Categories: Narasi

Salam Keagamaan Yes, Salam Kebangsaan Oke!

Perbincangan publik sedang mengarah ke urusan salam. Hal ini bermula dari ungkapan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang memperkenalkan pentingnya Salam Pancasila, sebagai salam nasional. Salam Pancasila dilakukan dengan mengangkat lima jari di atas pundak dengan lengan tegak lurus.

Gerakan tersebut pun bukan tanpa arti dan makna. Di dalam salam Pancasila, makna mengangkat kelima jari di atas pundak tersebut adalah sebagai simbol penghormatan seluruh elemen masyarakat terhadap lima sila Pancasila. Dalam hal ini, penghormatan dan pelaksanaan sila-sila Pancasila mesti dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Mulai dari pejabat negara hingga seluruh anggota masyarakat (detik.com,22/02/2020).

Salam Pancasila muncul dalam rangka menumbuhkan kembali semangat kebangsaan; menguatkan rasa persaudaraan serta persatuan dan kesatuan masyarakat. Terutama untuk menangkal tumbuhnya sikap-sikap intoleran. Di tengah menguatnya sikap dan perilaku intoleran yang bisa mengganggu dan melemahkan ikatan persaudaraan bangsa, kita perlu melakukan gerakan-gerakan bersama untuk kembali menguatkan ikatan tersebut.  Salam kebangsaan atau salam Pancasila menegaskan tekad bersama sebagai sebuah bangsa. Bahwa dalam kondisi saat ini, kita sama-sama butuh kembali mengingat dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila di kehidupan bersama.

Poinnya: ada semangat kebangsaan yang perlu “dipanggil” kembali dalam diri setiap individu bangsa Indonesia, agar setiap orang kembali teringat karakternya sebagai bangsa yang saling bersaudara, saling menghormati, dan menjaga perdamaian. Dan salah satu cara “memanggil” kembali kesadaran tersebut adalah lewat salam kebangsaan ketika berjumpa sesama saudara. Konteks inilah yang perlu dipahami dalam memaknai salam Pancasila atau salam kebangsaan.

Dalam catatan sejarah perjalanan bangsa, kita juga mengenal bentul-bentuk salam nasional, misalnya salam “merdeka!” yang ditetapkan Sang Proklamator Bung Karno. Setelah momentum proklamasi kemerdekaan RI, tepatnya pada tanggal 1 September 1945, Bung Karno memperkenalkan salam merdeka atau salam nasional. Seperti ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno berkata, “Pada 1 September 1945, aku menetapkan supaya setiap warga negara Republik memberi salam kepada orang lain dengan mengangkat tangan, membuka lebar kelima jarinya sebagai pencerminan lima dasar negara dan meneriakkan, merdeka!” (jpnn.com, 01/09/2015).

Baca Juga : Dari Salam Pancasila ke Revolusi Pancasila; Gerak Akseleratif Menuju Kejayaan Bangsa

Jika dulu Bung Karno menetapkan salam merdeka sebagai pengikat, penanda, dan penguat kepercayaan diri kita atas lahirnya sebuah bangsa yang berkuasa sendiri tanpa belenggu penjajahan, maka sejalan dengan semangat tersebut, salam Pancasila saat ini juga disuarakan dalam rangka menegaskan jatidiri bangsa sebagai bangsa Pancasila. Bangsa yang menghormati perbedaan, persaudaraan, dan perdamaian. Lepas dari penjajah, muncul salam merdeka. Sekarang, saat bangsa menghadapi tantangan intoleransi, kita perlu menegaskan kembali semangat kebangsaan, persatuan, dan persaudaraan, salah satunya lewat salam Pancasila.

Di dalam salam kebangsan terdapat komitmen bersama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, termasuk semangat persatuan dan menghormati perbedaan. Di titik inilah, salam Pancasila sebagai salam kebangsaan sama sekali tidak untuk mengganti atau menghapus salam-salam keagamaan. Setiap umat beragama atau elemen bangsa di Indonesia memiliki cara dan ucapan salam yang harus dihormati. Justru, salam kebangsaan bisa berfungsi untuk memperkokoh ikatan persaudaraan antar elemen bangsa Indonesia tersebut.

Sejalan, beriringan

Di dalam salam umat Islam, misalnya, di dalamnya ada doa dan harapan akan keselamatan, kasih sayang (rahmat), dan keberkahan Allah. Berkah di sini menurut para ulama, seperti Imam Nawawi, Imam Ghazali, dan Imam Qurtubi, adalah tumbuh dan berkembangnya kebaikan (Didik Dahlan: 2018). Maka, salam kebangsaan juga bisa sejalan dengan hal-hal tersebut. Sebab di dalam salam kebangsaan (Pancasila) ada tekad dan semangat menjaga nilai-nilai Pancasia seperti nilai persatuan, persaudaraan, dan spirit menghormati perbedaan. Dan kita tahu, itu semua merupakan syarat bagi terciptanya kebaikan dan perdamaian dalam kehidupan bersama.   

Jadi, antara salam kebangsaan dan salam keagamaan bukan dua hal yang harus dihadap-hadapkan, apalagi dipertentangkan. Keduanya bisa sama-sama beriringan sebagai bagian dari ekspresi dan semangat kita dalam menjalani hidup beragama sekaligus berbangsa. Kata Bung Karno, “Saudara-saudara sekalian! Saya adalah orang Islam, dan saya keluarga negara republik Indonesia. Sebagai orang Islam, saya menyampaikan salam Islam kepada saudara-saudara sekalian, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebagai warga negara republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional, Merdeka!”            Sekarang, kita semakin sadar bahwa salam keagamaan maupun salam kebangsaan, dua-duanya sama pentingnya. Sebagai umat beragama, kita punya salam masing-masing sesuai ajaran agama. Dan sebagai sesama warga bangsa, kita juga perlu salam kebangsaan sebagai pengikat tali persatuan dan persaudaraan. Wallahu a’lam

This post was last modified on 27 Februari 2020 1:57 PM

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

View Comments

Recent Posts

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

7 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

7 jam ago

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

7 jam ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

1 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

2 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

2 hari ago