Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) merupakan hadiah terindah dari negara bagi kalangan santri. Sekian lama peran kaum santri dalam perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia cenderung tidak diakui. Dalam banyak buku sejarah, peran santri dalam revolusi Indonesia terkesan dikecilkan. Padahal, kalangan santri merupakan salah satu eksponen penting sejarah revolusi Indonesia.
Peringatan HSN memiliki sejarah, latar belakang dan proses berliku. Awalnya, penetapan HSN oleh pemerintah sempat menuai polemik publik. Sebagian masyarakat menolak peringatan HSN lantaran menganggapnya sebagai bentuk pengistimewaan terhadap kalangan santri. Polemik penolakan HSN itu umumnya bermula dari perdebatan tantang definisi santri itu sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri dimaknai sebagai orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadah dengan sungguh-singguh dan orang yang saleh. Menurut definisi yang umum dipakai dan dipahami oleh umat muslim Indonesia, santri didefinisikan secara spesifik sebagai orang yang belajar ilmu agama Islam di pesantren.
Sedangkan menurut KH. Mustofa Bisri alis Gus Mus, istilah santri dapat diidentifikasi ke dalam empat kriteria. Pertama, santri ialah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang sehingga menjadi mukmin yang taat, tidak terpengaruh oleh pergaulan, kepentingan dan perbedaan.
Kedua, santri adalah orang yang mencintai negara dan tanah air tempat ia dilahirkan, dibesarkan, bernafas dan bersujud. Ketiga, santri ialah orang yang menghormati dan mencintai kedua orang tua sejak mereka masih hidup sampai telah meninggal. Keempat, santri ialah orang yang memiliki cinta kasih dan sikap welas terhadap sesama manusia tanpa memandang perbedaan.
Memaknai Ulang Hakikat Santri
Definisi dan kriteria santri yang dikemukakan Gus Mus itu agaknya relevan untuk mengakhiri kontroversi terkait peringatan HSN. Jika kita merujuk pada definisi santri sebagaimana disampaikan Gus Mus, maka pada dasarnya tidak ada yang diistimewakan oleh peringatan HSN. Bahwa istilah santri identik dengan kaum Nahdliyyin atau pengikut Nahdlatul Ulama adalah hal yang tidak dapat dibantah. Namun, hal itu tidak lantas dapat diartikan bahwa istilah santri adalah milik warga NU saja. Semua umat muslim di Indonesia, atau bahkan dunia yang memiliki empat kriteria seperti diungkapkan Gus Mus di atas tentu patut menyandang atribut sebagai seorang santri.
Baca juga : Otoritarianisme: Kritik Khalid Abou el-Fadl Terhadap Para Pembajak Agama
Terlebih dalam konteks kekinian, ketika aktivitas belajar agama tidak harus dilakukan di pesantren. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang kian pesat memungkinkan umat muslim mendapat pengetahuan keagamaan dari beragam media. Kemunculan internet dan media sosial, harus diakui telah mengubah pola dan cara umat Islam mempelajari agamanya.
Kini, kita dapat belajar Islam melalui media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook dan sejenisnya. Bagi kaum muslim, terutama yang berasal dari kelas menengah-urban, belajar agama di media sosial tentu bukan hal yang asing apalagi tabu. Selain lewat media sosial, pengetahuan Islam juga dapat diakses melalui kajian keislaman yang marak diselenggarakan.
Berbagai bentuk kajian keislaman digelar nyaris setiap hari sehingga memudahkan siapa saja yang ingin mempelajari Islam. Jika santri zaman dulu harus merasakan tinggal bertahun-tahun untuk mendalami ilmu agama, santri di zaman milenial ini cukup duduk manis mendengarkan kajian atau mengaksesnya melalui gawai (gadget).
Tentu semua memiliki kelebihan dan kelemahan. Santri zaman dulu, dianggap memiliki keunggulan karena belajar Islam dengan bertahap, konsisten dan dibimbing oleh dengan yang memiliki otoritas dan sanad keilmuan yang jelas. Sedangkan santri milenial kerap dianggap sebagai santri instan yang belajar Islam hanya di permukaan saja.
Kendati demikian, kita patut mengapresiasi antusiasme santri milenial dalam mempelajari Islam, terlepas dari media yang mereka pilih. Menyitir pernyataan Habib Husein Ja’far al Hadar, intelektual Islam giat menyebarkan pesan keagamaan melalui YouTube, tidak ada salahnya kalangan milenial belajar agama lewat internet. Hanya saja ia mewanti-wanti untuk selektif dalam memilih kajian keislaman di media sosial.
