Narasi

Sejak Dini, Ajarkan Visi Perdamaian dari Rumah Ibadah

Rumah ibadah adalah rumah Tuhan yang diberikan untuk kemaslahatan umat manusia. Kalau masuk rumah ibadah, maka di sana ada kedamaian dan ketentraman. Itulah yang diajarkan para Nabi kepada umatnya. Rumah ibadah tak pernah membedakan pangkat, golongan, identitas, kaya-miskin, dan atribut lainnya. Semua yang hadir di rumah ibadah adalah tamu Tuhan yang setara, tanpa ada perbedaan.

Sayang sekali, rumah ibadah akhir-akhir ini mengalami proses radikalisasi. Banyak yang memanfaatkan rumah ibadah untuk kepentingan sesaat. Tidak sedikit akar radikalisme dan terorisme justru lahir dari rumah ibadah. Kok bisa? Karena mimbar rumah ibadah dijadikan sebagai “juru bicara” menebarkan kebencian dan caci maki kepada sesama. Ini jelas sangat melanggar “aturan main” dalam rumah ibadah. Karena dalam agama apapun, rumah ibadah justru sumber lahirnya perdamaian dan kasih sayang.

Dalam konteks ini, membangun visi perdamaian dari rumah ibadah harus dilakukan sejak dini. Tidak bisa menunggu waktu remaja atau tua, rumah ibadah harus menjadi rujukan visi perdamaian sejak dini dan sejak usia dini. Yang masuk rumah ibadah jangan hanya yang sudah tua, sejak usia dini harus diajak ke rumah ibadah agar sejak dini pula mereka mendapatkan ajaran perdamaian. Jangan sampai setelah dewasa justru salah dalam memaknai rumah ibadah.

Di sini tepat pula yang sudah dilakukan oleh Kemendikbud dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang telah menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berbasis masjid. Tahun 2015, PAUD berbasis masjid sudah didirikan sebanyak dua ratus ribu di Jawa dan Sumatera. Targetnya adalah daerah atau desa terpencil yang masih minim fasilitas sarana dan prasarana pendidikan. Ini juga wujud pemerataaan pendidikan di Indonesia.

PAUD berbasis masjid ini merupakan terobosan penting dalam membangun rumah ibadah (masjid) di Indonesia. Apalagi saat ini perkembangan teknologi sangat cepat, bayi sekalipun sudah akrab dengan smartphone. Makanya, aktivis rumah ibadah harus bergerak cepat bagaimana masjid juga ramah dengan semua kalangan, termasuk anak usia dini. Jangan sampai anak-anak usia dini justru mengenal radikalisme dari media sosial yang sangat mudah didapatkan karena akses yang begitu cepat.

PAUD berbasis masjid terobosan penting bagaimana anak usia dini sudah mendapatkan tiupan visi perdamaian. Anak-anak usia dini yang sudah mendapatkan ruh perdamaian ini akan menjadi pondasi dalam membangun visi masa depannya. Ini juga sesuai dengan yang ditegaskan Nabi Muhammad, bahwa semua anak yang dilahirkan adalah kondisi fitrah (suci), orang tuanya yang akan merubahnya berbeda. Kalau sejak usia dini sudah diajarkan ruh masjid untuk selalu damai, maka itu akan melekat sepanjang hayat.

Di samping itu, PAUD berbasis masjid ini juga menjadi tempat bertemunya ibu-ibu muda yang mengantarkan anaknya. Mereka biasanya begitu lekat dengan smartphone, yang bisa saja mudah terjebak dalam jaringan informasi radikal. Kalau ibu-ibu muda ini bersama bayinya datang ke masjid, maka juga akan mendapatkan sentuhan visi perdamaian. Ini jelas sangat strategis, karena ibu-ibu muda itu akan menjadi landasan geraknya dalam mengasuh putra-putrinya di masa depan. Dengan visi perdamaian berbasis masjid, ibu-ibu muda itu akan menjadi jalan baru gerakan perdamaian yang dibangun dari masjid.

