Narasi

Santri, Benteng Keutuhan NKRI

Kalau kita telaah sejarah santri merupakan salah satu entitas penting dalam sejarah panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedari perjuangan merebut kemerdekaan, mempertahankannya, pun hingga mengisi kemerdekaan, santri selalu menjadi bagian penting dari pembangunan dan keutuhan NKRI.

Kecintaan santri terhadap NKRI tak perlu diragukan lagi. Sebagaimana Muhammadun (2017) mengatakan bahwa bagi santri NKRI ini adalah darus salam, negeri yang damai penuh berkah. Negeri yang sangat nyaman untuk menjalankan ajaran Islam tanpa harus dilabeli dengan “Negara Islam” (jalandamai.org, 24/10/2017). Patut kita syukuri, meski Indonesia adalah negara yang bhinneka, akan tetapi masyarakatnya sangat ramah dan toleran.

Jiwa nasionalisme dan cinta tanah air yang begitu tinggi selalu terpatri dalam diri santri. Komitmen santri yang selalu dipegang, menjadi santri adalah menjaga NKRI. Oleh karena baginya membela NKRI dan menjaganya adalah jihad yang teramat mulia. Kalau kita telaah lebih mendalam sejarah panjang revolusi bumi NKRI ini, buka lembar demi lembarnya, maka tak akan sulit menemukan tokoh-tokoh dari kalangan santri yang begitu heroik berjuang merebut kemerdekaan dan mempertahankannya.

Di antara contohnya, satu tokoh teladan dari kalangan santri, K.H. Hasyim Asy’ari menginisiasi lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Resolusi jihad ini merupakan wujud integritas, loyalitas, dan kecintaan tulus kaum santri terhadap NKRI. Bahkan, terinspirasi spirit Resolusi Jihad ini “Bung Tomo” mampu membakar semangat arek-arek Suroboyo melalui pidatonya yang begitu fenomenal menggelegar. Berdasarkan catatan emas tersebut, sangatlah wajar jika tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri.

Hasyim Asy’ari berpandangan bahwa menyerah terhadap penjajah sama artinya mengkhianati bangsa dan negara. Kiai Hasyim Asy’ari memang dikenal sebagai sosok yang sangat loyal, berintegritas, dan anti-Belanda. Bahkan, Kiai Hasyim Asy’ari pernah menolak penghargaan hendak diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Paa saat itu, melalui  Gubernur Van der Plas, secara khusus datang ke Jombang untuk menyampaikan keinginan pemerintah Belanda yang bermaksud memberikan tanda kehormatan kepada Kiai Hasyim Asy’ari (Zuhri, 1987).

Di samping itu, dalam perjuangannya terhadap NKRI santri juga lekat dengan “Kitab Kuning”. Diantaranya sebagaimana dicontohkan oleh K.H. A Wahab Chasbullah yang turut getol berjuang membela dan menjaga NKRI dengan inovasinya berdasarkan kaidah fiqh dan ushul fiqh.

Sebagaimana Majalah Bangkit (2015) menyebutkan bahwa Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia pada 1948. Tetapi, sampai tahun 1951 Belanda masih enggan menyerahkan kedaulatan Irian Barat ke Indonesia. Bung Karno kemudian menghubungi K.H. A Wahab Chasbullah di Jombang dan menanyakan terkait hukum bangsa Belanda masih bercokol di Irian Barat. K.H. A Wahab Chasbullah pun menjawab hukumnya ghosob atau istihqoqu malil ghoir bighoiri idznihi yang berarti menguasai hak milik orang lain tanpa izin (Muhammadun, jalandamai.org: 2017).

Kemudian Bung Karno selalu “ngaji” dengan K.H. A Wahab Chasbullah, sampai akhirnya melakukan strategi akhodzahu qohrun yang berarti ambil/kuasai dengan paksa dengan rujukan kitab Fathul Qorib dan syarahnya (al-Baijuri), Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan NKRI.

Satu lagi, jika kita kuliti sejarah nasional, kaum santri juga telah turut berkontribusi besar dalam perumusan ideologi bangsa, Pancasila. Sebut saja KH. Wahid Hasyim dan tokoh lainnya yang tergabung Panitia Sembilan bersinergi merumuskan Pancasila.

Bahkan kita juga tak akan lupa dihapusnya tujuh kata sila pertama (Piagam Jakarta), “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” ialah penanda ketulusan dan pengorbanan santri sangatlah besar demi NKRI. Santri selalu menepikan egoisme diri demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Perjuangan tokoh-tokoh santri dulu tentu patut diteladani oleh santri masa kini untuk selalu membela dan menjaga NKRI.

This post was last modified on 22 Oktober 2020 6:41 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Menyoal Hijrah Salafi; Hegemoni Eksklusivisme Komunal Berkedok Purifikasi Agama

Dalam beberapa tahun belakangan kita menyaksikan sebuah fenomena baru dalam lanskap keislaman di Indonesia. Yakni…

20 jam ago

Menelaah Visi Hijrah: Dari Persaudaraan Sempit-Fanatik Menuju Persaudaraan Kebangsaan

Setiap tahun baru Islam tiba, umat Muslim diingatkan pada satu peristiwa agung dalam sejarah Islam: hijrah…

20 jam ago

Refleksi Tahun Baru Islam 1447 Hijriah; Meneladani Cara Nabi Muhamad Membangun Kota Madinah yang Majemuk

Tahun Baru Islam 1447 Hijriah menjadi momen penting untuk merenungkan kembali makna hijrah dalam kehidupan…

20 jam ago

Hijrah Perilaku Digital: Dari Kubangan Provokasi Menuju Kejernihan Literasi

Dalam konteks dunia modern yang serba digital, makna hijrah perlu dimaknai ulang secara lebih relevan.…

4 hari ago

Hijrah Digital; Mempertebal Hubbul Wathan di Era Kecerdasan Buatan

Transformasi digital mengubah seluruh lanskap kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam konteks beragama. Bagi umat Islam,…

4 hari ago

Hijrah Menjadi Muslim Pancasilais

1445 tahun yang lalu, Nabi Muhammad berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib yang kelak bernama Madinah.…

4 hari ago