Jihad Melawan Ekstremisme Agama
Dari uraian di atas, polemik ihwal HSN sudah sepatutnya kita sudahi. Kita sepatutnya menempatkan peringatan HSN sebagai sebuah momentum untuk mengingat dan menggali kembali spirit Resolusi Jihad yang menjadi latar belakang peringatan HSN. Seperti diketahui, dipilihnya tanggal 22 Oktober sebagai HSN bukan merupakan sebuah kebetulan.
Dipilihnya tanggal tersebut erat kaitannya dengan momentum Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh sejumlah tokoh NU di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945. Forum yang diketuai oleh KH. Abdul Wahab Hasybullah itu menyerukan jihad fi sabillah untuk melawan kembalinya kolonialis Belanda yang membonceng tentara Inggris. Seruan Resolusi Jihad yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar NU kala itu, mampu mengobarkan perjuangan “arek-arek Suroboyo” dalam melawan penjajah.
Cerita epik dan heroik itu memang telah berlalu. Ia tercatat rapi dalam memori sejarah kita. Indonesia saat ini sudah merdeka selama 74 tahun lamanya. Namun demikian, spirit Resolusi Jihad idealnya tidak serta merta padam dan tidak memiliki relevansi di era kiwari. Meski telah merdeka selama 74 tahun lamanya, bukan berarti kondisi Indonesia saat ini tengah baik-baik saja. Beragam masalah membelit negeri ini, mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik dan keagamaan.
Salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ialah munculnya anasir radikalisme berlatar agama yang gerak dan manuvernya dirasa cukup membahayakan dan mengancam eksistensi NKRI. Seperti kita lihat sendiri, selama kurang lebih satu dekade belakangan ini, gerakan-gerakan keagamaan bercorak konservatif-radikal mendominasi ruang publik kita. Citra Islam Indonesia yang dulunya dikenal ramah, santun, toleran dan moderat pun perlahan mulai luntur. Berganti dengan citra Islam yang kaku, tidak ramah pada perbedaan, intoleran dan acapkali menjurus pada tindakan radikal dan ekstrem.
Persoalan ekstremisme agama tampak dalam sejumlah kasus terorisme yang menghantui Indonesia sejak beberapa tahun belakangan. Sejak peristiwa Bom Bali I tahun 2002, Indonesia seolah lekat dengan aksi terorisme. Kelompok radikal-ekstrem yang mengatasnamakan agama berkembang biak membentuk sel dan jaringan yang kuat, solid sekaligus sulit diidentifikasi.
Tidak hanya gencar melakukan aksi teror keji yang menelan korban jiwa, kelompok ini juga gencar menyebarkan paham radikalisme di kalangan umat muslim. Akibatnya, paham radikal kini layaknya virus yang menyebar ke seluruh elemen masyarakat, mulai dari masyarakat umum, kalangan intelektual sampai pegawai pemerintah. Kaum radikal kini secara terbuka berani mempromosikan dan mengampanyekan agendanya untuk mengganti NKRI Pancasila dengan khilafah islamiyyah.
Dalam situasi yang demikian iniliah, spirit Resolusi Jihad dalam konteks perayaan HSN perlu kita rekonstruksi. Di masa lalu, Resolusi Jihad muncul sebagai respon atas kembalinya kolonialisme di bumi Indonesia. Kolonialisme adalah penjajahan manusia atas manusia yang sangat ditentang oleh ajaran Islam. Berjuang mempertahankan Tanah Air dari cengkeraman kolonial adalah jihad layaknya berperang membela agama Allah.
Dalam konteks sejarang, Resolusi Jihad idealnya dimaknai sebagai upaya melawan radikalisme dan ekstremisme berbaju agama yang mengancam keutuhan bangsa dan negara. Kaum radikalis-ekstremis dalam banyak hal sama membahayakannya dengan ancaman kolonialisme. Mereka memaksakan kehendaknya melalui cara-cara kekerasan yang tidak mengindahkan nilai kemanusiaan.
Maka, peringatan HSN tahun ini sudah sepatutnya kita sambut sebagai momentum untuk membangkitkan kembali spirit Resolusi Jihad. Santri milenial harus berjihad melawan pembodohan dan penyesatan ideologi yang dilakukan oleh kaum radikalis-ekstremis yang membajak agama demi agenda politik mereka.
This post was last modified on 22 Oktober 2019 1:48 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments