya. Dunia dan akhirat harus berjalan dengan baik. Dalam Al-Baqarah ayat 202, Allah berfirman, “Dan diantara mereka ada orang yang berdoa, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” Selain itu, ganjaran di akhirat akan diberikan berdasarkan perbuatan baik selama di dunia. Jika dalam kehidupan diisi dengan amal baik, surga telah menanti. Sebaliknya ketika semasa hidupnya dihabiskan untuk menyebarkan kebencian dan teror, tentu saja jannah pun akan menolaknya.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

5 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

5 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

5 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

5 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

23 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

23 jam ago