Tebarkan Kasih Sayang

PAUD berbasis masjid adalah gerakan baru bervisi menebarkan kasih sayang sejak dini. Masa-masa emas seorang anak usia dini adalah masa untuk menguatkan gerakan kasih sayang. Anak-anak yang dipupuk jiwa kasih sayang dan pondasi perdamaian, maka akan menjadi visi Indonesia masa depan. Merekalah invetasi kita untuk peradaban Indonesia yang damai dan sejahtera.

Menurut Imam Addaruquthni (2015), PAUD berbasis masjid adalah langkah strategis dalam mengembalikan masjid sebagai arena bermain anak-anak. Selama ini, banyak yang melarang anak-anak bermain di masjid. Ini menyebabkan masjid terasing dari kehidupan anak-anak. Masjid adalah “real playstation” dalam arti positif dalam membangun visi perdamaian bagi anak. Benih Islam dan kasih sayang akan menancap kuat dalam diri anak, sehingga masjid terus memberikan jiwa dan ruh dalam merekayasa masa depannya di kemudian hari.

Menanamkan kasih sayang berbasis masjid ini sebenarnya sudah diajarkan Rasulullah. Menurut Yunal Isra (2018), Dalam Musnad Imam Ahmad yang bersumber dari Abi Hurairah dengan kualitas hasan menceritakan bahwa pada suatu malam kaum muslimin salat Isya bersama Nabi Saw. Ketika beliau sujud, tiba-tiba saja Saydina Hasan dan Husain naik ke atas punggung Nabi, lantas beliau mengangkat kepalanya sembari menahan keduanya dengan tangan beliau dengan cara yang sangat lembut. Kemudian Nabi mendudukkan keduanya di samping beliau, lalu kembali melanjutkan salat. Namun keduanya kembali melakukan hal yang sama hingga Nabi selesai salat.

Setelah salam, Nabi pun mendudukkan keduanya di atas paha beliau. Lalu Abu Hurairah bangkit sambil berkata: Wahai Rasulullah biar saya antarkan mereka pulang ke rumah ibunya? Lalu Nabi menjawab : Tidak usah. Beliaupun berbicara langsung kepada Hasan dan Husain dengan lembut: Pulanglah ke rumah ibu kalian! Sambil berjalan dengan disinari oleh cahaya kilat yang berkelipan, keduanya pulang ke rumah Fatimah.

Dalam kasus lain misalnya, Nabi juga pernah membawa dan menggendong cucu perempuannya yang bernama Umamah, anak perempuan dari Sayyidah Zainab binti Rasulillah, dalam salat. Meskipun umur Umamah waktu itu masih sangat kecil dan sangat berpotensi untuk menangis ataupun membuat suasana salat menjadi tidak khidmat, namun beliau tetap membawanya. Hal ini sekali lagi menjadi bukti bahwa membawa anak kecil ke masjid adalah hal yang boleh-boleh saja.

Pada hadis-hadis tersebut terlihat jelas bahwa Nabi tidak marah ataupun melarang anak-anak untuk pergi dan berkumpul bersama dengan orang-orang dewasa di dalam masjid, meskipun dalam pelaksanaan shalat jamaah sekalipun.Ini bukti bahwa membawa anak-anak ke masjid tidaklah terlarang sama sekali, sekalipun dalam praktiknya mereka bisa saja melakukan hal-hal yang dapat mengganggu jalannya pelaksanaan salat jamaah. Namun hal ini tidaklah terlalu berpengaruh besar jika dibandingkan dengan maslahat yang akan dimunculkan dari kebiasaan membawa anak-anak ke masjid, yaitu untuk mendidik mereka agar terbiasa melaksanakan salat secara berjamaah ke masjid. Bahkan dapat dikatakan bahwa maslahatnya jauh lebih besar ketimbang mudarat yang dimunculkannya.

Di sini, jelas sekali bahwa masjid sebagai rumah ibadah sudah saatnya tempat yang menyenangkan bagi anak-anak usia dini yang merupakan generasi penerus di masa depan.

Siti Muyassarotul Hafidzoh

Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Litbang PW Fatayat NU DIY dan mengajar di MTs Al-Quran, Pesantren Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

17 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago